Chapter 6

9.6K 563 25
                                    

Mereka mengajakku menuju ruang makan yang entah kenapa aku merasa jaraknya begitu jauh dengan ruang tamu. Rumah ini hampir seluas lapangan sepak bola. Sayang, tak ada kehidupan. Pantas saja Aldo lebih memilih untuk tinggal di apartemennya, ketimbang di rumah ini. Hanya ada beberapa asisten yang mendiami tempat ini sekaligus merawatnya dan menyambut sang pemilik ketika kembali pulang.

Malam itu kami saling bertukar cerita sambil menikmati aneka hidangan ala Rusia. Mulai dari borscht yang merupakan sup hangat terbuat dari sari buah bit, sehingga warnanya menjadi merah menyala, dilengkapi dengan kaldu daging sapi, kubis, dan potongan daging hingga tula gingerbread yang begitu terkenal seantero Rusia. 

"Meskipun sibuk, wanita tetap harus bisa memasak agar suami tidak berpaling nantinya," ujar ibu Aldo sambil menyuapkan sesendok penuh potongan daging dan mengunyahnya dengan anggun.

Kalimat itu terdengar seperti godam yang menghantam kepalaku. Mama Aldo memang mengucapkannya tanpa ekspresi sinis ataupun sadis, tapi aku justru merasa sedang disudutkan. Wanita itu tersenyum simpul sambil menatapku sekilas, tetapi kesan tegasnya tak hilang begitu saja dari ingatanku. Sama halnya dengan ayah Aldo yang sedari tadi hanya mengeluarkan kalimat tak jelas, sepatah dua patah kata. Entahlah, mungkin aku yang tak mengerti bahasanya atau memang bahasa Indonesianya telah tercampur dengan bahasa Rusia yang rumit.

Baru saja aku akan menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutku, ponselku berdering. Tak hanya aku, tetapi Aldo tampaknya juga terkejut. Kekasih itu melirikku melalui ekor matanya yang kemudian disusul dengan denting garpu yang ia banting di atas piring. Dia tahu benar, bahwa musik milik Ed Sheeran yang sedang mengalun lirih saat ini adalah musik yang sengaja kupilih khusus untuk nomor panggilan yang berasal dari rumah sakit. Maklum, sebagai seorang dokter aku tidak boleh begitu saja menonaktifkan ponsel.

"Maaf, Om, Tante, saya permisi sebentar," ujarku bergegas berdiri sambil menggenggam ponsel yang masih berdering menuju sudut rumah Aldo. "Halo?"

"Rei, kamu kemana aja sih? Udah hampir dua jam kamu pergi!" omel Amanda.

"Kenapa, Man? Ada yang darurat lagi?" tanyaku dengan nada tanpa dosa.

"Astaga, Rei! Jangan bilang kalau kamu lupa malam ini  incharge!" nada bicara Amanda kian meninggi.

Kalimat itu membuatku terdiam. Ah, iya aku baru ingat! Amanda benar, dan aku dalam masalah besar.   

"Oke, aku segera kesana!" seruku yang segera mengakhiri pembicaraan dan membalik badan. Aldo sudah berdiri tak jauh dari tempatku dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya. Ekspresi wajahnya lebih suram ketimbang saat ia menjemputku sore tadi.

"Apa lagi kali ini?" tanyanya dengan suara berat seperti menahan emosi.

"Al, maaf aku lupa kalau malam ini aku incharge," ucapku lirih penuh dengan penyesalan.

Tak ada satu pun kata terucap dari bibir Aldo. Kekasihku itu berjalan menuju tempat di mana kedua orangtuanya masih menunggu kami. "Ma, Pa, maaf tapi Aldo harus mengantar Rei kembali ke rumah sakit karena ada panggilan mendadak." Aldo menyambar kunci mobilnya yang tergeletak di meja.

"Om, Tante, mohon maaf sekali bila Rei dengan sangat terpaksa harus pamit sekarang," ucapku gusar penuh rasa bersalah.

Wanita itu tak menjawab, ia hanya melayangkan senyum yang tak bisa kuartikan maknanya.

Aku balas tersenyum dengan kikuk dan sedikit gemetar. "Terima kasih Om, Tante atas sambutan baiknya. Rei benar-benar minta maaf," kataku sekali lagi sambil mencium tangan mereka.

"Selamat bertugas," ujar ibu Aldo sebelum aku beringsut keluar mengikuti langkah putranya. Entah mengapa ada desiran aneh di dalam tubuhku yang menyatakan, bahwa mereka tidak baik-baik saja. Sama seperti Aldo yang mungkin saat ini tengah murka.

[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now