“Gue nggak perlu susah payah ngadepin tikus kecil kayak kalian,” ujar Adras dingin sambil mengelilingi rumah. “Tapi... karena udah lama nggak main bunuh-bunuhan, mending gue main sekarang sama lo.”
BRUK!
Pintu kamar hancur berantakan. Pemilik rumah semakin ketakutan, bersembunyi di balik lemari tua, hanya berjarak beberapa meter dari pintu keluar. Tapi kakinya sudah lemas, tak sanggup melangkah.
Tiba-tiba Adras muncul di depan lemari dan menghantamkan balok kayu ke sana.
DOR!
Dalam kepanikan, pria itu menembak sembarangan. Tapi wajahnya sudah berdarah akibat pukulan Adras sebelumnya. Lemari yang jadi tempat persembunyiannya pun hancur berkeping.
Adras langsung memukul lengan pria itu hingga pistol terlepas ke lantai. Dengan sigap, Adras menendang pistol itu menjauh.
Napas pria itu terengah-engah, pendek karena ketakutan yang mencekam.
Adras kembali memukul wajah pria itu, membabi buta hingga wajahnya sudah tak berbentuk lagi.
Adras tersenyum sinis, lalu berjongkok mengambil ponsel pria itu.
Ia menyalakan kamera ponsel itu lalu meletakkannya di atas meja. Setelah selesai, Adras kembali memukul bagian-bagian vital si pria.
Adras mendongak dan tersenyum mengejek ke arah kamera sebelum mematikannya.
Tanpa aba-aba, ia langsung mengirim video itu ke seseorang—pemimpin mafia kecil—yang memerintahkan beberapa anak buahnya datang ke Indonesia untuk menculik Aluna.
***
Pukul 04.00 WIB, Adras baru pulang ke mansion Elisa.
Tentu saja, pakaiannya sudah diganti. Orang-orang di markas akan mengurus mayat si pria.
“Dari mana aja? Kamu dua hari nggak pulang, Adras,” tanya Elisa.
Adras berjalan menghampiri Elisa lalu menunduk mencium kening ibunya.
“Sibuk,” ucap Adras sebelum merebahkan dirinya di atas pangkuan sang ibu.
Elisa tersenyum melihat tindakan putranya yang tiba-tiba, tapi ia menyukainya.
Elisa mengelus rambut Adras. Adras memejamkan matanya dan menikmati usapan Elisa.
“Mami baru aja mau beresin berita kemarin. Katanya kamu dekat sama cewek, ya?” tanya Elisa hati-hati. Ia tak ingin menyinggung putranya.
"Kesalahpahaman kecil,” jawab Adras, tak bergerak dari posisinya.
Elisa tersenyum lembut. Tangannya tak berhenti mengusap kepala Adras.
Kadang Adras bertanya pada dirinya sendiri, 'Apa cinta segila itu sampai Daddy melarangnya untuk jatuh cinta?'
Bagaimana jika tertarik untuk mempermainkan—apakah itu boleh?
*******
Berita menyebar luas sejak kejadian empat hari lalu. Namun sekarang, tak ada lagi yang membicarakannya—mungkin semua sudah dibungkam oleh Adras.
Tak ada yang tahu siapa gadis yang ada di dalam foto itu, dan itu sangat menguntungkan bagi Aluna.
Saat ini, Aluna sedikit berlari menuju rooftop. Entah apa alasan Adras memanggilnya.
Setelah sampai, Aluna terdiam beberapa saat. Adras berdiri di pembatas rooftop. Punggung tegapnya terlihat jelas di mata Aluna.
Adras, yang menyadari kedatangan Aluna, membalikkan badannya dan mematikan rokoknya.
Ia berjalan mendekat, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.
Wajahnya tetap datar, tak menunjukkan ekspresi apa pun.
"Lo tau berapa biaya yang gue keluarin buat bungkam media?" tanya Adras tanpa basa-basi.
Aluna menundukkan kepala, merasa sedikit takut saat menghadapi aura dominan Adras.
Tangannya sudah berkeringat dingin. Jarinya saling memilin karena gugup.
"Lima miliar," ucap Adras tepat di samping telinga Aluna.
"Gue harus keluar uang lima miliar karena lo narik gue sembarangan," suaranya rendah namun penuh intimidasi.
"Gue bakal ganti... tapi nggak sekarang," Aluna berusaha tetap tenang agar bisa cepat pergi dari sini.
"Maksud lo nyicil?" Adras terkekeh sinis, merasa senang karena bisa mempermainkan gadis itu.
Lima miliar—bukan angka besar untuk Adras. Namun, jumlah itu sudah sangat cukup untuk membuat keluarga Aluna kalang kabut.
Aluna mengangkat kepalanya. Egonya mulai naik karena merasa direndahkan.
"Kenapa gue yang lo salahin? Salahin aja yang nyebar foto-foto itu tanpa tanggung jawab!" Nafas Aluna naik turun, antara takut dan marah karena dipermalukan.
Adras tetap tenang, tak terganggu sama sekali oleh emosi Aluna.
"Orang itu yang nyebarin hoax nggak jelas, bukan gue!" lanjut Aluna, membela dirinya sendiri.
"Masalahnya... yang narik gue sampai kejadian itu bisa difoto—lo. Bukan mereka. Orang-orang cuma manfaatin momen. Dan lo yang nyediain momennya," ucap Adras tenang, tapi cukup membuat Aluna bungkam.
Adras semakin mendekat. Hidung mancungnya hampir menyentuh telinga gadis itu, membiarkan kata-katanya menusuk.
"Jadi lo salah bukan karena berita itu viral. Tapi karena lo ceroboh. Di dunia gue, yang ceroboh harus tanggung akibatnya."
Setelah mengatakan itu, Adras mengambil ponsel Aluna secara paksa, lalu memasukkan nomornya.
"Lo mau apa!!?" tanya Aluna frustasi.
Mata Aluna berkaca-kaca, terlalu takut dan khawatir tentang angka yang begitu besar.
"G-gue nggak bisa bayar lima miliar itu... Ayah gue cuma karyawan biasa," ucap Aluna sembari mengusap air matanya yang sudah membasahi pipi.
"Jadi babu gue sampe gue bosen." Setelah mengatakan itu, Adras menelpon nomornya sendiri menggunakan HP Aluna.
Setelah selesai, Adras pergi dari rooftop, meninggalkan Aluna sendirian.
****
"Lo dari mana aja sih?" tanya Acha setelah Aluna memasuki kelas.
"Toilet," jawab Aluna singkat. Pikirannya penuh oleh Adras. Kenapa laki-laki itu begitu kejam?
"Ke toilet mulu lo,” protes Acha sambil asyik mainin ponselnya.
Belum sempat Aluna jawab, guru masuk kelas dan berkata, “Oh ya, Aluna, kamu dipindahkan dari kelas tingkat C ke kelas tingkat A.”
Semua murid langsung melotot. Tingkat A itu kelas paling bergengsi, penuh anak-anak orang kaya.
Aluna nyaris menjawab, tapi guru dari tingkat A sudah menjemputnya. Aluna cuma bisa pasrah mengikuti.
Sembari menuju kelas tingkat A, guru itu menjelaskan beberapa pelajaran yang berbeda dari kelas C.
Kelas tingkat A ini beda banget, pikir Aluna, setelah sampai di depan kelas itu.
Ruangan luas dengan jendela besar yang membiarkan sinar matahari masuk dengan lembut. Meja dan kursi berdesain modern, rapi tersusun tanpa ada noda sedikit pun.
Di sudut kelas, terdapat rak buku mewah berisi koleksi buku-buku langka dan beberapa penghargaan sekolah.
Lantainya berkilau, dan udara terasa dingin sejuk karena AC yang menyala.
Murid-murid di sini tampil percaya diri dengan pakaian seragam yang lebih rapi dan aksesori mahal, dari jam tangan hingga tas bermerek.
Suasana kelas penuh dengan bisik-bisik kecil dan tatapan penasaran. Namun ada juga aura kompetitif dan sedikit kesombongan.
Aluna berusaha tetap tenang dan melangkah dengan anggun menuju kursi yang ditunjukkan oleh guru itu.
Ekor mata Aluna menangkap Adras yang duduk di kursi paling pojok, tepat di sebelahnya.
Jelas... laki-laki itu yang membuatnya sampai di kelas ini.
Di sisi lain, Alvian yang duduk paling depan membelalakkan matanya. Alvian sudah sembuh beberapa hari yang lalu.
Karena kesalahpahaman itu, Alvian memutuskan Alicia atas perintah orang tuanya.
Alvian bahkan dilarang keras mendekati Adras, dan sejak saat itu, Alvian tak pernah berani berurusan dengan Adras lagi.
Guru pelajaran pertama memasuki kelas dengan percaya diri, langsung menuliskan deretan angka rumit di papan tulis putih mengkilap.
Dengan logat Inggris yang fasih, ia mulai menjelaskan rumus-rumus matematika yang kompleks.
YOU ARE READING
ADRAS V.A [ DAILY UPDATE ]
Mystery / ThrillerAdras Valtores-putra tunggal dari dua keluarga berbeda profesi. Dingin, berbahaya, dan nyaris tak memiliki belas kasihan. Tapi hidupnya berubah ketika sebuah insiden kecil di sekolah mempertemukannya dengan Aluna-gadis biasa yang tanpa sadar menarik...
![ADRAS V.A [ DAILY UPDATE ]](https://img.wattpad.com/cover/403641579-64-k393895.jpg)