Chapter 54

4.9K 296 0
                                    

Selain soto ayam, Ibu juga menyiapkan semangkuk besar kacang hijau kuah santan hangat yang sama lezatnya. Bagas mengucapkan terima kasih dengan senyumannya, ketika Ibu memberinya sepiring nasi hangat yang tenggelam di antara kuah soto ayam berwarna kuning cerah, lengkap dengan suwiran ayam yang memenuhi puncaknya.

"Ibuuuuu."

Tiba-tiba Medina muncul dengan suara riangnya yang khas. Di tangannya ada sebatang cokelat. Ia menatapku girang.

"Medina, dapat cokelat dari mana, Nak?" Ibu bingung.

"Dari kamar Kakak," jawabnya polos.

Ah, aku baru ingat. Aku memang sengaja membeli sebatang cokelat untuk Medina, sepulang dari rumah sakit kemarin, tapi malah lupa memberikannya pada gadis kecil dengan rambut panjang dan poni lucu itu.

"Medina, kamu nggak boleh ambil barang apapun di sana. Sekali pun itu cokelat!" tegas Bagas dengan suara sok galak. Lelaki itu menatap adiknya dengan alis tebalnya yang seolah hampir bertautan.

"Sudah, nggak apa-apa. cokelat itu memang buat dia, aku yang lupa kasih," kataku. "Cokelatnya memang buat Medina, tapi makan dulu ya, Sayang. Ibu sudah masak soto ayam tuh buat Medina!" senyumku pada gadis kecil yang hampir menangis karena bentakan Bagas.

Ia mengangguk dan malah berlari ke arahku. Merayap ingin duduk di pangkuanku. Sedikit tergelak, aku mengangkat tubuhnya dan mulai menikmati sajian Ibu pagi itu. Dan dalam satu gerakan, aku bisa tahu kalau si Bagas tengah menatapku penuh arti sambil menyuapkan sesendok penuh nasi ke dalam mulutnya.

"Medina nanti mau ikut Ibu? Ibu mau belanja buat acara nanti malam," kata Ibu membuka pembicaraan.

Hampir saja aku lupa kalau hari ini adalah hari di mana aku dan Bagas setuju untuk mengundang Papa dan keluarganya makan malam di rumah. Awalnya, kami berniat untuk datang saja ke rumah mereka tapi Papa menolak secara halus dengan alasan takut kondisi kami belum memungkinkan untuk keluar rumah di tengah cuaca dingin seperti ini. Apalagi, Bagas masih dalam tahap pemulihan.

"Belanja ke mana, Bu?" tanyaku penasaran.

Ya, benar-benar penasaran karena aku hampir tak memiliki waktu untuk sekadar bersosialisasi dengan lingkungan sekitar sejak kepindahanku di tempat ini.

"Di supermarket tempat Ibu dan Medina biasa berbelanja. Dekat kok," jawab Ibu tersenyum.

"Boleh Rei aja yang pergi? Sekalian pengen jalan-jalan di sekitar sini," kataku.

"Kamu yakin? Udara terlalu dingin lho, Nak. Bukankah kamu masih bermasalah dengan cuaca? Bahkan, sepertinya kamu masih sering bersin kalau malam," kata Ibu penuh perhatian.

Aku tertawa. "Ternyata Ibu dengerin ya!" kataku menahan malu, padahal aku sudah menggunakan pemanas di kamar, tapi tetap saja tubuhku tak mampu melawan hawa dingin.

"Ya dengarlah, kamu berisik!" celetuk Bagas tanpa ekspresi.

Mataku hanya menatap lelaki itu lekat. Ternyata, ia tak pernah tidur juga jika aku tak sengaja terbangun dan harus bersin karena udara yang terlalu dingin. Ada sedikit rasa tak enak hati karena itu. Tapi bagaimana lagi, ini adalah reaksi alergiku sejak dulu. Meskipun aku dokter, tapi sudah puluhan cara kutempuh dan tetap tak ada hasil signifikan untuk benar-benar menghilangkan alergi semacam ini. Terkadang, aku hanya pasrah. Dan semoga Bagas pun mengerti. Karena jika tidak, besar kemungkinannya aku akan diusir dia keluar dari kamar karena selalu mengganggu tidurnya tiap malam.

[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now