ADRAS V.A 15

2.6K 81 0
                                        

‎30 menit kemudian

‎Saat Adras fokus menyetir, panggilan dari markas masuk ke ponselnya. Ia mengangkatnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya tetap menggenggam kemudi.

‎"Maaf, Tuan Muda. Tuan Lucian melarang kami menjalankan perintah Anda," ucap suara di seberang dengan sopan.

‎Rahang Adras mengencang. Ia menutup panggilan itu tanpa sepatah kata pun.

‎Pikirannya langsung bekerja cepat, mencoba memahami alasan ayahnya menghalangi perintah tersebut. Tatapannya menajam, dan tanpa sadar ia menginjak pedal gas lebih dalam.

‎"Jadi gitu, ya..." gumam Adras dengan suara sinis. "Lo berlindung di bawah bokap gue?"

‎Ia langsung menghubungi seseorang. Begitu tersambung, ia memberi instruksi tanpa basa-basi.

‎"Cari Yudis di Australia. Dia ngumpet di bawah ketek bokap gue."

‎"....."

‎"Gue bakal kirim informasi soal perusahaan Yudis. Curi semua datanya, bocorin ke publik."

‎"....."

‎"Tiga hari lagi gue ke Australia. Gue harus pastikan cewek gue aman."

‎Adras keluar dari mobil dengan ponsel masih di telinganya. "Seret Yudis ke depan gue."

‎Setelah memastikan semua rencananya jelas, ia menutup panggilan secara sepihak dan melangkah masuk ke mansion yang terletak di tengah hutan.

‎Ia menuju ruangan besar yang dipenuhi peralatan medis. Di sebelah ruangan perawatan, ada satu ruangan terpisah yang hanya dibatasi kaca besar transparan.

‎Adras memasuki ruangan itu. Di dalam, Damian Alejandro—tangan kanan dan seorang dokter kepercayaan keluarga Valtores—berdiri dengan kepala menunduk, kedua tangannya menyilang di depan tubuh.

‎"Bagaimana kondisi Jarot?" tanya Adras dengan suara berat.

‎Dokter itu menatap layar monitor sebentar sebelum menjawab.

‎"Tuan Jarot mengalami trauma parah di bagian kepala," jelasnya tenang. "Benturan keras menyebabkan pendarahan otak ringan yang sempat menekan sistem saraf pusat." 
‎ 
‎Adras mengangguk tipis, netranya tak lepas dari tubuh ringkih Jarot di balik kaca. 
‎ 
‎"Kondisinya stabil, tapi belum sadar. Ada kemungkinan ia mengalami disorientasi saat bangun nanti. Bahkan mungkin, hilang ingatan jangka pendek." 
‎ 
‎"Berapa lama sampai dia sadar?" 
‎ 
‎"Bisa tiga hari, bisa tiga minggu. Itu tergantung seberapa kuat tubuhnya merespons pengobatan." dokter itu melirik grafik detak jantung. "Kami sudah hentikan pendarahannya. Sekarang tinggal menunggu waktu dan perawatan intensif." 

‎Adras menghela napas panjang, lalu merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sebungkus rokok, menarik satu batang, dan menyalakannya.

‎Sial. Kepalanya dipenuhi terlalu banyak masalah.

‎Lucian—ayahnya sendiri—melindungi dalang penyerangan Jarot. 

‎Aluna yang terus merengek ingin bertemu sang ayah. 

‎Organisasi GRAVA yang semakin tidak stabil akibat gangguan dari beberapa hama. 

‎Dan kecemasannya untuk meninggalkan Aluna, meski hanya sementara, demi pergi ke Australia.

‎Adras mengembuskan asap rokok pelan-pelan, seolah ikut melepas beban berat yang menyesakkan dadanya.

‎Dua orang yang berdiri di belakangnya hanya bisa diam. Mereka tahu benar: saat Adras seperti ini, satu kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal.

‎Adras menekan pipi dalamnya dengan lidah, lalu berkata pelan namun mantap, “Kurung Aluna di mansion ini.”

‎Ia mengisap rokok sekali lagi sebelum berbalik, menatap Damian tajam.

‎“Aku akan membawa Aluna bertemu ayahnya di sini. Setelah dia tertidur, aku akan berangkat ke Australia,” ucapnya tegas. “Pastikan seluruh sudut mansion dijaga ketat. Tutup semua akses keluar. Jangan biarkan Aluna keluar sebelum aku kembali.”

‎Damian menelan ludah. “Apa itu tidak berlebihan?” tanyanya hati-hati. Detak jantungnya makin kencang. “Maksud saya… Aluna baru saja mengalami trauma berat. Bukankah ini justru bisa memperburuk keadaannya?”

‎Adras menyunggar rambutnya dengan kasar, ekspresinya kalut. Aura dominannya memuncak, membuat Damian makin tertekan.

‎"Jadi maksudmu, aku harus membiarkan Aluna bebas dan membiarkannya mati di tangan musuh ayahku?!" Suara Adras naik satu oktaf, penuh amarah yang nyaris lepas kendali.

‎Tatapannya tajam menusuk, menekan seperti pisau yang siap menebas.

‎"Kau hanya perlu patuh saat aku memberi perintah," geram Adras. Ia menginjak rokok yang masih menyala setengah, bara merahnya padam seketika di bawah sepatu hitamnya.

‎Damian langsung menunduk, diam membatu. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya, tubuhnya kaku di tempat.

‎"Baik, Tuan. Akan saya laksanakan," jawabnya dengan suara pelan, penuh penyesalan karena terlalu jauh bertanya.

‎Adras mendengus, matanya masih menyala tajam, lalu melangkah keluar dari ruangan tanpa menoleh lagi.

‎Jam di dinding menunjukkan pukul dua siang. Tapi bagi Adras, hari ini belum setengahnya selesai—dan neraka baru saja dimulai.

‎******

‎Di kamar mandi, Adras menyunggar rambutnya yang basah, air dari shower menetes mengikuti garis otot tubuhnya yang tegang.

‎Sejak ia memutuskan menghidupkan kembali organisasi milik kakeknya, satu per satu musuh lama keluarga Valtores bermunculan, berusaha merebut kembali kekuasaan yang telah lama terkubur.

‎Mereka semua mengira organisasi itu kini dipimpin oleh Martis—pria paruh baya yang memang membuka pembekuannya di dunia bawah tanah.

‎Mereka menjadikan garis keturunan sebagai alasan. Menganggap keluarga Alejandro tak pantas mewarisi organisasi.

‎Sial.

‎Bahkan jika Adras muncul dan menunjukkan siapa pemimpin sebenarnya, bukan hanya akan memicu kontroversi karena usianya yang belum cukup matang, tapi juga akan menyeret Aluna ke bahaya besar.

‎Adras menyambar handuk setelah mandi selama lima belas menit. Handuk itu dililitkan erat di pinggangnya. Ia lalu mengenakan kaus hitam polos dan celana pendek sebatas lutut.

‎Mom Is Calling...

‎Saat sedang mengenakan arloji mahalnya, ponsel Adras berdering. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat panggilan itu.

‎"Adras, kamu sibuk banget, ya?" suara lembut Elisa terdengar di seberang. "Sudah beberapa hari kamu nggak pulang ke rumah."

‎"Aku sibuk, Mi. Banyak hal yang harus diberesin," sahut Adras sembari berjalan keluar dari kamar dan tak lupa menutup pintu. "Kenapa?"

‎"Aku sibuk, Mi. Banyak hal yang harus diberesin," sahut Adras sambil berjalan keluar dari kamar, tak lupa menutup pintu. "Kenapa?"

‎"Ini Evelyn mau ketemu kamu."

‎Adras menyeringit, wajahnya menunjukkan ia tak begitu ingat siapa Evelyn. "Siapa dia?"

‎"Pembantu baru yang gantikan bibi, lho, Adras."

‎Adras mendengus, teringat sosok pelayan itu. "Aku nggak punya waktu buat pembantu kayak dia."

‎Tanpa menunggu jawaban, Adras langsung mematikan panggilannya.

‎***

‎Di mansion milik Elisa, Evelyn berdiri dengan gugup. Kepalanya tertunduk, kedua tangannya saling menggenggam.

‎"Maafin anak saya, ya," ucap Elisa merasa bersalah atas sikap kasar Adras. "Dia memang arogan, sama seperti ayahnya."

‎“Gak apa-apa, Nyonya. Anak Nyonya sudah sangat baik karena sudi membantu pengobatan anak saya, Harver,” jawab Evelyn tulus, meski suaranya sedikit bergetar.

‎Ia tersenyum kecil, tapi matanya berkaca-kaca. Seburuk apa pun perlakuan Adras, Evelyn tetap berterima kasih. Karena tanpa bantuannya, mungkin Harver tak akan bisa tertolong.

‎Dalam hatinya, Evelyn berjanji akan membalas kebaikan itu—bukan dengan harga diri, tapi dengan cara yang jauh lebih tulus.

ADRAS V.A [ DAILY UPDATE ] Where stories live. Discover now