Chapter 44

4.6K 296 0
                                    

Aku hanya bisa diam dan menatap mereka menghilang beberapa saat kemudian, keluar ruangan. Sementara Bagas, masih terdiam dan malah memejamkan matanya lagi. Ia sepertinya tak tertarik dengan kondisiku. Padahal, aku baru saja ingin berbicara dengannya. Aku pun pasrah dan memilih untuk duduk di sofa tempat Medina tadi tertidur. Aku menyandarkan kepala sejenak dan memejamkan mata. Perlahan, aku mulai merasakan lelah yang teramat sangat.

"Rei," suara Bagas membuatku terlonjak dan segala jenis lelah tadi lenyap entah kemana.

"Ya?" tanyaku yang tergesa menghampirinya. "Ada masalah? Kamu merasakan sakit? Aku periksa ya!" kataku yang bergegas menghampirinya, tapi lelaki itu menepisnya lembut.

"Aku nggak apa-apa."

Keningku berkerut bingung.

"Kamu baik-baik aja?" tanyanya dengan tatapan mata yang tak pernah kulihat sebelumnya. Hampir tak pernah sekali pun Bagas menatapku penuh khawatir dan syahdu seperti itu.

Diam-diam aku mencubit lenganku sendiri. Nyeri. Berarti aku tidak sedang bermimpi.

"Ibu benar-benar panik ketika dia melihat berita kecelakaan itu. Ibu histeris mengkhawatirkanmu, padahal aku yang anaknya baru saja tersadar. Sepertinya, ia sudah benar-benar sayang padamu," kata Bagas.

Sungguh, aku tak tahu harus berkata apa pada lelaki itu. Aku tak bisa mencerna semua ini sekarang.

"Ehm... Gas, tolong bilang sama Ibu, aku ke bawah sebentar untuk melihat kondisi pasienku tadi. 30 menit lagi aku balik ke sini," kataku yang entah kenapa malah ingin kabur dari suasana aneh dan membuat kikuk itu.

"Rei, tunggu!" ucap Bagas menghentikan langkahku.

Kuputar tubuh dan menatap lelaki itu lagi. "Ya?"

"Bolehkah aku memintamu mendekat? Aku janji nggak bakal membunuhmu," katanya dengan nada menyebalkan. Iya, Bagas memang menyebalkan.

Aku meringis, perlahan tapi pasti mendekati pinggir ranjangnya.

"Aku minta maaf," ucapnya sambil menatapku lekat.

What? Apa telingaku baik-baik saja? Seorang Bagas mengucapkan kata maaf padaku.

"Harusnya aku tak sekejam ini padamu. Aku nggak bisa membohongi diriku sendiri, bahwa sebenarnya aku pun paham seperti apa perasaanmu. Aku tahu kamu tersiksa dengan kondisi ini, apalagi dengan sikapku padamu. Padahal, kamu sudah berupaya untuk membantuku dan juga Ibu serta Medina. Aku yang berhutang padamu, bukan kamu."

Rasanya seperti kejatuhan elder wand dari langit ketika mendengar kalimat itu meluncur dari bibir Bagas. "Sudahlah, Gas. Aku nggak apa-apa. Lebih baik kamu fokus sama kesehatanmu ya. Ijinkan aku untuk membantumu semampuku. Maafkan aku yang belum bisa mencarikan donor yang tepat buat kamu. Tapi asal kamu tahu, aku nggak pernah berhenti untuk berusaha," kataku.

"Ya, aku tahu. Aku tahu setulus apa kamu membantuku dan juga keluargaku. Mengorbankan semua impian dan masa depanmu. Bahkan, mengorbankan cintamu sendiri hanya demi sebuah tanggungjawab yang kamu lontarkan. Jadi aku mohon, maafkan aku karena telah menghancurkan hidupmu." Bagas mengangkat sedikit tangan kanannya ke arahku dengan jemari terbuka.

Dengan sedikit ragu, aku menggenggam tangan itu. Kokoh, tetapi lembut dan hangat. Tiba-tiba saja ada sedikit perasaan aneh yang kurasakan saat itu.

[TAMAT] Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang