Chapter 50

5.1K 300 2
                                    

Pasca Bagas dioperasi, aku layaknya zombie. Tak banyak kata yang keluar dari mulutku. Perasaanku memang sedang tak keruan dan aku belum mendapatkan solusi untuk itu. Hampir semua orang yang berusaha mengajakku berinteraksi kutolak kehadirannya, termasuk Josh dan juga Jenna. Sialnya, suasana Blue Memorial hari ini tidak terlalu ramai, sehingga rencana untuk menyibukkan diri pun pupus sudah. Bahkan aku tak punya alasan untuk tetap tinggal di rumah sakit ketika jam kerjaku telah usai.

"Reinayya," suara Papa mengagetkanku yang sedang mengenakan jaket di Winter Blossom saat bersiap untuk pulang.

"Papa?" Kuakui, aku memang masih canggung berada di dekat Papa. Bahkan, aku sengaja mencari cara agar tidak terlalu sering bertemu dengannya meski kami berada di gedung yang sama setiap harinya.

"Kamu mau pulang?" tanyanya sambil menutup pintu dan berdiri mengusap kedua tangannya.

"Iya, Pa. Tampaknya sudah tak ada pasien lagi yang harus Rei tangani hari ini," jawabku sambil menarik retsleting jaket hingga batas dagu. "Ada yang bisa Rei bantu?" tanyaku yang mungkin terdengar agak formal. Jujur saja, aku belum pernah lagi bertemu empat mata dengan Papa sejak ia membantuku meyakinkan Samantha agar mendonorkan jantung Taylor untuk Bagas beberapa minggu lalu. Dan itu membuatku agak sedikit merasa bersalah. Seingatku, aku belum mengucapkan rasa terima kasih secara resmi di hadapannya.

"Papa hanya ingin mengajakmu makan malam. Ah, tidak. Bukan hanya kamu tapi juga Bagas dan keluarganya."

"Makan malam?" tanyaku mencoba mencerna arti kata itu.

"Iya, makan malam keluarga kita. Maksud Papa, makan malam bersama keluarga Papa juga yang ada di sini. Papa rasa, kamu perlu bertemu dan berkenalan dengan mereka juga karena ..."

Rasanya kepalaku seperti dihantam balok besi raksasa saat mendengar kalimat itu. Momen ini yang paling sering kusebut dalam doaku agar tak pernah terjadi, meski aku tahu sepandai apapun aku berkelit, sesering apapun aku meminta, ini semua pasti tetap akan terjadi.

"Karena Papa ingin memberi Bagas pekerjaan."

"Apa?" tubuhku yang tadinya kaku, mendadak semakin kaku.

"Papa pernah berbicara dengan Bagas sesaat setelah operasi tanpa sepengetahuanmu. Dia banyak bercerita tentang kehidupannya saat di Indonesia dulu. Dia juga mengatakan masih memiliki banyak impian untuk diwujudkan bersamamu. Oleh karena itu, dia berharap suatu saat masih punya kesempatan untuk bisa kembali ke dunia bisnis yang telah lama ia tinggalkan."

"Tunggu, Bagas berkata masih memiliki banyak impian untuk diwujudkan bersamaku? Apa aku tidak salah dengar?" batinku bertanya-tanya.

"Papa punya seorang putri di sini yang mungkin kamu juga sudah tahu. Namanya Caitlyn. Kebetulan, dia memiliki satu bisnis di sini yang Papa rasa cocok untuk dikerjakan bersama Bagas. Jika Bagas mau, dia bisa bekerja tanpa harus datang ke kantor, cukup mengirimkan laporan via e-mail dan ia juga akan mendapatkan fasilitas beserta gaji yang sama seperti lainnya. Jangan khawatir."

Papa masih menatapku yang diam membisu. "Ah, ini mungkin bisa membantumu dan Bagas memahami bisnis apa yang sedang dijalankan oleh Caitlyn," katanya sambil menyerahkan sebuah map berwarna biru padaku.

Aku menerima map itu dengan kikuk, tak tahu harus berkata apa.

"Jika kamu setuju, kita bisa membicarakannya bersama sambil makan malam di rumah Papa. Bagaimana?"

Sesungguhnya, aku tak berniat untuk melibatkan Papa sejauh ini dalam masalahku. Hanya saja, terkadang skenario hidupku jadi tak beraturan ketika aku memutuskan sesuatu.

"Kapan, Pa?" tanyaku.

"Terserah kamu. Papa mengikuti waktumu dan Bagas saja," lelaki itu tersenyum teduh.

Aku hanya mengangguk. "Rei bicarakan dulu dengan Bagas ya. Nanti Rei hubungi Papa," kataku sambil bergerak ke arahnya, melewatinya begitu saja.

"Reinayya," sekali lagi, Papa memanggilku.

Aku menengok sesaat sebelum membuka pintu. "Ya?"

"Papa rindu sekali denganmu," ucapnya lirih yang membuat dadaku sesak.

[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now