Chapter 33

4.8K 304 1
                                    

Beberapa detik berikutnya, kami hanya bisa saling menatap dalam diam. Tiba-tiba pintu kamarku kembali terbuka dengan gaduh. Aku dan Amanda tercengang melihat Kak Jordy sedang berduel dengan Aldo yang terlihat begitu tak keruan. Ia meronta dan terus memanggil namaku, memaksa masuk dan mendekatiku.

"Aldo," ucapku lirih sambil tergesa setengah berlari berusaha menjangkau kakakku dan mantan kekasihku itu di antara teman-temanku yang lain. Mereka juga tengah mencoba menghalangi langkah Aldo. "Lepasin, Kak!" Aku menarik lengan Kak Jordy agar melepaskan Aldo yang babak belur. "Ya Tuhan, Aldo ...."

"Rei, maafkan aku. Aku tahu ini adalah hari bahagiamu, tetapi aku mohon ijinkan aku berbicara sebentar denganmu untuk terakhir kalinya. Aku mohon," ucap Aldo dengan bibir gemetar seraya menatapku lekat.

"Rei, dia nggak pantas ada di sini!" ujar Kak Jordy bengis.

"Tolong tinggalkan kami sebentar ya. Aku dan Aldo perlu waktu untuk menyelesaikan ini semua," kataku sambil menggenggam tangan Aldo yang basah karena keringat dingin dan gemetar.

Amanda menatapku sejenak, tetapi kemudian dia sadar bahwa memang inilah yang seharusnya kulakukan sebelum aku menikah dan memutuskan hubunganku dengan Aldo. Ia menarik tangan Kak Jordy, kemudian mengajak beberapa orang yang membantu Kak Jordy mengeroyok Aldo tadi untuk keluar.

Aldo. Lelaki yang selalu terlihat rapi dan tampan itu berubah menjadi sosok yang begitu berantakan. Ia hanya mengenakan t-shirt polos berwarna hitam, dengan mata sayu, dan sudut bibir berdarah. Wajahnya terlihat begitu pucat dan bingung. Tangannya pun masih gemetar dalam genggamanku.

"Rei."

Suara Aldo yang biasanya begitu renyah di telingaku, sekarang hanya seperti desiran angin yang halus.

"Maafkan aku."

Aldo menundukkan kepalanya, tetapi tangannya erat menggenggamku. "Aku mungkin nggak pernah jadi yang sempurna untuk kamu. Aku mungkin nggak pernah membalas cintamu dengan utuh. Semua perlakuanku selalu membuatmu sakit dan jengkel, tapi kumohon percayalah bahwa hingga sampai detik ini hanya kamu yang kuinginkan menjadi pendamping hidupku kelak." Aldo terisak dengan telunjuk mengusap luka akibat pukulan yang ia layangkan tempo hari di wajahku.

Hatiku mencelos. Aku tak pernah menyangka, bahwa seorang Aldo yang tegas, dingin, dan sering membentakku, bisa menjadi sosok yang begitu rapuh dan kehilanganku.

"Kumohon maafkan aku, Sayang. Aku nggak akan pernah mencegahmu untuk menikah dengan siapapun itu, asalkan kamu bahagia. Tapi aku mohon, maafkan aku. Itu aja."

Suara Aldo tercekat karena tangisnya. Dan itu membuatku tak kuasa lagi untuk tidak memeluknya. Mendekapnya ke dalam hangat pelukku yang selama ini selalu menjadi miliknya.

"Aku mencintaimu, Rei," ucap Aldo dengan dada berguncang karena emosinya yang memuncak.

Tak ada satu kata pun yang sanggup kuucapkan saat itu. Aku hanya bisa diam dan menangis, serta memeluknya sedemikian erat. Aku hanya ingin ia tahu betapa aku juga sangat kehilangan dirinya dan juga kesempatan merajut masa depan berdua dengannya. Namun, semua telah terjadi dan aku pun sudah memilih untuk tidak lagi bersamanya.

"Jaga dirimu baik-baik, Sayang. Aku akan menjagamu dari jauh untuk memastikan bahwa kamu bahagia." Aldo melepaskan dirinya, lalu menatapku lekat. "Aku tahu bahwa kamu nggak pernah ingin menikahi lelaki itu," kata Aldo setengah menghela napas.

"Aku sudah merusak hidupnya, Al. Ini satu-satunya yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan hidupnya dan juga keluarganya. Dan sebentar lagi, aku akan menjadi istrinya. Apapun alasan kami menikah, aku tetap harus menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri karena kami telah diikat atas nama Tuhan," jelasku.

Aldo mengangguk tanda mengerti. "Maaf aku merusak suasana pernikahanmu."

"Kamu adalah tamu spesialku. Terima kasih karena kamu sudah berkenan datang." Aku tersenyum sambil menggenggam tangannya erat. Tangan yang dulu selalu menggandengku penuh kehangatan, meskipun sikapnya teramat dingin seperti salju di bulan Desember.

Kami berdua keluar dari ruangan dengan perasaan yang tak dapat dijabarkan seperti apa. Aldo mengantarku ke hadapan Kak Jordy yang kemudian meminta maaf. Kakakku itu hanya terdiam. Ia memang tak pernah suka dengan sosok Aldo yang arogan dan sok berkuasa, tetapi aku yakin bila Kak Jordy dapat merasakan perih yang sedang dirasakan oleh Aldo saat ini.

Beberapa tamu undangan yang hadir sudah memenuhi ruang tengah rumahku. Tak ada keluargaku yang hadir kecuali Kak Jordy. Sisanya, teman-teman terdekatku di rumah sakit dan beberapa orang kerabat dari Bagas dan ibunya. Aku memang tak menginginkan pesta yang mewah disertai dengan ingar-bingar apapun. Aku ingin pernikahan yang sederhana, tapi tetap berkesan.

Kak Jordy dan Amanda mengantarku duduk tepat di samping Bagas yang berada di atas kursi rodanya, di hadapan penghulu. Lelaki itu mengenakan setelan jas yang terlihat begitu pas di tubuhnya. Sayangnya, ia tak berminat untuk melihatku, bahkan melirik saja pun tidak.

"Saya terima nikah dan kawinnya Reinayya Jessica Hawkins binti Clark Hawkins dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Bagas berhasil mengucapkan kalimat ijab qobul-nya dalam satu kali napas dengan sempurna. Seluruh tamu undangan pun sontak beriringan menyebut kata sah. Amanda dan Ibu bergantian memelukku. Di saat itu pula, aku melihat Aldo tersenyum dengan matanya yang basah pergi begitu saja, meninggalkan sejumput luka di hatiku yang entah kapan bisa mengering.

[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now