Tok tok!
Saat seorang guru tengah fokus menjelaskan pelajaran, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dan masuk tanpa permisi.
Ya, Adras hanya mengetuk pintu sebagai formalitas.
"Senang bertemu denganmu, Adras," sapa guru itu pelan, agar hanya Adras yang mendengar.
Adras mengacuhkan dan duduk di kursi pojok.
Setelah pelajaran pertama selesai, para murid SMA Yudistira berhamburan ke kantin, termasuk Adras.
Sebenarnya, Adras tak butuh teman, tapi segerombolan laki-laki mendekatinya.
Mereka sudah cukup akrab setelah sebulan saling kenal.
Kelompok itu terdiri dari Raze, Prabu, serta kembar Guntur dan Petir.
Mereka terkenal bukan hanya karena ketampanan, tapi juga kekayaan melimpah. Tak sembarang orang bisa berteman dengan mereka, bahkan Alvian.
Namun kini, mereka yang mendatangi Adras.
"Gokil sih, balapan kemarin gue suka banget. Lo belajar dari mana, Dras?" tanya Guntur membuka pembicaraan.
"MUAK, ANJING! Itu udah seminggu yang lalu. Lo bisa stop bahas ga!?" geram Petir ke saudara kembarnya.
"Please, maklumin tingkah si Guntur, dia kan udik banget," goda Prabu pedas, menusuk ulu hati.
"Bilang sekali lagi! Kalau gue jalan bareng pacar, gak pernah beliin dia teh es!" ucap Guntur.
Mereka tertawa, menarik perhatian banyak mata. Sekelompok pria tampan yang sulit diabaikan.
"Gak heran Prabu dan teman-temannya dekat sama Adras, setara secara fisik dan harta."
"Isinya visual semua, milih sambil pejam mata juga gak rugi, deh."
"Circle-nya Alvian kebanting banget sama gengnya Prabu."
"Heh, jangan bilang gitu. Sekolah ini kan milik Yudistira, ayahnya Alvian."
BRAK!
Alvian datang dengan nafas terengah-engah menghampiri meja Adras dan teman-temannya.
BUGH!
Tanpa pikir panjang, Alvian memukul wajah Adras.
Hening.
Adras mengusap bibirnya yang pecah, sedikit kebas tapi tak goyah.
Seumur hidup, dia tak pernah dipukul—hanya memukul.
Dominasi Adras membuat suhu ruangan mendadak dingin. Alvian yang biasanya berani mendadak ciut.
"L-lo yang kirim coklat buat cewe gue, kan?" tanya Alvian sambil melempar coklat ke kaki Adras.
Adras terkekeh sinis, maju dan menginjak coklat itu dengan sepatu mahalnya.
"Kalau gue yang kasih, gue nggak bakal kasih coklat murah kaya gitu," ucap Adras sembari menarik kerah baju Alvian.
BUGH!
Satu pukulan telak membuat Alvian terhuyung dan membentur meja di belakangnya.
Adras terus memukul tanpa ampun, membabi buta.
Berani-beraninya bocah miskin macam Alvian memukul tuan muda keluarga Valtores—anak Lucian.
17 tahun Adras hidup, tapi tak pernah merasakan pukulan hina seperti ini sebelumnya.
Dan semua cuma gara-gara kesalahpahaman soal coklat?
"Brengsek," umpat Adras sambil menginjak perut Alvian yang hampir tak berdaya.
Tak satu pun dari mereka berani melerai. Adras seperti kesetanan, dan semua terlalu takut mendekat.
Adras menunduk, mengambil name tag yang menempel di baju Alvian, lalu mendengus sebelum melemparkannya ke sembarang arah.
********
Sore hari, Adras baru saja pulang dari luar. Seragam sekolahnya sudah berantakan, namun wajahnya tetap datar dengan luka kecil di sudut bibirnya.
Setelah menutup pintu kamar, Adras melepas seragamnya dan melemparkannya begitu saja.
Tubuh kekarnya terlihat jelas—bertelanjang dada, punggung lebar, perut berotot sixpack, dan dada bidang yang keras.
Ia duduk di sofa, menyandarkan kepala, merasakan kebosanan yang semakin dalam meski baru sebulan berada di Indonesia.
Tak ada pertempuran.
Tak ada pistol.
Dan tak ada musuh yang harus dibunuh.
Orang tua Adras sudah bercerai sejak ia berusia tujuh tahun.
Perceraian itu bukan karena pertengkaran, melainkan karena profesi mereka yang tak pernah sejalan.
Adras tak pernah menyalahkan siapa pun.
Rujuk atau tetap berpisah, baginya itu bukan masalah — selama mereka bahagia, ia pun ikut bahagia.
Ia tumbuh di dua dunia berbeda:
Kasih sayang hangat dari ibunya, Elisa, wanita yang selalu bersinar di depan kamera, berasal dari keluarga pebisnis dan seniman ternama.
Dan pelindung yang diam dari ayahnya, Lucian — pria keras dari keluarga Valtores di Australia, hidup di dunia penuh darah dan konflik.
Mereka tak pernah saling membenci. Bahkan saat bertemu, mereka masih terlihat seperti dua kekasih yang enggan berpisah—hanya saja tak bisa bersama. Lucian tahu, cinta pun bisa membunuh jika dijalani di dunia yang salah, maka ia memilih melepaskan.
Dan Adras pun memahami itu sepenuhnya.
Adras memejamkan mata, merasa sedikit lelah setelah balapan liar bersama Prabu dan teman-teman barunya.
Setelah beberapa saat duduk, Adras beranjak dari sofa dan mulai membersihkan dirinya.
Ia mengguyur tubuh telanjangnya di bawah shower, gerakannya sudah diperhitungkan—tegas dan tertata.
Di sisi lain, Elisa baru kembali setelah menyelesaikan beberapa pekerjaannya di luar.
Ia langsung menghampiri pelayan yang tadi pagi, meminta untuk menyiapkan makan malam bersama sekaligus memberikan penjelasan tentang kebiasaan Adras.
“Seperti yang saya bilang, Adras nggak suka sarapan nasi di pagi hari, entah nasi goreng atau apapun itu,” kata Elisa sambil memotong beberapa buah-buahan.
“Kamu cukup siapkan sandwich, telur rebus, atau salad di pagi hari,” sambung Elisa, tetap fokus pada pekerjaannya.
“Kalau weekend biasanya dia ke ruang gym pagi-pagi, jadi kamu beresin kamarnya dulu, siapin handuk buat dia setelah mandi,” Elisa meletakkan salad buah yang sudah ia siapkan di meja.
“Oh ya, anak saya juga nggak suka makanan yang manis. Kalau kamu masak sayur, jangan pakai gula, ngerti?” tanya Elisa sambil menatap pembantu baru itu.
Pembantu hanya mengangguk, berusaha mengingat semua yang Elisa katakan.
“Nanti kalau saya ada perjalanan ke luar negeri, kamu jangan sampai bikin kesalahan satu pun, ya. Anak saya sebenarnya simpel,” Elisa mengaduk sup yang hampir matang dan mencicipinya. “Kalau dia nggak suka sesuatu, ya dia nggak makan. Dia juga nggak pernah marah ke siapa pun,” tambahnya.
“Tapi sebagai ibu, saya ingin yang terbaik untuk anak saya, makanya saya langsung mengajarkan kamu semua ini.”
“Baik, Nyonya. Saya mengerti,” jawab pembantu dengan kepala menunduk penuh rasa hormat dan kagum.
Elisa adalah sosok yang sering dipuji media internasional, tapi ia tetap memperhatikan detail kecil tentang kebiasaan dan kesukaan putranya. Cara dia menjelaskan tegas tanpa membentak, dan selalu memperlakukan pelayan seperti manusia, tanpa hinaan atau kemarahan.
Meskipun memiliki segalanya di dunia, Elisa tetap berhati malaikat.
“Nah, kalau begitu saya mandi dulu ya. Kamu bawa semua makanan ini ke meja nanti,” ucap Elisa setelah semuanya selesai.
“Baik, Nyonya,” balas pembantu itu dengan penuh hormat.
Elisa melangkah anggun, seperti model papan atas sekaligus pengusaha sukses. Setelah membersihkan diri, ia keluar dari kamarnya dan berjalan menuju kamar Adras.
Meski hanya mengenakan baju rumahan biasa, pesona Elisa sebagai model tak bisa disembunyikan. Cara berjalan dan sikap tegasnya mencerminkan wanita berpendidikan dan penuh wibawa.
Ia mengetuk pintu kamar Adras satu, dua kali, tapi tak ada jawaban.
Elisa lalu membuka pintu yang tak terkunci itu perlahan, dan melihat Adras tertidur pulas dalam posisi telungkup.
YOU ARE READING
ADRAS V.A [ DAILY UPDATE ]
Mystery / ThrillerAdras Valtores-putra tunggal dari dua keluarga berbeda profesi. Dingin, berbahaya, dan nyaris tak memiliki belas kasihan. Tapi hidupnya berubah ketika sebuah insiden kecil di sekolah mempertemukannya dengan Aluna-gadis biasa yang tanpa sadar menarik...
![ADRAS V.A [ DAILY UPDATE ]](https://img.wattpad.com/cover/403641579-64-k393895.jpg)