Chapter 48

4.7K 262 0
                                    

Tanganku berpegangan pada besi tangga darurat yang terasa begitu dingin. Sedingin hatiku yang demikian rapuhnya. Tubuhku merosot, duduk di salah satu anak tangga dengan kepala bersandar pada besi dingin itu. Sedikit menunduk dan kembali menangis. Entah apa yang terjadi padaku, aku hanya merasa bahwa hidupku bukanlah hidupku lagi. Aku tak bisa membedakan apakah ini euforia kebahagiaan, karena akhirnya berhasil menyelamatkan nyawa Bagas ataukah ini bentuk kesedihan karena aku akan menghabiskan sisa hidupku bersama dengan orang yang sedingin Bagas.

Air mataku tak henti menetes sembari kupandangi cincin yang melingkar di jari manisku. Cincin pernikahanku dengan Bagas yang kubeli dan kupilih sendiri. Bagas hanya kebagian tugas untuk memakaikannya di jariku ini. Tidak lebih dari itu. Sementara Josh, berdiri bersandar dinding dengan tangan terlipat di depan dadanya, menatapku dalam diam. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu.

"Hei, Josh. Boleh aku minta satu hal padamu?" tanyaku.

"Katakan," jawabnya.

Aku mendongak, menatapnya dengan tatapan sayu karena mataku terlalu pedih. "Apa yang kamu pikirkan ketika melihatku dan kehidupanku?"

Sejenak, Josh menggigit ujung bibirnya yang kemudian tampak memerah. Ia masih menatapku lekat hingga kemudian kembali bersuara. "Kamu perempuan cerdas yang berani dan bahagia," jawabnya.

"Mengapa kamu bilang aku bahagia?" tanyaku dengan suara serak.

"Ya, hidupmu sudah lengkap. Kamu memiliki seorang suami dan juga keluarga kecil yang terlihat sangat bahagia," tambahnya.

"Bagaimana kalau itu semua hanya topeng dan sebuah kamuflase belaka?" tanyaku lagi.

"Apa maksudmu?"

"Josh, maafkan kalau akhirnya kamu harus terjebak denganku di sini. Tapi, aku sungguh rindu dengan hidupku yang dulu. Hidupku sebagai seorang dokter yang berada di sebuah rumah sakit dengan beberapa orang sahabat dan juga orang yang benar-benar kucinta. Bukan hidupku yang sekarang." Setetes air mataku kembali luruh, diikuti tetesan lainnya. "Aku rindu sahabatku, aku rindu kakakku, aku rindu rumahku, aku rindu nasi uduk di kantin rumah sakit tempatku bekerja dulu, dan semua kebebasan itu."

Josh mendekat dan duduk tepat di sampingku. "Ceritakan padaku tentang hidup yang kamu rindukan ini," katanya.

"Hidupku begitu indah sebelum kecelakaan itu terjadi dan membuatku terikat dengan suamiku sekarang. Aku memiliki sebuah beban moral untuk menyelamatkan hidupnya. Dia tak punya apa-apa dan aku malah merenggut semua yang dia miliki. Jadi, aku pun tak punya alasan lagi untuk tidak memberikan hidupku untuknya." Aku menutup mataku yang semakin basah dengan kedua tangan.

"Jadi, kamu menikah karena terpaksa?" mata Josh membeliak.

Kepalaku mengangguk pelan.

Josh menghela napasnya pelan. Ia masih menatapku penuh arti. Entah apa yang ada di kepalanya, aku sungguh tak tahu tapi berharap, bisa sedikit menengok ke dalamnya.

"Mengapa aku terlambat bertemu denganmu?"

"Apa?"

Josh terkekeh. "Bagaimana jika kita keluar dan mencari sedikit makanan di depan. Aku yakin kamu akan jadi lebih baik setelahnya."

Dan entah mengapa, saran itu terdengar seperti angin segar untukku. "Kamu yang traktir ya!"

Josh mengangguk, lalu mengusap tanganku lembut. Dan itu rasanya sangat aneh, meskipun tak bisa kupungkiri bahwa Josh berhasil menenangkanku.


***


Terima kasih sudah membaca Married by Accident.

Jangan lupa vote dan comment, ya! :)

[TAMAT] Married by AccidentOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz