WARNING ❗
AREA 18+
*****
Di belakang mansion Lucian, terhampar taman luas yang menjadi rumah Atlas—singa jantan dewasa yang sudah Adras rawat sembilan tahun lamanya.
Singa jantan itu begitu besar. Saat menyadari kehadiran Adras, ia berdiri dan berjalan pelan, layaknya seorang penguasa.
Singa itu tidak dikurung dalam sangkar, namun dibuatkan taman khusus yang ditumbuhi pohon-pohon besar sebagai habitatnya.
Atlas berdiri di depan Adras. Adras menggerakkan jarinya, memberi isyarat agar singa itu menunduk. Jika Atlas berdiri tegak, tinggi singa itu hampir mencapai dada Adras.
Singa itu duduk dengan patuh. Sesekali terdengar auman beratnya yang rendah.
Adras mengelus rambut tebal Atlas. Tak ada yang berani mendekati singa itu, bahkan Lucian sendiri.
Damian yang berdiri di belakang Adras mengambil langkah mundur. Tangannya berkeringat dingin karena rasa takut yang mencekam.
"Seret orang itu ke sini," perintah Adras pada Damian. Tangan kekarnya tak berhenti memberikan usapan lembut di rambut Atlas.
Damian patuh. Ia segera berbalik setelah mendapatkan izin Adras.
Adras tersenyum tipis saat singa itu tidak beranjak. "Apa kau ingin makan manusia utuh?" tanya Adras pada singa itu, seolah-olah Atlas mengerti bahasanya.
Singa itu mengaum nyaring seolah menjawab pertanyaan Adras.
Adras terkekeh sinis, lalu menoleh pada seseorang yang dibawa oleh beberapa anggota GRAVA.
Anggota GRAVA itu membelalakkan mata mereka saat melihat singa jantan yang begitu besar. Mereka mundur perlahan, diliputi rasa takut.
Pria paruh baya dengan luka di lututnya
histeris saat menyadari nasibnya: ia akan menjadi santapan Atlas.
Adras menarik pria paruh baya yang berusaha menjauh dengan cara merangkak itu, lalu mendorongnya ke arah Atlas.
"TIDAK! KAU IBLIS SIALAN!" teriak pria paruh baya itu sebelum diterkam Atlas.
Atlas segera mengoyak tubuh pria malang itu. Beberapa anggota GRAVA dan Damian yang menyaksikan pemandangan brutal tersebut bergegas pergi sebelum muntah.
Di sisi lain, Adras berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tak ada ekspresi apa pun di wajah datarnya.
Tatapan tajamnya menatap Atlas yang lahap memakan tubuh pria paruh baya itu.
Suasana yang mendung menambah rasa mencekam. Sesekali guntur terdengar menggema di taman belakang. Atlas fokus pada santapannya, sementara Adras berdiri tegap di depannya.
Tak ada ekspresi.
Tak ada rasa kasihan.
Pria paruh baya itu salah karena terus memaki Adras sejak di bunker bawah tanah. Ego Adras yang besar jelas tak terima.
Bau amis seketika mendominasi penciuman Adras. "Selain sifatnya yang busuk, darahnya pun berbau bangkai," ucap Adras sarkas sebelum berbalik meninggalkan taman belakang.
Sedetik setelah Adras pergi, hujan turun mengguyur tubuh tercabik-cabik pria paruh baya itu.
Air hujan membuat darah segar mengalir deras, membasahi tanah. Auman nyaring Atlas menggema, berpadu dengan suara guntur.
****
Adras duduk di sofa, menyesap alkohol dari gelas yang sudah berisi beberapa potong es batu.
Seorang dokter profesional berjenis kelamin pria tengah fokus mengobati luka tembak di bahu Adras.
"Luka ini kecil bagimu, tapi jika tak ditangani segera akan menimbulkan masalah serius," jelas dokter itu setelah selesai mengobati luka tembak Adras.
Adras mendengus, lalu meminum alkoholnya lagi. "Ku dengar kau punya pacar? Kalau ada waktu, kenalkan dia padaku," ucap sang dokter dengan akrab.
"Aku ingin dia tahu bahwa pacarnya sering memberikan manusia hidup untuk makanan peliharaannya," kekeh dokter itu sebelum berdiri.
"Sialan," umpat Adras kesal.
Dokter itu tertawa pelan sebelum pamit undur diri dari kamar Adras.
Adras, yang hanya mengenakan celana tanpa atasan, menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.
Satu tangannya menjulur di sepanjang sandaran sofa, sementara tangan yang lain membuka sabuk hitamnya lalu melemparnya ke sembarang arah.
Adras mengumpat pelan saat kepalanya terasa pening akibat pengaruh alkohol. Leher kokohnya terekspos jelas saat laki-laki itu mendongak.
Drtt.
Ponsel Adras bergetar, pertanda pesan masuk. Adras mengambil ponselnya, lalu memeriksa isi pesan itu.
"Sial, Aluna," umpat Adras saat memeriksa pesan yang Aluna kirim.
Beberapa foto seksi dengan belahan dada dan paha yang terekspos, serta pesan yang semakin membuat kepala Adras terasa pening.
Tanpa pikir panjang, Adras menelepon Aluna. Saat gadis itu mengangkat panggilannya, Adras bicara tanpa basa-basi.
"Mancing?" tanya Adras dengan suara serak.
"Enggak, kok. Itu 'kan baju yang lo siapin? Jadi gue pakai buat menghargai lo," jelas Aluna.
"Gue lebih ngerasa dihargai kalau lo telanjang depan gue."
Aluna terkikik geli sebelum mematikan panggilannya secara sepihak.
"Sial." Lagi, Adras kembali mengumpat saat gadisnya bersikap begitu jahil.
Adras melemparkan ponselnya. Kepalanya mendongak dengan punggung bersandar.
Beberapa hari tak bertemu dengan gadisnya membuat rasa rindu Adras memuncak.
Miliknya mengeras dibawah sana. Matanya terpejam dengan tangan yang mulai membuka resleting celananya.
****
Di sisi lain, Aluna tertawa geli saat berhasil mempermainkan Adras. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju walk-in closet untuk berganti pakaian.
Setelah selesai, ia keluar dari kamar dan melihat-lihat keadaan mansion. Aluna menyeringit saat cincin mutiara yang Adras berikan tak terpasang di jari manisnya.
"Gue taruh di mana, ya?" tanya Aluna pada dirinya sendiri.
Aluna ingin berbalik, tetapi seorang pria misterius membekap mulutnya dengan sarung tangan yang dicampuri obat bius.
"Hmshhm." Aluna berusaha melawan, tetapi obat bius yang mulai bekerja membuatnya pingsan.
Pria misterius itu membawa Aluna ke belakang mansion. Beberapa temannya sudah menunggu di sana.
"Hati-hati, jangan sampai ada yang lengah," ucap pria misterius itu dengan suara serak.
"Hubungi Tuan Alexander, bahwa kita sudah berhasil menculiknya," sambung pria misterius itu sebelum kembali memasuki mansion.
Salah satu dari mereka terlihat memasukkan Aluna ke dalam mobil berwarna hitam.
Ya, salah satu mafia yang lupa Adras bereskan akibat terlalu banyak masalah yang datang. Ia menyeringai puas saat berhasil menculik Aluna.
Mafia itu mulai menjalankan mobilnya menuju bandara. Satu kelalaian kecil membuat Aluna, berhasil diculik Alexander.
Sementara itu, di dalam mansion, pria misterius yang menculik Aluna kembali bertugas di depan mansion.
"Hei, di mana pengawal yang berjaga di belakang mansion?" tanya salah satu dari pengawal.
"Sepertinya mereka sedang makan siang," ucap pria misterius itu, pura-pura tak tahu.
"Apa!? Kita bisa mati jika meninggalkan tugas demi makan siang!"
Belum sempat pria misterius itu menjawab, teriakan panik kepala pelayan terdengar dari dalam mansion.
"NONA ALUNA, NONA ALUNA!" teriaknya dengan panik.
Beberapa pengurus mansion keluar dengan napas terengah-engah. Mereka mengatakan Aluna menghilang.
"Kita bisa mati!!!" ucap salah satu pelayan perempuan histeris, membuat keadaan semakin kacau.
Saat semua orang sibuk mencari dan berlarian kesana-kemari, pria misterius itu melangkahkan kakinya keluar dari gerbang utama mansion dengan tenang.
Di depan, seorang gadis cantik bersembunyi di balik pohon besar sedang menunggunya.
"Kita berhasil," ucap pria misterius itu sembari mengusap rambut putrinya, Alicia.
Alicia tersenyum puas sebelum meninggalkan mansion yang sedang kacau itu. "Untunglah Adras lalai. Kalau satu mafia terakhir dihabisi, dia pasti enggak bisa kenalin kita sama Tuan Alexander," ucap Alicia bangga.
Dirto tertawa kecil, pikirannya kembali melayang saat ia bertemu dengan anak buah Lucian.
****
Cerita gua udah tembus 1k view dalam waktu kurang 1 bulan. Gua sangat-sangat berterimakasih sama kalian yang terus stay, baca dan vote cerita gua.
I love you guys.
YOU ARE READING
ADRAS V.A [ DAILY UPDATE ]
Mystery / ThrillerAdras Valtores-putra tunggal dari dua keluarga berbeda profesi. Dingin, berbahaya, dan nyaris tak memiliki belas kasihan. Tapi hidupnya berubah ketika sebuah insiden kecil di sekolah mempertemukannya dengan Aluna-gadis biasa yang tanpa sadar menarik...
![ADRAS V.A [ DAILY UPDATE ]](https://img.wattpad.com/cover/403641579-64-k393895.jpg)