ADRAS V.A 19

2.1K 84 0
                                        

WARNING ❗

AREA 18+

*****

‎Di belakang mansion Lucian, terhampar taman luas yang menjadi rumah Atlas—singa jantan dewasa yang sudah Adras rawat sembilan tahun lamanya.

‎Singa jantan itu begitu besar. Saat menyadari kehadiran Adras, ia berdiri dan berjalan pelan, layaknya seorang penguasa.

‎ Singa itu tidak dikurung dalam sangkar, namun dibuatkan taman khusus yang ditumbuhi pohon-pohon besar sebagai habitatnya.

‎Atlas berdiri di depan Adras. Adras menggerakkan jarinya, memberi isyarat agar singa itu menunduk. Jika Atlas berdiri tegak, tinggi singa itu hampir mencapai dada Adras.

‎Singa itu duduk dengan patuh. Sesekali terdengar auman beratnya yang rendah.
‎Adras mengelus rambut tebal Atlas. Tak ada yang berani mendekati singa itu, bahkan Lucian sendiri.

‎Damian yang berdiri di belakang Adras mengambil langkah mundur. Tangannya berkeringat dingin karena rasa takut yang mencekam.

‎"Seret orang itu ke sini," perintah Adras pada Damian. Tangan kekarnya tak berhenti memberikan usapan lembut di rambut Atlas.

‎Damian patuh. Ia segera berbalik setelah mendapatkan izin Adras.

‎Adras tersenyum tipis saat singa itu tidak beranjak. "Apa kau ingin makan manusia utuh?" tanya Adras pada singa itu, seolah-olah Atlas mengerti bahasanya.

‎Singa itu mengaum nyaring seolah menjawab pertanyaan Adras.

‎Adras terkekeh sinis, lalu menoleh pada seseorang yang dibawa oleh beberapa anggota GRAVA.

‎Anggota GRAVA itu membelalakkan mata mereka saat melihat singa jantan yang begitu besar. Mereka mundur perlahan, diliputi rasa takut.

‎Pria paruh baya dengan luka di lututnya
‎histeris saat menyadari nasibnya: ia akan menjadi santapan Atlas.

‎Adras menarik pria paruh baya yang berusaha menjauh dengan cara merangkak itu, lalu mendorongnya ke arah Atlas.

‎"TIDAK! KAU IBLIS SIALAN!" teriak pria paruh baya itu sebelum diterkam Atlas.

‎Atlas segera mengoyak tubuh pria malang itu. Beberapa anggota GRAVA dan Damian yang menyaksikan pemandangan brutal tersebut bergegas pergi sebelum muntah.

‎Di sisi lain, Adras berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tak ada ekspresi apa pun di wajah datarnya.

‎Tatapan tajamnya menatap Atlas yang lahap memakan tubuh pria paruh baya itu.

‎Suasana yang mendung menambah rasa mencekam. Sesekali guntur terdengar menggema di taman belakang. Atlas fokus pada santapannya, sementara Adras berdiri tegap di depannya.

‎Tak ada ekspresi.

‎Tak ada rasa kasihan.

‎Pria paruh baya itu salah karena terus memaki Adras sejak di bunker bawah tanah. Ego Adras yang besar jelas tak terima.

‎Bau amis seketika mendominasi penciuman Adras. "Selain sifatnya yang busuk, darahnya pun berbau bangkai," ucap Adras sarkas sebelum berbalik meninggalkan taman belakang.

‎Sedetik setelah Adras pergi, hujan turun mengguyur tubuh tercabik-cabik pria paruh baya itu.

‎Air hujan membuat darah segar mengalir deras, membasahi tanah. Auman nyaring Atlas menggema, berpadu dengan suara guntur.

‎****
‎Adras duduk di sofa, menyesap alkohol dari gelas yang sudah berisi beberapa potong es batu.

‎Seorang dokter profesional berjenis kelamin pria tengah fokus mengobati luka tembak di bahu Adras.

‎"Luka ini kecil bagimu, tapi jika tak ditangani segera akan menimbulkan masalah serius," jelas dokter itu setelah selesai mengobati luka tembak Adras.

‎Adras mendengus, lalu meminum alkoholnya lagi. "Ku dengar kau punya pacar? Kalau ada waktu, kenalkan dia padaku," ucap sang dokter dengan akrab.

‎"Aku ingin dia tahu bahwa pacarnya sering memberikan manusia hidup untuk makanan peliharaannya," kekeh dokter itu sebelum berdiri.

‎"Sialan," umpat Adras kesal.

‎Dokter itu tertawa pelan sebelum pamit undur diri dari kamar Adras.

‎Adras, yang hanya mengenakan celana tanpa atasan, menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.

‎Satu tangannya menjulur di sepanjang sandaran sofa, sementara tangan yang lain membuka sabuk hitamnya lalu melemparnya ke sembarang arah.

‎Adras mengumpat pelan saat kepalanya terasa pening akibat pengaruh alkohol. Leher kokohnya terekspos jelas saat laki-laki itu mendongak.

‎Drtt.

‎Ponsel Adras bergetar, pertanda pesan masuk. Adras mengambil ponselnya, lalu memeriksa isi pesan itu.

‎"Sial, Aluna," umpat Adras saat memeriksa pesan yang Aluna kirim.

‎Beberapa foto seksi dengan belahan dada dan paha yang terekspos, serta pesan yang semakin membuat kepala Adras terasa pening.

‎Tanpa pikir panjang, Adras menelepon Aluna. Saat gadis itu mengangkat panggilannya, Adras bicara tanpa basa-basi.

‎"Mancing?" tanya Adras dengan suara serak.

‎"Enggak, kok. Itu 'kan baju yang lo siapin? Jadi gue pakai buat menghargai lo," jelas Aluna.

‎"Gue lebih ngerasa dihargai kalau lo telanjang depan gue."

‎Aluna terkikik geli sebelum mematikan panggilannya secara sepihak.

‎"Sial." Lagi, Adras kembali mengumpat saat gadisnya bersikap begitu jahil.

‎Adras melemparkan ponselnya. Kepalanya mendongak dengan punggung bersandar.

‎Beberapa hari tak bertemu dengan gadisnya membuat rasa rindu Adras memuncak.

‎Miliknya mengeras dibawah sana. Matanya terpejam dengan tangan yang mulai membuka resleting celananya.

‎****

‎Di sisi lain, Aluna tertawa geli saat berhasil mempermainkan Adras. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju walk-in closet untuk berganti pakaian.

‎Setelah selesai, ia keluar dari kamar dan melihat-lihat keadaan mansion. Aluna menyeringit saat cincin mutiara yang Adras berikan tak terpasang di jari manisnya.

‎"Gue taruh di mana, ya?" tanya Aluna pada dirinya sendiri.

‎Aluna ingin berbalik, tetapi seorang pria misterius membekap mulutnya dengan sarung tangan yang dicampuri obat bius.

‎"Hmshhm." Aluna berusaha melawan, tetapi obat bius yang mulai bekerja membuatnya pingsan.

‎Pria misterius itu membawa Aluna ke belakang mansion. Beberapa temannya sudah menunggu di sana.

‎"Hati-hati, jangan sampai ada yang lengah," ucap pria misterius itu dengan suara serak.

‎"Hubungi Tuan Alexander, bahwa kita sudah berhasil menculiknya," sambung pria misterius itu sebelum kembali memasuki mansion.

‎Salah satu dari mereka terlihat memasukkan Aluna ke dalam mobil berwarna hitam.

‎Ya, salah satu mafia yang lupa Adras bereskan akibat terlalu banyak masalah yang datang. Ia menyeringai puas saat berhasil menculik Aluna.

‎Mafia itu mulai menjalankan mobilnya menuju bandara. Satu kelalaian kecil membuat Aluna, berhasil diculik Alexander.

‎Sementara itu, di dalam mansion, pria misterius yang menculik Aluna kembali bertugas di depan mansion.

‎"Hei, di mana pengawal yang berjaga di belakang mansion?" tanya salah satu dari pengawal.

‎"Sepertinya mereka sedang makan siang," ucap pria misterius itu, pura-pura tak tahu.

‎"Apa!? Kita bisa mati jika meninggalkan tugas demi makan siang!"

‎Belum sempat pria misterius itu menjawab, teriakan panik kepala pelayan terdengar dari dalam mansion.

‎"NONA ALUNA, NONA ALUNA!" teriaknya dengan panik.

‎Beberapa pengurus mansion keluar dengan napas terengah-engah. Mereka mengatakan Aluna menghilang.

‎"Kita bisa mati!!!" ucap salah satu pelayan perempuan histeris, membuat keadaan semakin kacau.

‎Saat semua orang sibuk mencari dan berlarian kesana-kemari, pria misterius itu melangkahkan kakinya keluar dari gerbang utama mansion dengan tenang.

‎Di depan, seorang gadis cantik bersembunyi di balik pohon besar sedang menunggunya.

‎"Kita berhasil," ucap pria misterius itu sembari mengusap rambut putrinya, Alicia.

‎Alicia tersenyum puas sebelum meninggalkan mansion yang sedang kacau itu. "Untunglah Adras lalai. Kalau satu mafia terakhir dihabisi, dia pasti enggak bisa kenalin kita sama Tuan Alexander," ucap Alicia bangga.

‎Dirto tertawa kecil, pikirannya kembali melayang saat ia bertemu dengan anak buah Lucian.

‎****

Cerita gua udah tembus 1k view dalam waktu kurang 1 bulan. Gua sangat-sangat berterimakasih sama kalian yang terus stay, baca dan vote cerita gua.

I love you guys.

ADRAS V.A [ DAILY UPDATE ] Where stories live. Discover now