Beberapa jam sebelumnya, Adras menghentikan mobilnya di depan rumah Aluna. Sore ini, ia mengantarkan gadisnya setelah pulang sekolah.
"Makasih," kata Aluna.
"Buat apa?"
"Ya, karena lo anterin gue."
Adras menganggukkan kepalanya, lalu dengan gerakan tegas, ia mengungkung tubuh Aluna. Adras menekan tombol agar kursi mobil setengah baring.
Aluna meletakkan kedua tangan di dada bidang Adras, memberi sedikit jarak di antara mereka. Tangan Adras mulai mengusap paha Aluna dengan gerakan pelan, namun mampu membuat napas Aluna tercekat.
"Gimana sama bokap lo?" tanya Adras setelah hening beberapa saat.
"Ayah ga ngomong apa-apa soal hubungan kita," jawab Aluna.
Adras menganggukkan kepalanya, lalu menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Aluna. "Banyak yang harus gue beresin," ucap Adras, tangannya sesekali meremas paha dalam Aluna.
"Jangan kecapean, apa lagi ngerokok," balas Aluna sebelum mendorong Adras menjauh.
Adras kembali duduk di kursi kemudi, rambutnya sedikit berantakan, namun menambah pesona dirinya. Saat Aluna hendak keluar dari mobil, Adras menahan pergelangan gadis itu.
"Lo ga mau cium gue?" tanya Adras.
Aluna menghela napas sebelum bergerak mengecup rahang tegas pria itu. "Kalau ngerokok, gue gamau cium lo lagi," ucap Aluna sebelum benar-benar keluar dari dalam mobil.
Adras terkekeh kecil mendapati tingkah menggemaskan Aluna. Setelah Aluna memasuki rumah, ia menyalakan mobilnya dan melaju menuju mansion di tengah hutan.
Di sisi lain, Aluna melangkahkan kakinya menuju kamar. Rumah sangat sepi, hanya ada pembantu dan dirinya. Ayahnya belum pulang dari kantor.
Setelah membersihkan dirinya, Aluna turun ke dapur untuk membantu pelayan menyiapkan makan malam. Di tengah aktivitas Aluna dan pembantu, ponsel Aluna berdering pertanda panggilan masuk.
"Ayah Is Calling...."
Aluna menyeringit saat ayahnya menelepon, tanpa pikir panjang, Aluna menekan tombol hijau agar panggilan tersambung.
"Ayah malam ini ga pulang, soalnya kerjaan kantor banyak," ucap ayahnya setelah panggilan tersambung.
"Padahal aku sama bibi masak banyak," dari nadanya, Aluna sedikit kecewa saat ayahnya lembur.
"Maafin ayah, Aluna," ucap ayahnya merasa bersalah. "Sementara ayah ga ada di rumah, kamu sama Adras dulu," tiba-tiba ayahnya mengalihkan pembicaraan.
Aluna menghela napas sebelum menjawab pernyataan ayahnya. "Adras lagi sibuk, lagi pula aku udah biasa sama bibi. Ayah ga perlu khawatir," kata Aluna berusaha menenangkan kekhawatiran ayahnya.
"Yauda kalau gitu, kamu tutup pintu sama jendela, kalau ada yang ngetuk jangan dibukain," pesan ayahnya sebelum memutuskan panggilan secara sepihak.
Aluna tak curiga sedikit pun, lalu mengatakan pada pembantu agar menyimpan makanan di dalam kulkas agar tak basi. Aluna hanya makan malam bersama pembantu, sesekali tertawa bersama karena obralan random mereka.
Setelah beberapa saat, Aluna menuju kamar untuk beristirahat. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Ia bermain ponsel beberapa menit sebelum tertidur.
Satu jam... dua jam...
Sampai pada pukul 2 dini hari, tiba-tiba terdengar lemparan nyaring di ruang tengah. Tentu saja itu mengejutkan Aluna, ia duduk dengan napas memburu.
"Siapa?" tanya Aluna pada dirinya sendiri.
Dengan kaki telanjang, ia mendekati pintu dan perlahan membukanya. Tangan Aluna gemetar saat ia membuka pintu kamar, rasa takut dan kecemasan memenuhi hatinya.
"AAAAA!!"
DOR!
Terdengar teriakan nyaring pembantu sedetik kemudian, suara tembakan menggema di rumah Aluna. Aluna mematung di atas tangga, ayahnya terkapar lemas di tengah ruangan bersama empat laki-laki bertubuh besar.
Kaca jendela yang pecah dan beberapa vas yang berserakan di lantai, darah segar mengalir dari tubuh pembantu. Pembantu terbaring dengan mata melotot dan pelipis yang berlubang akibat tembakan dari salah satu pria itu.
Kaki Aluna lemas tak bisa menopang bobot tubuhnya, air matanya menetes akibat syok yang berlebihan. Keringat sebesar biji jagung menetes dari pelipisnya, napasnya pendek karena terlalu takut.
Aluna menjerit keras saat salah satu pria itu menodongkan pistol ke arahnya, ia ingin kabur, namun kakinya sangat lemas. Pria itu mendekati Aluna, hendak menarik gadis itu, namun...
DOR!
Belum sempat ketiga temannya bereaksi, mereka juga dilumpuhkan dengan timah panas. Aluna mendongak menatap beberapa orang bertopeng, menebak empat pria berbadan besar itu.
Seakan kesadarannya kembali, ia berusaha berdiri dan melangkah menuju kamarnya. Ia menutup pintu kamar tanpa menguncinya, dengan tangan gemetaran, Aluna mencari ponselnya guna menghubungi Adras.
Hanya laki-laki itu yang ada dalam benaknya. Saat panggilan tersambung, Aluna terduduk lemas.
"Adras.."
"Kenapa?" saat mendengar suara Adras, tangis Aluna pecah, tenggorokannya terasa tercekat, otaknya terlalu syok untuk mencerna semua kejadian beberapa menit lalu.
Aluna mengatakan hal yang berulang, tak ada yang bisa ia jelaskan pada Adras. Sedangkan di seberang sana, Adras menyetir sembari menenangkan gadisnya.
Setelah beberapa saat, Aluna mulai tenang dan napasnya kembali teratur. Ia tak berani keluar dari dalam kamar sebelum Adras sampai.
Di sisi lain, Adras memarkirkan mobilnya secara asal, lalu mendapati lima mayat di rumah Aluna. Adras mengumpat pelan, ia dengan cepat memakai sarung tangan berwarna hitam miliknya. Lalu memeriksa denyut nadi ayahnya Aluna.
Denyut nadinya sangat lemah, namun memberikan sedikit harapan untuk hidup. Adras mengambil ponselnya, lalu menelepon seseorang untuk mengantarkan ayah Aluna ke rumah sakit. Setelah selesai, ia menaiki tangga dan membuka pintu kamar Aluna.
Gadis itu meringkuk di sisi ranjang, suara tangis Aluna begitu menyayat hati Adras. Adras berjongkok, lalu memeluk gadis itu guna menenangkan. "Gue di sini," ucap Adras pelan, namun membuat tangis Aluna semakin pecah.
"Ayah, Adras..." gumam Aluna di sela tangisnya.
"Bibi aku ditembak.."
"Aku takut.."
Adras membisikkan kalimat-kalimat penenang agar Aluna tak semakin menjadi. Tangan kekarnya mengusap punggung Aluna naik turun.
Setelah beberapa saat, Aluna terdiam. Adras menyeringit saat Aluna tiba-tiba diam. Rahang Adras mengeras saat menyadari gadisnya pingsan. Ia mengumpat pelan sebelum mengangkat tubuh Aluna ke dalam mobil.
Di dalam mobil, Adras melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, wajahnya datar, namun sorot matanya menunjukkan seberapa khawatir pria itu pada Aluna.
*******
11 jam kemudian...
Adras berdiri di ruang khusus tempat dokter pribadi memeriksa Aluna. Lantai rumah sakit ini telah ia kosongkan, dijaga ketat oleh orang-orang berpakaian hitam di sepanjang lorong. Tak ada yang bisa masuk tanpa seizin Adras.
"Aluna mengalami reaksi vasovagal disertai syok psikologis akut. Itu yang menyebabkan dia kehilangan kesadaran selama itu," jelas sang dokter hati-hati.
Adras menyilangkan tangan di belakang tubuh, ekspresinya gelap. "Seberapa serius?"
“Tidak mengancam nyawa,” jawab dokter. “Tapi tubuhnya bereaksi ekstrem. Ia baru saja terbangun lalu langsung terpapar trauma besar. Sistem sarafnya panik, detak jantung melambat, tekanan darah drop. Itu sebabnya dia pingsan.”
Adras mengepalkan tangan. Tak ada ancaman nyawa, tapi rasa khawatir dalam dirinya tak surut sedikit pun. "Pantau tiap jam. Kirim laporan ke saya langsung," perintahnya datar sebelum berbalik meninggalkan ruangan dokter.
Ia membuka pintu kamar inap Aluna. Suasana sunyi, hanya suara alat monitor berdetak lembut. Adras duduk di samping ranjang, menatap wajah pucat gadis itu.
Perlahan, kepalanya ia tenggelamkan di atas perut Aluna.
"Jangan bikin gue takut, Aluna" bisiknya pelan.
Dadanya sesak. Untuk pertama kalinya, Adras Valtores menangis. Dalam diam.
YOU ARE READING
ADRAS V.A [ DAILY UPDATE ]
Mystery / ThrillerAdras Valtores-putra tunggal dari dua keluarga berbeda profesi. Dingin, berbahaya, dan nyaris tak memiliki belas kasihan. Tapi hidupnya berubah ketika sebuah insiden kecil di sekolah mempertemukannya dengan Aluna-gadis biasa yang tanpa sadar menarik...
![ADRAS V.A [ DAILY UPDATE ]](https://img.wattpad.com/cover/403641579-64-k393895.jpg)