Chapter 28

4.7K 281 0
                                    

Ma, maafkan Rei yang masih harus melibatkan Papa dalam urusan pelik ini. Rei sebenarnya nggak pengen mengingat luka lama yang dulu pernah ditorehkan Papa pada kita, termasuk Kak Jordy. Tapi, Rei benar-benar nggak punya pilihan lain. Hanya Papa yang saat ini bisa membantu Rei untuk menuntaskan perkara Bagas dan keluarganya, sekaligus menampung Rei agar bisa terbebas dari teror Brian dan Anthony. Meskipun sekarang Brian sudah kembali di balik jeruji besi, tapi suatu saat dia pasti bebas dan balik lagi mencari Rei. .

Rei takut, Ma. Benar-benar takut ...

Tanganku berhenti menulis. Pulpen yang tadi terapit di antara sela jemariku kuletakkan begitu saja di meja, tepat di atas kertas berisi coretan tanganku. Kusandarkan punggung ke sofa di ruangan istirahat rumah sakit siang itu. Kedua tanganku menangkup wajahku sendiri yang teramat lelah. Papa belum menghubungiku lagi sejak aku meneleponnya kemarin. Dia memang memintaku untuk menunggu sebentar, sembari ia mempersiapkan segalanya di sana.

Aku bahkan sempat beradu mulut dengannya hanya karena tak setuju dengan satu permintaannya, yaitu bekerja di rumah sakit miliknya. Bukannya aku tak mau, aku hanya tak ingin terlalu sering bertemu dengannya. Tiap kali aku melihat wajah Papa, aku selalu teringat mendiang Mama dan seluruh sakit yang selama ini ia rasakan akibat ulah Papa.

Kuhapus air mataku yang menggenang. Jarum jam serasa bergerak sangat lamban. Ponselku yang tergeletak di meja masih diam membisu. Entah apa yang membuat Papa sedemikian lama memberikan kabar padaku. Ah, terserahlah. Mungkin aku hanya perlu berdoa lebih banyak lagi.

Pintu ruangan itu terbuka. Amanda masuk dengan langkah gontai dan duduk tepat di sebelahku, menatap sebuah lukisan bergambar petani dan sawahnya yang menguning tergantung di salah satu dinding ruangan serbaputih itu.

"Rei, apa kamu sudah yakin dengan ini semua?"

Aku mengangguk pasti sambil tersenyum pada sahabatku itu untuk menenangkan hatinya, bahwa aku akan baik-baik saja.

"Berhenti! Anda tidak bisa seenaknya masuk seperti ini!" pekik Resti membuatku terkesiap. "Security!" teriaknya lagi.

"Ada apa sih?" Amanda menengok ke arah jendela, begitu juga denganku.

Karena pandangan yang tak terlalu jelas, kami memutuskan untuk keluar. Aku sempat menyambar kertas dan ponsel yang tadi kutinggalkan di atas meja, menyumpalkannya ke dalam saku jasku sebelum akhirnya keluar ruangan menuju asal suara.

Kejadian itu begitu cepat dan tiba-tiba saja ada seseorang yang mencengkeram lenganku kasar, sesaat setelah aku melewati pintu. Aku berjengit dan mencoba menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

"Ikut aku!" pinta seorang laki-laki yang suara dan fisiknya begitu kukenal. Aldo.

Ia menerobos beberapa orang yang menghadang, entah apa yang membuat lelaki itu bertindak sedemikian kasar.

"Reinayya!" jerit Amanda berusaha mengalihkan perhatian semua orang agar paham dengan situasi yang sedang kuhadapi.

"Biarkan aku pergi sebentar!" kataku dengan langkah terseret karena Aldo tak memberiku kesempatan untuk menenangkan keadaan. Ia terus saja menyeret lenganku keluar dari pintu rumah sakit, disaksikan puluhan orang yang berada di sana.

Tangannya yang kokoh mendorongku masuk ke dalam mobilnya. Napasku tersengal ketika menatap lelaki itu tengah memutar untuk masuk melalui pintu mobilnya di balik kemudi. Napasnya pun sama tersengalnya denganku. Tangannya mencengkeram kemudi dengan erat hingga menonjolkan buku-buku jemarinya yang kuakui sangat kurindu belaiannya. Setitik peluh menetes dari pelipisnya. Meluncur begitu saja hingga akhirnya menetes di tepian rahangnya. Semerbak aroma jeruk segar di dalam mobil ini tak mampu juga melambatkan denyut jantungku. Aku masih menatap Aldo dalam diam, hingga kemudian lelaki itu menggerakkan kepalanya dan mengintimidasiku dengan tatapan mata setajam elang.

[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now