Chapter 61

4.9K 342 17
                                    

"Reinayya!" jerit Amanda yang suaranya cukup melengking di ponselku. Aku bahkan harus menjauhkan benda itu dari telinga.

"Jangan lebay deh, Man!" protesku.

Amanda malah terbahak-bahak di sana. "Kamu sombong banget sekarang. Jarang telepon. Apa karena dilarang Bagas?"

"Hush, jangan ngaco, deh! Jangankan melarang aku telepon, ngomong aja jarang!" cerocosku. "Eh, tapi beberapa hari ini dia sudah nggak gitu sih," ucapku lirih dan Amanda sepertinya tidak benar-benar mendengarnya.

"Apa kabar kamu?"

"Baik," jawabku yang menggeser tubuh di atas sofa Winter Blossom sambil menyandarkan kepalaku yang tersangga sandaran sofa. Nyaman.

"Ada cerita apa?"

"Man, kira-kira aku bakal bisa punya anak nggak ya?" tanyaku was-was.

"Hah?" Amanda terdiam sejenak. "Kenapa kamu tanya gitu sih? Ya bisalah! Kan kamu sehat," jawab Amanda yakin.

"Iya aku sehat, tapi ..." Lidahku mendadak kelu.

"Hm... aku paham. Maksudmu apakah kamu bisa punya anak dengan sikap Bagas yang seperti itu?"

Aku terdiam.

"Wait. Jadi kamu bener-bener pengen punya anak sama suami terpaksamu itu? WHAT?!" Amanda histeris.

"Meskipun aku terpaksa, tapi pernikahan kami kan nggak pura-pura, Man. Sah atas nama Tuhan dan negara," kataku.

Amanda menghela napasnya. "Aku nggak pernah menyangka kalau kamu bakal mikir sejauh ini. Dulu, aku pikir kamu cuma terpaksa menikah sampai kondisi Bagas benar-benar pulih. Kemudian, kalian cerai. Kamu menikah lagi dengan orang yang kamu cinta. DONE! Reinayya happily ever after," ujar Amanda.

"Bagas nggak akan pernah pulih kan, Man," gumamku.

"Nggak akan pernah pulih gimana maksudmu? Dia sudah operasi jantung, kakinya juga sudah bisa berfungsi meskipun palsu. Setidaknya, dia bisa hidup lebih baik sekarang," jelas Amanda.

"Tapi Amanda, nggak segampang itu!" sergahku.

Amanda mendengus. Sepertinya ia kesal. "Oke, lalu apa maumu sekarang?"

"Pagi ini aku menangani pasien yang terluka di bagian kepalanya karena tertimpa es. Tengkoraknya hancur dan itu menyebabkan ia nggak akan bisa bangun lagi. Kami akan mencabut ventilatornya, tetapi suaminya meminta agar kami melakukan pengambilan sel telur wanita itu. Ia menginginkan istrinya tetap bisa memberinya keturunan," kataku.

"Jadi, kamu mau melakukan hal yang sama? Terus kamu hamil dengan proses bayi tabung gitu?"

"Mungkin."

"Lalu, sel sperma siapa yang mau kamu minta? Bagas?"

Tak sadar, aku mengangkat bahu seolah Amanda ada di sana dan bisa melihat gerakanku itu sebagai jawabannya.

"Rei, ayolah. Sudah cukup yang kamu lakukan untuk Bagas dan keluarganya. Lebih dari cukup malah. Apa kamu nggak kangen hidup normal seperti dulu? Di sini?"

Kepalaku menunduk lesu. Hatiku berkecamuk. Desiran aliran darah dapat kurasakan di sekujur tubuhku dan itu membuatku frustasi. Mataku perih dan memaksa air mata terbendung di sana.

"Rei?"

Aku tak ingin Amanda tahu, bahwa aku tengah menangis. "Maaf Man, ada pasien," kataku cepat-cepat mengusap ikon berwarna merah di layar ponselku itu. Kemudian, meletakkannya di atas meja. Kutarik napas panjang dan menutup wajahku dengan tangan. Jantungku berdegup kencang. Entah perasaan apa ini. Mengapa aku sedih? Mengapa aku tak kuasa menjawab pertanyaan Amanda?

Kuhapus air mata di wajahku dan seketika aku menjerit, ketika melihat sesosok makhluk sedang duduk tak jauh dariku. "JOSH, SEJAK KAPAN KAMU DI SANA?!"

Lelaki yang tak bisa kupungkiri ketampanannya itu hanya menatapku sekilas, lalu menyeruput kopi di cangkirnya.

"Josh!" desakku.

"Aku tarik kalimatku yang mengatakan, bahwa kamu bahagia," ujarnya tenang.

Mulutku bungkam.

"Kamu tidak harus melakukan itu, Rei. Kamu bisa mengakhiri pernikahanmu dan memilih orang lain untuk menjadi pendamping hidupmu. Orang yang kamu cinta," lanjutnya yang kemudian beranjak dan duduk di hadapanku.

Kepalaku menggeleng pelan.

"Apakah kamu akan bertahan dengan kehidupan seperti ini?" Josh mengusap air mataku dengan jemarinya yang kokoh dan dingin. Aku menepisnya.

"Entahlah, Josh," jawabku yang beranjak dari sofa. Berjalan menuju loker dan mengenakan mantelku, karena sudah waktunya aku pulang.

Josh mengikutiku. Ia juga melakukan hal yang sama. Namun, kali ini ia hanya diam. Bahkan, kami berjalan beriringan keluar rumah sakit tanpa kata.

"Rei."

Josh menarik tanganku sebelum aku menginjak halaman parkir rumah sakit. "Jangan pernah bohongi hatimu. Kamu pantas mendapatkan yang jauh lebih baik dari ini," katanya sambil merapatkan retsleting hingga batas leherku.

"Reinayya!"

Aku menoleh ke asal suara itu. Dan terbelalak ketika melihat Bagas tengah berdiri, bersandar di mobilku. Menatapku dan Josh tajam seolah ingin mengunyah kami berdua.


***


Terima kasih buat kalian yang selalu setia membaca kisah Reinayya dan Bagas. Jangan lupa vote dan comment juga ya, biar aku semangat updatenya. Ya, meskipun cerita ini sebenarnya sudah complete di laptop, tapi tetep aja sih kalo nggak ada yang nyemangatin ya jadinya lupa update hehehe.

Enaknya update part berikutnya kapan ya?

Sekalian nunggu 100K aja boleh? boleh dooong :p soalnya mulai 1 Maret 2019 bakalan ada cerita baru dari aku yang nggak kalah seru.

Oh iya, karena Married by Accident ini lagi proses cetak ya. Jadi, nggak semua part akan publish di sini. Semoga kalian berkenan dan tertarik untuk ikut PRE ORDER -nya bulan depan.


Big hug and thanks!



[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now