Chapter 5

10.7K 603 7
                                    

Aku menemukan mobil Aldo berada dekat pintu keluar area parkir rumah sakit. Dengan setengah berlari, kupasang senyum paling manis ketika tanganku membuka pintu mobil berwarna hitam itu. "Hai, Sayang!" sapaku dengan nada seceria mungkin.

Tatapan Aldo hanya lurus ke depan. Matanya menatap titik yang tak terlihat olehku. Rahangnya mengeras dengan kening setengah berkerut. Tangannya mencengkeram kemudi dengan erat.

"Jadi, kita bertemu dengan orangtua kamu di mana?" tanyaku sesaat setelah duduk manis di sebelah Aldo.

"Rumah," jawab Aldo dingin.

Seketika itu juga suasana hatiku berubah. Aku tahu dia sedang marah dan itu membuatku tak enak hati. "Maaf, tapi aku benar-benar lupa untuk memeriksa handphone-ku."

Aldo terdiam sembari memutar kemudinya. Masih dengan tatapan dingin yang sama.

"Aku terlalu sib—" kata-kataku tercekat karena dengan cepat Aldo sudah menyalakan musik remix di mobilnya. Musik yang tak pernah kusukai karena terlalu berisik. Apalagi kali ini Aldo memutarnya dengan volume kencang hingga membuat dadaku berdetak karena speaker di bagian belakang mobil yang terus menghentak. Dari sikapnya aku paham, bahwa Aldo tak ingin mendengar alasanku. Aku pun mengunci mulut rapat-rapat.

Jujur saja, suasana hatiku sudah mulai terkontaminasi oleh sikap Aldo dan juga pengaruh hormon di tubuhku sendiri. Berulang kali aku mencoba menenangkan diri, mengatur napas untuk mengusir segala pikiran negatif yang bisa memancing amarahku sendiri. Saat ini, aku benar-benar tak butuh emosi, karena itu hanya akan membuat posisiku makin sulit.

Cukup lama kami terkekang dalam diam dan beberapa menit berikutnya, mobil Aldo berhenti tepat di depan pagar tinggi berwarna putih yang otomatis terbuka ketika Aldo menekan sebuah tombol di sisi kemudinya. Mobilnya masuk perlahan melewati taman yang luas dengan beragam tanaman hias dan pepohonan rindang. Tepat di tengah taman ada sebuah kolam air mancur dengan lampu berwarna warni. Bangunan mewah bergaya mediterania dengan hampir keseluruhan bangunannya didominasi warna cokelat, krem, dan putih, lengkap dengan pilar raksasa tepat di bagian depannya berada tak jauh dari sana. Aldo menghentikan mobilnya persis di depan beberapa anak tangga dengan lantai marmer berkilau.

Aldo keluar dari mobil dengan setengah membanting pintu. Ia sepertinya benar-benar kalut, tetapi ia tetap menungguku di depan pintu putih besar dengan kenop berwarna keemasan. Setelah menarik napas panjang, aku pun keluar dari mobil dan memasang senyum termanis.

"Maaf," ucapku saat Aldo menatapku dengan bibir terkunci.

Ia memang tak membalas ucapanku, tapi dari air mukanya terlihat ia sedang berusaha melepaskan sejenak amarahnya, kemudian mengusap kepalaku lembut. Hatiku lega menerima perlakuan manis Aldo. Dia memang selalu marah, tapi tak pernah lama. Aldo menggandengku dan mendorong pintu raksasa di hadapan kami.

"Assalamualaikum," ucapku lirih tetap menggema ke segala penjuru ruangan. Rumah itu terasa dingin dan kosong.

Tak ada yang menjawab salamku, tetapi aku melihat sepasang suami istri yang kuyakini sebagai orangtua Aldo berjalan ke arah kami dari ujung ruangan. Ya, ini adalah kali pertamaku bertemu dengan kedua orangtua laki-laki yang telah menjalin hubungan denganku kurang lebih selama satu tahun terakhir. Bukan karena Aldo tak menghendakiku bertemu dan berkenalan dengan keluarganya, tapi memang karena kedua orangtuanya lebih sering tinggal di Singapura dan masih berkewarganegaraan Rusia.

"Halo, Reinayya," sapa ibu Aldo yang tampak begitu glamor dengan busana corwin tulle maxi dress berwarna navy blue, terlihat sangat kontras dengan pakaian yang kukenakan. Kemeja dan jeans. Wanita itu menyambutku dalam pelukan dan kecupan di pipi kanan dan kiri.

"Halo, Tante," balasku. "Halo, Om," lanjutku menyapa pria setengah baya dengan kemeja sederhana berwarna putih dan celana khaki. Satu-satunya hal yang membuatku terpana adalah kalung rantai sebesar jari telunjukku yang melingkar di leher ayah Aldo.

[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now