Chapter 59

4.8K 265 4
                                    

Ternyata aku tidak terlalu terlambat pagi itu. Jenna tak ada di mejanya, tetapi beberapa perawat lain termasuk Shia, sudah berlalu lalang menyiapkan perlengkapan masing-masing. Aku berjalan menuju Winter Blossom. Sosok Josh ada di sana sedang melepas mantel dan menyimpan tasnya ke dalam loker.

"Hei, apa kabar?" sapaku sambil menekan beberapa tombol angka kombinasi di lokerku sendiri.

"Baik," jawab Josh dengan wajah datar.

Aku melepaskan jaket dan meletakkan tas dengan terus menatap lelaki itu. "Really?" tanyaku tak percaya.

Josh menghela napasnya sambil menatapku lesu. "Aku baru melihat laporan pengujian obat Christine Johnsson, pasienku yang mengidap sirosis. Aku menemukan fakta, bahwa selama ini mereka hanya memberinya plasebo," Josh menundukkan kepala sejenak, "mereka mengobati kanker wanita itu dengan air gula," tambahnya dengan nada penuh kekecewaan.

"Oh, sorry, Josh," ucapku.

Lelaki itu tersenyum sambil melingkarkan stetoskop di lehernya yang jenjang. Aku mengikutinya keluar dari Winter Blossom setelah mengenakan jas putihku untuk sekadar mengurangi rasa dingin.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Josh, ketika kami sudah ada di hadapan monitor komputer untuk memeriksa laporan.

"Baik."

"Bagas?"

"Kondisinya jauh lebih baik. Dia bahkan mengantarku tadi," kataku tersenyum ke arahnya.

"Oh." Josh tersenyum, meski tergambar jelas gurat kecewa di sana.

Tiba-tiba alarm berbunyi.

Jenna yang sedang berdiri di ujung mejanya berteriak. "Pasien masuk trauma tiga!"

Aku dan Josh bergegas menuju pintu. Ken bersama beberapa orang lainnya yang hari ini bertugas di lapangan mendorong stretcher dengan seseorang tergeletak di atasnya tak sadarkan diri.

"Elena Jones. Usia 30-an. Luka kepala, tertembus es yang terjatuh di Certaves Center," pekik Ken. "Intubasi di lapangan. Tekanan darah 90 per 50. GCS 3," lanjutnya. "Itu suaminya."

"Dokter Hawkins, tolong tangani!" pinta Jenna cepat.

Aku beringsut mendorong stretcher itu bersama perawat lainnya. Begitu juga dengan Josh.

"Kami sedang jalan-jalan tadi," ucap lelaki yang menurut Ken adalah suami Elena Jones.

"Beritahu radiologi untuk mempersiapkan CT kepala!" pintaku sebelum akhirnya roda stretcher menggelinding masuk ke dalam ruang tindakan.

Jenna mengangguk.

"Sambungkan ke monitor dan temukan denyutnya!" pinta Josh kepada Shia.

"Pelan-pelan, sesuai aba-abaku. Satu, dua, tiga!" kataku sambil mengangkat tubuh wanita itu untuk dipindahkan ke ranjang tindakan. Seluruh kepalanya penuh darah.

"Ya Tuhan, apakah dia akan baik-baik saja?" tanya suami Elena yang panik melihat kondisi istrinya.

"Jenna!" Josh berteriak.

"Tuan Jones, harap Anda menunggu di luar. Mereka akan melakukan yang terbaik demi menolong istrimu," kata Jenna sambil menarik lelaki itu keluar dari ruangan.

"Butuh O2 segera!" pintaku yang masih berusaha menangani pendarahan, karena luka di kepala Elena.

"Dia benar-benar tak merespon," kata Josh memeriksa kedua mata wanita itu dengan senter di tangannya. "Pupil tidak bergerak dan melebar. Kepalanya remuk," tambahnya.

"Es menembus dari samping hingga ke belakang tengkoraknya," kataku sambil memegang gumpalan es di sisi kiri kepala Elena.

"Ya, sepertinya es itu telah berhasil memotong karotis-nya, meskipun seolah berlawanan. Tetapi, jika kita gerakkan es itu, ia akan mengalami pendarahan. Kemudian, es-nya dapat dipastikan akan segera mencair," jelas Josh was-was. "Kita hanya punya waktu satu menit, maksimal dua menit. Lalu, dia akan kehabisan darah."

"Baik. Kita akan menjepit karotisnya sekarang," kataku bersiap di sisi kanan Elena.

"Tanpa pemindaian, kita tidak akan tahu apa yang kita hadapi!" sergah Josh.

"Benar. Tapi, kita tidak punya waktu!" tandasku.

Josh menatapku. "Ya, kamu benar. Ayo lakukan!" katanya yakin.

"Baik. Beri aku nampan dada dan plastik. Kita akan membuka lehernya untuk mengendalikan pembuluh darah," kataku.

"Aku siapkan suction," timpal Josh.

"Balikkan dia perlahan. Jangan sampai es di kepalanya bergerak, karena jika itu terjadi maka darah akan menyembur seperti air dalam selang," ucapku sambil mengucurkan betadine di sekitar leher Elena. "Scalpel." Tanganku menengadah dan Ken yang ada di sebelahku memberikannya.

Hati-hati, aku menyayat leher Elena untuk mencari arteri karotisnya. Darah semakin menyembur dan membuatku tak bisa melihat dengan jelas. Cairan-cairan merah sungguh membuatku kesal saat itu. "Terlalu banyak darah."

"Pendarahannya meningkat," kata Shia.

Dalam waktu beberapa detik, aku berhasil menemukan arteri karotis leher Elena. "Sial, aku gagal menjepitnya!" umpatku kesal.

"Kamu harus cepat, Rei. Es-nya meleleh." Josh mengingatkanku. "Penghisapan yang kulakukan kurang efektif untuk mengatasi pendarahannya," tambah lelaki itu.

Sekuat tenaga aku berusaha mendapatkan karotis itu kembali. Dan aku berhasil melihatnya di antara jemariku yang tentunya penuh darah. Beberapa detik kemudian, aku berhasil menjepitnya dengan sedikit tekanan "Berhasil!" pekikku girang.

"Bagus! Pendarahannya berhenti," ujar Josh.

"Tutup, kemudian bawa dia ke ruangan CT!" pintaku kepada para perawat di antara kami.

Josh menatap para perawat yang membawa Elena dengan nanar. "Kerja bagus," gumamnya.

"Terlalu banyak kerusakan, karena tengkoraknya remuk hampir setengah bagian," kataku sambil mengatur napas.

"Ya. Dan wanita itu tidak akan pernah terbangun lagi," ucap Josh lirih.

[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now