ADRAS V.A 9

2.9K 82 0
                                        

Setelah pertengkaran kecil dengan Lucian, Adras tidak pernah lagi mengunjungi markas yang berada di Indonesia. Ego-nya terlalu besar jika harus menggunakan kekuatan ayahnya setelah perdebatan kecil itu.

Ia menggunakan akses milik kakeknya yang selama ini ia bekukan. Kakeknya hanya memimpin satu organisasi independen yang tidak memiliki hubungan atau ketergantungan dengan berbagai sub-unit milik Lucian. Jadi, organisasi itu bergerak atas perintah Adras, dan hanya laki-laki itulah yang bisa menggunakannya.

Setelah Adras meresmikan pembukaan organisasi itu, banyak penjahat kriminal yang ingin bergabung, termasuk politikus dan hacker ilegal. Saat ini, Adras berada di Australia, tepatnya di markas besar organisasi itu.

Adras menatap berkas di tangannya, beberapa markas GRAVA—nama organisasi miliknya—tersebar di beberapa negara, salah satunya adalah Amerika Serikat, Italia, dan Turki.

"Adakan rapat besar-besaran, minta semua anggota dari berbagai negara ini datang," ucap Adras, aura kepemimpinannya terlihat sangat jelas. Anak dari orang kepercayaan kakeknya, Adras jadikan sebagai tangan kanannya.

Keluarga Alejandro sudah mengabdikan hidupnya untuk keluarga Valtores dari jaman nenek moyang mereka. Adras pun tidak tahu awalnya bagaimana, tapi kesetiaan mereka tidak perlu diragukan.

Karena umur Adras baru menginjak 17 tahun, itu akan menimbulkan kontroversi, sehingga Adras meminta kepala keluarga Alejandro yang meresmikan pembukaan organisasi itu kembali. Adras akan bermain di balik layar, dan keluarga Alejandro yang menyampaikan.

"Baik, rapat dan jadwal akan saya sesuaikan dengan timing yang pas," ucap Damian—anak dari kepala keluarga Alejandro: Martis Alejandro. Damian yang menjadi tangan kanan Adras, dan Martis yang Adras minta untuk membuka pembekuan organisasi.

Damian pun baru berumur 23 tahun, lebih tua dari Adras, namun laki-laki itu sangat menghormati keturunan Valtores. Setelah itu, Adras keluar dari markas, ada beberapa hal yang harus ia urus kembali.

Di tengah malam, Adras memarkirkan mobilnya di hutan yang gelap gulita. Ada sebuah kastil tua dengan pintu besi yang berkarat, pintu itu ditutup rapat-rapat agar tidak ada yang bisa memasuki kastil tua itu.

Adras menggulung kemeja sampai lengan, memperlihatkan tangan kekar beruratnya. Ia menyalakan senter dan mulai memasukkan angka-angka rumit yang sudah ia hafal di luar kepala.

Pintu itu terbuka otomatis saat Adras selesai menekan berbagai angka rumit. Saat terbuka, Adras dihadapkan oleh pemandangan yang menyeramkan. Mau bagaimana pun kastil itu tidak terurus selama bertahun-tahun.

Tok...tok...tok. Sepatu Adras menggema di ruang tengah kastil itu. Ia menaiki tangga dan mengambil kunci dari saku celananya. Setelah sampai di depan pintu sebuah ruangan, Adras membuka pintu itu dengan kunci di tangannya.

Sebelum menyentuh gagang pintu itu, Adras memakai sarung tangan hitamnya. Saat pintu didorong, decitan pintu itu terdengar nyaring. Dan ya, ruangan itu adalah perpustakaan. Berbagai macam buku tua tersusun sangat rapi. Dindingnya sangat lebar, butuh tangga yang sangat tinggi agar bisa mengambil buku tua yang paling atas.

Meja dan kursi panjang tersusun begitu rapi. Adras menelusuri buku-buku itu sampai menemukan kertas dengan angka rumit yang harus ia selesaikan dengan cepat. Ia membasahi kertas itu dengan sedikit air, lalu secara acak mengambil buku di rak-rak kayu itu.

Buku itu ia gunakan untuk menulis dan menghitung berbagai angka rumit di secarik kertas. Adras hanya memiliki waktu 30 menit sebelum kertas itu mengering. Adras mengumpat saat angka-angka itu menghilang.

Hanya satu baris yang belum ia hitung, namun angka itu sudah menghilang. Ia menyungkur rambutnya dengan frustrasi. Adras mengingat berbagai angka yang sudah terlanjur menghilang. Ia kembali menghitung agar menemukan jawaban yang pas.

"Ayolah anjing, percuma lo dididik dari kecil kalau mengingat satu baris angka aja susah," gumam laki-laki itu sembari menulis.

Setelah memakan waktu hampir 2 jam, akhirnya laki-laki itu menemukan jawaban nya: 1242009. Adras kembali berjalan, ia mendorong salah satu rak dan menemukan ruang jahit. Di bawah kursi jahit itu ada sebuah jalan bawah tanah.

Ia mendorong kursi itu dan memasukkan jawaban yang sudah ia hitung. Hanya satu kali kesempatan, jika gagal maka pintu itu tidak akan pernah bisa dibuka. Pintu itu berbunyi ceklik, tanda Adras berhasil.

Adras membuka pintu besi itu agar bisa turun ke ruang bawah tanah. Ia menuruni tangga itu dan menemukan berbagai emas batangan yang bertumpuk rapi. Batang-batang emas itu hampir memenuhi ruang bawah tanah yang super luas ini.

Adras mendekati salah satu patung emas berbentuk wajah kakeknya, lalu dengan sekali putar patung itu mengeluarkan memory card. Memory yang menyimpan berbagai rahasia negara, politikus ternama, dan skandal global dunia.

Semua catatan dan emas itu adalah milik kakeknya, kekayaan kakeknya bahkan melebihi Lucian. Berbagai dokumen kepemilikan lengkap dengan tanda tangan kakeknya. Dari vila, hotel, kebun anggur, dan jangkauan kekuasaan.

Adras tersenyum tipis, merasa puas atas kepercayaan kakeknya padanya. Ia kembali memasukkan memory card itu ke tempat semula.

"Belum waktunya gue ambil semua ini, terlalu berat untuk umur gue sekarang," gumam Adras sembari keluar dari ruang bawah tanah itu.

Adras menempelkan klip di bawah pintu besi itu sebelum menutupnya. Klip itu berguna jika sewaktu-waktu Adras ingin mengganti kode.

Adras duduk di kursi kekuasaan kakeknya, lalu tertawa puas seperti orang gila.

Flashback on.

Saat itu Adras baru berusia sepuluh tahun, dengan ditemani kakeknya Adras belajar menembak. "Kau belajar dengan cepat, kakek bangga," ucap kakeknya. Kakeknya hanya bisa duduk di kursi roda karena sudah tidak kuat berdiri.

Tak ada ekspresi apa pun di wajah Adras, hanya tembakan yang beruntun dan tak teratur yang Adras kecil lakukan saat itu. "Aku muak dengan semua ini!" Adras melemparkan pistolnya, napasnya naik turun karena emosi.

Kakeknya tersenyum, senyum sendu dan kasihan. Cucunya bahkan tidak pernah merasakan bagaimana piknik bersama keluarga. Air mata Adras turun, mungkin itu air mata pertama dan terakhir sejak ia menginjakkan kaki di mansion ini.

"Aku lelah, setiap hari harus belajar tiada henti," keluh Adras kecil saat itu. "Apakah keluarga kita belum cukup kaya? Kenapa aku harus berlatih seperti anjing, tak ada istirahat dan tak ada ibu yang menemaniku."

"Setiap kali melihat televisi, aku selalu berharap ibu menemui ku dan ayah mengajak kami liburan!" geram Adras kecil saat itu, ia mengeluarkan unek-unek yang selama ini ia pendam.

"Keluarga kita sudah cukup kaya, itu sebabnya kamu menanggung beban yang berat," suara kakeknya membuat emosi Adras sedikit mereda. Kakeknya mempunyai senyum yang menenangkan, aura-nya sangat ramah, tidak mendominasi dan menyeramkan seperti Lucian.

"Karena keluarga kita kaya, kamu harus dididik agar menjadi pemimpin dan pewaris Valtores, bukan karena ayahmu menyiksa mu, tapi karena itu takdir kamu," ucap kakeknya, mengelus rambut tebal Adras.

"Tak ada yang seharusnya kamu salahkan di sini Adras," setiap kalimat kakeknya seakan mengatakan bahwa Adras pantas mendapatkan ini semua. "Kakek menyimpan semua kekayaan keluarga Valtores di kastil bawah tanah perpustakaan, itu semua kakek simpan untuk mu," kakek Adras menyerahkan berbagai kunci dan secarik kertas.

"Di situ, terdapat memory card. Jika itu di tangan mu, kamu bahkan tidak perlu berlatih seperti ini lagi, dunia yang akan tunduk padamu," senyum kakeknya sebelum menekan tombol otomatis agar kursi roda itu berjalan.

Adras menatap kunci dan secarik kertas itu, sebelum menyimpannya. Sejak saat itu Adras sudah menerima takdir yang harus ia jalani, seperti apa yang kakeknya bilang.

Flashback off.

ADRAS V.A [ DAILY UPDATE ] Where stories live. Discover now