Chapter 18

6.9K 442 137
                                    

Lagi-lagi, kegelapan menyergapku. Aku bahkan tak tahu di mana aku berdiri sekarang. Seingatku, terakhir kali aku berada di tempat yang sama adalah saat aku terbangun di rumah sakit ketika kecelakaan itu terjadi.

Angin dingin menusuk kulitku, bulu kudukku meremang. Aku memicingkan mata, berusaha mencari celah cahaya agar tampak apa yang ada di hadapanku saat ini. Namun, aku gagal. Sama sekali tak ada yang bisa kucerna dengan penglihatanku.

"Halo? Apa ada orang di sana?"tanyaku dengan suara menggema ke segala penjuru.

Tiba-tiba di sudut ruangan yang tak bisa kutemukan tepiannya itu muncul secercah cahaya menyilaukan.

"Apa kabarmu, Cantik?" tanyanya.

Suara itu teramat sangat kukenal, hingga memaksaku untuk mundur selangkah demi selangkah meski aku tak bisa melihat jelas wajahnya. "Brian?" tubuhku sontak gemetar kala nama itu terucap keluar dari bibirku sendiri.

Tiba-tiba saja, wajah Brian sudah menyembul tepat di hadapanku. Ia menyeringai dengan kedua tangan terulur, menerkam leherku kuat-kuat. Aku tenggelam semakin dalam di atas tempat tidurku sendiri. Tak berdaya, tapi masih sanggup meronta. Kakiku berusaha menendangnya. Tak peduli jika ia harus mati karena aku tak ingin mati di tangannya.

"Lep ... paskan a ... aku!" pintaku seraya mencakar dan menarik tangannya agar lepas dari leherku. Tapi, semua itu sia-sia. Tenaga Brian jauh melampauiku.

Entah dari mana bajingan itu bisa masuk ke dalam rumah. Sungguh, ini semua tak pernah terpikirkan dalam kepalaku. Aku terlalu disibukkan dengan urusan Bagas dan keluarganya, sehingga aku lupa akan keberadaan Brian yang mungkin sudah mulai bergerilya menerorku seperti sekarang.

Dengan satu tendangan tepat di bagian skrotumnya, membuat Brian spontan melepaskan cengkeraman di leherku. Ia bahkan terjengkang dan jatuh dari atas tempat tidur. Paru-paruku kembali mengembang terisi oksigen yang kuhirup banyak-banyak secepat mungkin. Brian masih meringkuk di lantai memegangi alat vitalnya yang syukur-syukur tidak pecah karena tendangan mautku.

Aku merayap turun dari sisi tempat tidur yang paling dekat dengan pintu untuk menghindari Brian.

"Jangan pergi, Reinayya!" teriak Brian membahana yang membuatku bergidik.

Aku tak menggubrisnya dan secepat mungkin keluar dari sana untuk mencari bantuan. Harusnya, aku menelepon Amanda atau siapapun, tapi ponselku justru masih tergeletak di nakas samping tempat tidur. Aku tak mungkin kembali ke sana. Hanya kunci mobil yang bisa kusambar di balik pintu, sebelum aku pergi begitu saja meninggalkan rumah.

Baru saja kuinjak pedal gas, aku melihat mobil Amanda mendekat. Ia sepertinya baru saja kembali dari rumah sakit. Kakiku berpindah dari gas ke rem hingga tubuhku tersentak karena mobil yang tiba-tiba berhenti. Cepat-cepat aku keluar dari mobil dengan kalut.

"Rei, mau kemana kamu malam-malam gini?" tanya Amanda dari balik kaca jendela mobilnya yang terbuka setelah melihatku hanya mengenakan kaus dan celana pendek, tanpa sandal ataupun sepatu.

"Man, ada Brian!" aku memukul-mukul pintu mobilnya, untuk memaksanya agar segera keluar dan membiarkan aku masuk ke sana.

"Hah, Brian? Kamu yakin?" Amanda melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil. Ia menangkap tubuhku yang lemas dan lunglai di atas aspal.

"Dia mau membunuhku, Man. Dia mau membunuhku seperti dia membunuh Mama," isakku hingga akhirnya tak sadarkan diri.

[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now