Chapter 64

4.5K 298 2
                                    

Dan sampailah kami di suatu titik kehabisan topik pembicaraan. Sesaat, yang terdengar Cuma Shania Twain sedang menyanyikan How Do I Live. Sesekali aku bertukar pandang dengan Bagas dan entah kenapa aku malah pelan-pelan mengubah posisi duduk jadi agak jauh darinya.

"Kamu takut sama aku?"

Sontak tubuhku menegang. Mataku mengerjap-ngerjap ketika berusaha menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya dari lelaki itu. "Kenapa tiba-tiba mikir gitu?"

"Kalau gitu, duduknya deketan aja." Bagas menepuk-nepuk celah kosong di sebelahnya.

"B-buat apa?" aku bisa merasakan wajahku merona, pasti nyaris sewarna dengan darah yang kulihat sehari-hari di rumah sakit. Awalnya aku sempat ragu, tetapi kemudian aku menggeser duduk sedikit lebih dekat dengannya.

"Supaya aku bisa menghangatkanmu."

"Hah?"

"Alternatif lain, karena nggak ada selimut lagi. Mau ke kamar Ibu atau Medina terlalu jauh, malah naik tangga," katanya buru-buru menambahkan.

"Ah, nggak usah ..." tapi entah kenapa aku tidak bisa menolak ketika tangan Bagas melingkari bahuku.

Aroma parfum Bagas menerobos masuk hidungku yang terasa kembang kempis karenanya. Jantungku pun berdebar semakin hebat. Kini, aku benar-benar hangat, bahkan merasa sedang terbakar karena berada sedekat ini untuk kedua kalinya dengan Bagas.

Dalam diam, Bagas menggesek-gesekkan telapak tangannya ke permukaan kulit tanganku yang terasa dingin.

"Hangat nggak?"

"Ehm ... lu ... lumayan."

"Aku senenag kalau kamu akhirnya menikmati sentuhanku," suara Bagas terdengar serak.

"Bagas ..." lidahku kaku.

"Rei ..." balasnya.

Aku dan Bagas saling bertukar pandang dan sepertinya sama-sama bisa menerka apa yang akan terjadi setelah ini. Aku sempat ragu, tapi entah kenapa kedua mataku malah dengan kurang ajarnya perlahan menutup ... menunggu. Tak butuh waktu lama bagi Bagas menyentuh bibirku dengan tangannya yang satu lagi bergerak ke belakang leherku. Menahan posisi kepalaku supaya tetap begitu ketika dia melumat bibirku dengan ciuman penuh gairah. Giginya membuat gigitan pelan di bawah bibirku. Aku pun mengalami semacam perasaan familier yang ternyata selama ini kurindukan.

Dan ketika itulah aku melakukan hal di luar dugaan. Buru-buru kudorong tubuh Bagas pelan dan menjauhkan diri darinya. Aku panik.

"T-t-tapi, Gas, kamu yakin?"

Bagas mengernyit. "We're here, aren't we?"

"Iya sih," kataku menggaruk-garuk kepala, menyadari kebodohanku sendiri. "Tapi ..."

"Jadi kamu berubah pikiran ya, setelah tadi kamu menutup mata dan menungguku menciummu?" tanya Bagas. "Kamu benar-benar nggak pernah menginginkan aku ya?"

"Apa?" Aku terkejut mendengar itu. Tanganku menahan Bagas supaya dia tidak pergi kemana-mana. "Bagas, bukan, bukan seperti itu! Aku cuma ... aku cuma ... nggak pengin menyakitimu lagi. Aku cuma nggak pengin kamu berteriak lagi ke aku, kalau aku sudah melanggar perjanjian pra-nikah kita untuk tidak menyentuhmu," jelasku.

"Mungkin untuk sebagian orang, berhubungan intim bisa bebas aja dilakukan dan nggak ada artinya. Apalagi di tempat tinggal kita sekarang ini. Tapi aku tahu siapa kamu, Rei. Kamu bukan orang yang sembarangan tidur dengan laki-laki. Dan aku ingin mencabut perjanjian itu. Gimana pun, kamu istriku. Kita suami istri kan?"

Tenggorokanku tercekat.

[TAMAT] Married by AccidentDove le storie prendono vita. Scoprilo ora