Chapter 55

5K 305 0
                                    

Hanya butuh waktu sekitar 30 menit bagi kami berempat menyelesaikan ritual pagi itu. Setelah membantu Ibu membersihkan dapur dan mencuci piring, aku menerima selembar kertas berisi daftar belanjaan yang harus kubeli.

"Jadi belanja?" tanya Bagas yang tiba-tiba saja muncul mengagetkanku ketika tengah membaca kertas pemberian Ibu di tanganku.

"Duuh, kamu ini bisa nggak sih ngomongnya biasa aja dan nggak perlu bikin kaget seperti gitu?!" umpatku kesal.

"Berlebihan sekali sih kamu ini? Harusnya kamu nggak perlu kaget kayak gitu, kan kamu tahu kalau tinggal di rumah ini nggak sendiri. Atau memang kamu selalu menganggap tinggal di sini sendiri tanpa ada aku dan keluargaku begitu ya?" protes Bagas yang lagi-lagi tengah menatapku lekat.

Mulutku terkunci. Aku merasakan sesuatu di perutku, seperti ada seekor ayam berkepak-kepak sinting di dalamnya. Refleks, aku menepuk-nepuk perut itu. Perasaan apa ini? Jangan bilang ini ada hubungannya dengan Bagas dan sepasang mata indah miliknya.

"Ya Tuhan, mata lelaki ini!" pekikku dalam hati, membuat si ayam makin menggila.

Awalnya, aku tak pernah sekurang kerjaan ini sampai harus mengamati mata Bagas baik-baik. Warna mata Bagas bening kecokelatan layaknya dedaunan yang rontok di sepanjang jalan, di musim gugur ini. Seolah itu saja kurang cukup mengagumkan, mata Bagas dibingkai bulu mata yang panjang dan tebal, jenis bulu mata yang bakal membuat Syahrini sirik setengah mati. Ini bukan kali pertama aku menatap setiap jengkal wajahnya, tetapi aku memang seolah tak pernah bosan dibuatnya.

"Heh, kenapa malah melamun sih?" lagi-lagi Bagas protes.

"Bisa nggak sih, sekali aja kamu nggak ngomel ke aku? Namanya orang kaget masa iya bisa diprediksi?" cerocosku tak mau kalah untuk menutupi betapa gemetarnya aku saat itu yang lagi-lagi harus berada di situasi mendebarkan dengannya. Sama seperti malam itu. Ketika ia membungkamku lewat satu kecupan lembut di bibir dan mengakhiri itu semua dengan pelukan hangat sebagai permintaan maafnya. Dan tak ada hal lainnya yang kami lakukan sepanjang malam itu. Kami memang suami istri, tapi tampaknya maried by accident ini telah membuat kami canggung satu sama lain, sehingga lupa akan kewajiban masing-masing.

Bagas tetap berdiri di tempatnya, sementara aku berjalan melewatinya untuk melihat cuaca.

"Kamu mau belanja naik apa?" tanyanya dengan suara lebih kalem. Usahanya sangat kentara untuk menuruti setiap perkataanku, meski dia gengsi dan mati-matian menyangkalku.

"Kata Ibu, supermarketnya deket sini. Jadi ya, aku bakal jalan kaki aja. Kenapa?"

Bagas membasahi bibirnya dengan ujung lidah sebelum balik bertanya, "Mau aku temenin nggak belanjanya?"

Aku terbelalak mendengar kalimat itu. "Kamu yakin?"

Bagas menganggukkan kepalanya cepat. "Aku juga butuh sedikit penyesuaian dengan kaki baruku ini kan?" katanya lagi.

"Ya sudah, pakai sepatumu. Kita berangkat sebentar lagi," kataku sambil menyembunyikan senyum menahan perasaan bahagia yang tak bisa kutemukan maknanya.

[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now