Prolog

16.6K 469 17
                                    

Orang-orang bilang; yang dipegang dari orang dewasa adalah janjinya.

Gue rasa itu tepat.

Bagi gue, dewasa itu bukan hanya ditentukan oleh umur, tapi dari cara berpikir, cara menghadapi suatu masalah, juga cara mengambil suatu keputusan.

Selain itu orang juga bilang; yang dipegang dari orang dewasa adalah omongannya.

Iya omongannya, bukan cuma ceplas-ceplos asal ngomong. Tapi pakai otak dan nalar.

Berbicara tentang kedua hal itu membuat gue teringat kembali pada saat di mana gue masih berusia 10 tahun.

Terbilang masih bocah emang, namun saat itu adalah masa-masa di mana gue mulai sadar akan berharganya sebuah janji yang diucapkan. Bukan sekedar pengucapan dengan embel-embel “janji”. Di sini yang gue maksud harus disertai dengan tekad untuk memenuhi ucapan yang sudah dijanjikan. Bukan cuma berucap berusaha meyakinkan seseorang untuk percaya tetapi setelahnya tidak diwujudkan, melainkan berusaha untuk memenuhi apa yang sudah diyakinkan oleh orang lain.

Karena kejadian 7 tahun yang lalu itu, membuat gue merasa sensitif dikala orang-orang mengucap janji di hadapan gue.

Contohnya; janji bakalan ngembaliin bolpoin beserta tutupnya, janji bakalan enggak ngapus bekas tipex pakai tutupnya; dan yang paling sakral janji bakalan tutup mata kalau rok cewek-cewek ketiup angin.

Sebenarnya contoh-contoh yang udah gue sebutin barusan itu masih enggak ada apa-apanya dibanding janji 7 tahun yang lalu.

Mungkin kalian berpikir kalau gue enggak jelas atau terlalu bertele-tele kayak cewek karena terus-terusan bahas kejadian itu tanpa kasih tau ke kalian ada apa sebenarnya dengan janji 7 tahun yang lalu.

Sebenarnya janjinya klise; enggak bakal pergi meninggalkan gue kayak Mama yang sudah pergi meninggalkan gue untuk selamanya.

Bodohnya gue, walaupun kenyataannya gue tau cepat atau lambat semua orang akan pergi, tapi tetap aja gue percaya sama dia. Emang, enggak ada kapoknya.

Tapi, apa salahnya kalau gue berharap dia akan kembali dan berusaha menepati janjinya? Berusaha kembali buat menghabiskan waktu bersama sebelum maut yang benar-benar akan memisahkan kita?

Apa salah kalau gue berharap dia kembali mengisi kekosongan yang selama ini gue rasakan?

Ya, gue tau bahasa gue terlalu berat. Lebay emang.

Cuma perlu kalian tau, semuanya bakalan beda kalau kalian ngerasain yang namanya jatuh cinta. Gampangnya, otak enggak sejalan sama hati. Mungkin otak lo bilang “ini, tapi hati lo belum tentu juga bilang begitu.

Selain itu, mungkin kalian berpikir anak 10 tahun bisa apa sih selain main yoyo, petak umpet, sepak bola? Paling janjinya ya sekedar janji main-main doang.

Tapi beda, bagi gue janji itu bukan hanya sekedar main-main.

Di saat waktu sudah mendewasakan seseorang sebelum umurnya, semuanya jadi berbeda.

Beda dalam segala hal. Sampai-sampai gue berharap janji itu terwujud dalam kenyataan, bukan sekedar ucapan.

Karena jujur, rasanya mencintai seseorang dengan jarak sebagai hambatannya lebih menyakitkan. Karena jarak, timbul rindu. Semakin lama semakin besar, rasanya semakin sesak.

Hanya mampu berharap suatu saat rindu itu bisa diluapkan bersama dengannya. Hanya mampu berharap hal itu akan terjadi tanpa ada kepastian yang mampu menjamin hal itu. Dan hal itulah yang membuat perasaan ini semakin sakit.

Karena cuma 1 yang aku mau,

Memutar kembali waktu disaat kita bersama, hanya berdua.

Aku dan kamu, tanpa jarak diantara kita,

Maureen.

-

Halo. Ini cerita pertama saya. Maaf jika ceritanya kurang pas di hati😊

Selamat membaca!🐝

Stay [Completed]Where stories live. Discover now