Chapter 16

8K 494 25
                                    

"Rei?" Amanda heran melihatku yang tengah berdiri di depan salah satu lift rumah sakit.

Aku tersenyum dengan kepala sedikit miring mencibirnya, karena mengira bahwa tidak akan bertemu dengan Amanda meskipun sudah memilih jalan belakang untuk masuk ke RS.

"Sedang apa kamu di sini? Ada masalah? Kamu sakit?" Dia masih menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya.

Kutepis jari lentik itu dan kugenggam seperti anak kecil. "Aku ada janji temu dengan Bagas dan ibunya."

Amanda berjengit tak percaya. "Hah?"

"Tadi aku ke rumah Aldo tanpa sepengetahuanmu. Dia setuju untuk mencabut tuntutannya dan melepaskan Bagas dari segala tuduhan."

Amanda menatapku dengan bingung.

Pintu lift terbuka dan kebetulan sekali ibu Bagas dan Medina ada di dalam sana.

"Tante Dokter!" pekik Medina yang tangannya tengah digenggam ibunya itu girang karena melihat Amanda.

"Hai, Cantik!" balas Amanda tergesa masuk ke dalam lift, mengubah ekspresinya sambil mencubit pipi Medina lembut.

Aku pun tersenyum salah tingkah dan mengangguk ke arah ibu Bagas. Wanita itu membalasku dengan ramah. Tak ada gurat kebencian sedikit pun di wajahnya ketika melihatku.

"Medina mau kemana?" tanya Amanda yang sebelumnya tersenyum ke arah ibu Medina yang berparas ayu dan dihiasi sedikit kerutan itu.

"Mau beli cokelat!" Gadis kecil itu nyengir sambil memamerkan sederet giginya yang putih dan rapi meskipun sangat suka sekali dengan cokelat.

"Eh, Kakak punya cokelat lho!" kataku yang memang sengaja sudah menyiapkan sebatang cokelat untuk Medina sebelum ke RS tadi.

"Kakak?" gumam Amanda setengah melongo, tapi aku tak menggubrisnya.

Mata Medina berbinar sambil terus mengawasiku yang sibuk mencari cokelat dari dalam tasku.

"Ini dia!" Kataku sambil mengacungkan sebatang cokelat almond.

Medina meraihnya dengan mata membulat dan senyum tersungging di wajahnya.

"Aduh jadi merepotkan," kata ibunya. "Bilang apa, Nak?"

"Terima kasih," kata Medina malu-malu.

"Sama-sama, Sayang," kataku. "Ibu mau kemana?" tanyaku berusaha menyingkirkan kekakuan.

"Saya dan Medina berniat cari makan siang. Medina dari pagi belum makan nasi, cokelat terus." Wanita berhijab itu mengusap kepala putri kecilnya sesaat sebelum pintu lift terbuka di lantai dasar RS. "Dok, kami pamit dulu ya. Terima kasih untuk cokelatnya," lanjutnya.

"Ehm ... Bu, apakah saya boleh ikut makan siang dengan Ibu? Ada hal penting yang ingin saya bicarakan," kataku.

Wanita itu sekilas menatap Amanda tapi kemudian beliau tersenyum. "Tentu saja boleh."

Aku merogoh saku jeans yang kukenakan, mengeluarkan kunci mobilku dari sana, kemudian menyerahkannya dalam genggaman Amanda. "Setir ya!"

"Hmmm," gumam Amanda yang kugamit lengannya agar tidak ngamuk karena ulahku siang ini.


***


Terima kasih sudah membaca Married by Accident.

Jangan lupa vote dan comment, ya! :)

[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now