Chapter 36

5K 278 0
                                    

Terakhir kali aku bertemu dengan Papa adalah saat Mama meninggal. Ia datang menawarkan pelukan, tapi aku malah menghambur masuk ke dalam kamar, meninggalkannya tanpa kalimat apapun. Papa sebenarnya tak pernah memiliki cela di mataku, tapi semuanya sirna saat ia memutuskan kembali ke Amerika tanpa Mama, Kak Jordy dan aku. Keluarga besarnya memang tak pernah merestui pernikahan Papa dan Mama. Itulah mengapa Papa memutuskan untuk tidak pernah kembali ke negeri asalnya.

Namun, takdir berkata lain. Saat Grandpa meninggal ketika aku masih berumur lima tahun, Grandma memaksa Papa pulang. Seingatku, ia mengajak Mama, Kak Jordy, dan tentu saja aku untuk turut serta. Tapi Mama menolak dengan alasan anak-anaknya tidak bisa begitu saja meninggalkan sekolah untuk waktu yang lama.

Entah bagaimana cerita selanjutnya, Papa tak pernah kembali. Mama selalu mengatakan padaku, bahwa Papa memilih untuk tetap tinggal bersama keluarganya. Awalnya, aku mengira yang Mama maksud dengan keluarga adalah Grandma, tapi ternyata Papa menikah lagi setahun setelah kepergiannya. Aku memang masih terlalu kecil untuk mencerna semuanya, tapi aku sudah bisa merasakan seperti apa perihnya. Bahkan, Kak Jordy memilih untuk mengurung diri di kamarnya saat mengetahui fakta tentang itu semua. Beruntung, ia berhasil melewati mimpi buruknya. Tapi, tidak denganku.

Kenangan indah bersama Papa lenyap begitu saja seperti tertimbun longsoran sakit hati yang kurasakan. Aku membencinya setengah mati.

"Reinayya," sapa Papa yang menyambutku di kantornya alias rumah sakit yang akan menjadi tempatku bekerja pagi itu.

Setelah perjalanan hampir tiga puluh jam di pesawat, kurang tidur, dan jetlag yang melanda, aku bahkan harus sepagi ini untuk menemuinya. Aku tersenyum. Ralat, terpaksa tersenyum untuk menyenangkan hatinya. Minimal membalas kebaikannya karena telah membantuku di tempat ini. Jika tidak, entah bagaimana aku akan hidup. Tidak ... tidak, jika tanpa bantuan Papa, mungkin aku sudah mati tersiksa karena rasa bersalah atau dibunuh Brian.

Awalnya, aku menolak permintaan Papa untuk bekerja di sini. Tapi, Papa mengancam tidak akan memberikanku fasilitas untuk pengobatan Bagas jika aku menolak permintaannya. Baiklah, aku mengalah saja.

Papa yang tadinya berdiri di antara kursi dan meja kerjanya bergerak ke samping dan melangkah ke arahku dengan tangan terangkat memelukku hangat. Aku tak bisa memungkiri, rasa rindunya yang teramat besar bisa kurasakan. Kedua tangannya merengkuh tubuhku, membawaku ke dalam dekapannya yang nyaris selama 22 tahun ini tak pernah kuperoleh lagi.

"Bagaimana kabarmu, Nak?" tanyanya sesaat setelah melepaskan tubuhku, tapi memilih untuk tetap meletakkan tangannya yang kokoh tapi sedikit mengerut karena usia di bahuku.

"Baik, Pa," jawabku singkat, padat, jelas.

"Maafkan Papa tak bisa menjemputmu di bandara. Eh, tapi semuanya lancar, kan?" selidiknya dengan kedua iris mata sebiru laut yang tak kuwarisi. Sayangnya, aku dilahirkan bermata cokelat seperti Mama, sedangkan Kak Jordy lebih beruntung memiliki warisan dari Papa.

"Lancar," jawabku sambil setengah tersenyum sambil diam-diam mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan Papa untuk menghindari tatapannya yang kurindukan. Aku tak boleh meleleh, mencair, atau apapun itu namanya. Aku datang kesini hanya demi Bagas dan keluarganya. Bukan untuk Papa. Itu saja.

"Sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk berkeliling ya?" tanya Papa dengan aksen dan pelafalan bahasa Indonesianya yang tak sebagus dulu.

"Ya. Rei sudah nggak sabar ... Pa," kataku sedikit ragu memanggilnya seperti itu. Namun, ternyata keputusanku itu justru membuat Papa berkaca-kaca. Ia memelukku sekali lagi sebelum akhirnya kembali ke meja kerjanya, menelepon seseorang yang kuketahui bernama Jenna.

"Jenna adalah kepala emergency room dan dia yang akan mengantarmu berkeliling. Beberapa menit lagi dia akan tiba. Bersenang-senanglah, nanti Papa akan menemuimu sekaligus suamimu ... eh, siapa namanya? Ba ..."

"Bagas," jawabku cepat.

"Ah, ya, Bagas. Papa pastikan, dia akan memperoleh perawatan terbaik di sini. Kamu tak perlu khawatir," katanya sekali lagi sambil membimbingku ke arah pintu besar yang tadi kulewati.

"Terima kasih, Pa."

Tepat saat ia membuka pintu, seorang wanita Kaukasian berseragam biru sedang berjalan ke arah kami. Rambut cokelatnya diikat rapi, lengkap dengan senyum menawan.

[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now