ADRAS V.A 22

2.1K 70 0
                                        

Ya. Akhirnya Alexander berhasil membunuh Adras, bukan dengan nyawa melainkan dengan ego besarnya.

‎Adras yang biasanya tangguh, pewaris Valtores yang diwajibkan tak lemah sekarang berlutut di depannya.

‎Tak ada yang benar-benar memuaskan selain menyaksikan anak musuhnya yang putus asa.

‎Alexander menatap Aluna yang terus meneteskan air matanya, tubuh gadis itu bergetar hebat. Isak tangisnya memecah keheningan di kedua yacht itu.

‎DOR!

‎Tanpa pikir panjang Alexander menembak semua anak buahnya dengan brutal. Tak ada yang tersisa selain dirinya dan Adras yang berlutut di seberang sana.

‎Di sisi lain, Aluna terjatuh pingsan saat menyaksikan pembunuhan massal untuk kedua kalinya.

‎Adras berdiri, mengabaikan rasa sakit dan demam yang membakarnya. Dia melompat ke yacht Alexander, mendarat di antara mayat-mayat yang berserakan. Adras berjongkok lalu memeriksa keadaan Aluna.

‎"Sayang..." bisik Adras lirih, mencoba membangunkan gadis itu.

‎"Semuanya akan berakhir di sini, Adras."
‎Alexander berdiri di depan Adras, masih memegang pistol miliknya, tatapannya dingin dan kosong.

‎Adras ikut berdiri, meninggalkan Aluna yang tak sadarkan diri.

‎Dia menatap Alexander dengan tatapan yang sulit diartikan-campuran amarah, lelah, dan kepasrahan.

‎Adras menoleh ke belakang, ke arah yacht-nya sendiri tempat Damian berdiri membeku.

‎"Bawa Aluna," perintah Adras mutlak
‎.
‎"T-tapi..." Damian ragu, tidak ingin meninggalkan pemimpinnya sendirian di tengah situasi berbahaya ini.

‎"Kau hanya bawahan sial, jalankan apa yang aku perintahkan!" umpat Adras saat Damian tak beranjak.

‎Tanpa pikir panjang, Damian yang berada beberapa langkah di belakang Adras melompat kembali ke yacht mereka. Dia segera membawa Aluna ke dalam.

‎Setelah selesai, Damian memerintahkan kru untuk menjauh, meninggalkan Adras sendirian.

‎Ya, di tengah laut yang bergelombang pelan, hanya tersisa yacht milik Alexander yang diisi oleh Adras dan Alexander. Ditemani oleh mayat-mayat yang berserakan, suasana menjadi mencekam.

‎Alexander mengangkat pistolnya, mengarahkannya ke Adras.

‎"Kau menang, Adras," kata Alexander dengan suara hampa. "Tapi dendam ini selesai di sini. Aku tidak bisa hidup dengan apa yang sudah kulakukan."

‎Alexander mengalihkan pistolnya, mengarahkannya ke pelipisnya sendiri.

‎DOR!

‎Suara tembakan menggema keras, bersamaan dengan suara guntur dan hujan yang semakin deras. Alexander roboh seketika.

‎Adras terdiam menatap mayat Alexander. Dendam itu benar-benar berakhir.

‎****

‎"Sayang..."

‎"Bangun, Al..."

‎"Sunshine..."

‎Aluna menggeliat pelan saat mendengar bisikan pelan di telinganya.

‎Aluna membuka matanya perlahan lalu menyaksikan Adras yang dekat sekali dengan wajahnya. Laki-laki itu basah kuyup, demamnya terlihat jelas di matanya, tapi dia hidup. Adras selamat.

‎"Adras!" seru Aluna, langsung memeluk leher Adras erat. Air matanya kembali mengalir, tapi kali ini air mata kelegaan.

‎Adras membalas pelukan Aluna tak kalah erat. "Semuanya udah selesai."

‎Saat ini Aluna tengah dirawat di rumah sakit. Adras menyewa satu lantai penuh, menjadikannya zona steril yang dijaga ketat oleh pengawal bersenjata. Tak ada yang bisa memasuki area itu tanpa izin mutlak dari Adras sendiri.

Di balik keamanan yang berlapis, kelegaan menyelimuti Aluna. Siapa sangka Alexander, pria dengan obsesi sebesar itu, memilih bunuh diri alih-alih melenyapkan Adras? Dalam hati, Aluna merasa lega yang tak terlukiskan, meskipun ia merasa kejam karena bahagia atas kematian seseorang. Baginya, kematian Alexander berarti akhir dari mimpi buruk.

Beberapa hari kemudian, Aluna diperbolehkan pulang. Demam tinggi Adras pun sudah reda, menyisakan luka tembak yang mulai pulih. Mereka sepakat: Australia sudah tidak aman lagi. Semuanya telah berakhir di sini, dan kini saatnya kembali ke Indonesia.

Sebelum keberangkatan mereka, Adras mengambil keputusan besar. Dia menyerahkan semua urusan harian GRAVA pada Damian dan Martis. Dia menetapkan batas waktu: Adras baru akan mengambil alih kendali penuh organisasi saat umurnya menginjak 35 tahun.

Sebelum usia itu, fokusnya beralih sepenuhnya untuk menggantikan posisi Elisa sebagai pemimpin perusahaan keluarga mereka.

Di Taman Belakang Mansion Lucian
Adras berdiri sepuluh langkah di depan Lucian, mengelus surai tebal Atlas, singa jantan buas yang hanya patuh pada tuannya. Lucian, dengan tenang menghembuskan asap rokok dari mulutnya, tidak berani mendekat. Mata tajamnya menatap punggung putranya.

"Jangan lupakan tugasmu sebagai pewaris Valtores," suara Lucian terdengar dingin dan penuh penekanan.

"Aku lahir untuk Valtores," balas Adras datar, ironis dengan kalimat yang keluar dari mulutnya sendiri.

"Baiklah, aku akan kembali saat usiaku menginjak 35 tahun. Sebelum itu, berjanjilah padaku," Adras berdiri tegak, berbalik menghadap ayahnya. "Jangan menyeret Aluna lagi ke dalam kekacauan ini."

Lucian menatap Adras sesaat, lalu mengangguk singkat. "Baiklah." Final
Lucian berbalik, meninggalkan Atlas yang kini mulai menatapnya dengan pandangan buas.

***

Sorry banget telat guys, hidupku kemarin se-hectic adegan kejar-kejaran Adras! 😭

Jangan lupa tinggalkan jejak ya (vote/komen)! Hargai konsistensi author yang berusaha keras di tengah kesibukan! Hehe.

See you di next bab!

ADRAS V.A [ DAILY UPDATE ] Where stories live. Discover now