ADRAS V.A 4

3.5K 103 0
                                        

“Gue nggak perlu susah payah ngadepin tikus kecil kayak kalian,” ujar Adras dingin sambil mengelilingi rumah. “Tapi... karena udah lama nggak main bunuh-bunuhan, mending gue main sekarang sama lo.”

‎BRUK!

‎Pintu kamar hancur berantakan. Pemilik rumah semakin ketakutan, bersembunyi di balik lemari tua, hanya berjarak beberapa meter dari pintu keluar. Tapi kakinya sudah lemas, tak sanggup melangkah.

‎Tiba-tiba Adras muncul di depan lemari dan menghantamkan balok kayu ke sana.

‎DOR!

‎Dalam kepanikan, pria itu menembak sembarangan. Tapi wajahnya sudah berdarah akibat pukulan Adras sebelumnya. Lemari yang jadi tempat persembunyiannya pun hancur berkeping.

‎Adras langsung memukul lengan pria itu hingga pistol terlepas ke lantai. Dengan sigap, Adras menendang pistol itu menjauh.

‎Napas pria itu terengah-engah, pendek karena ketakutan yang mencekam.

‎Adras kembali memukul wajah pria itu, membabi buta hingga wajahnya sudah tak berbentuk lagi.

‎Adras tersenyum sinis, lalu berjongkok mengambil ponsel pria itu.

‎Ia menyalakan kamera ponsel itu lalu meletakkannya di atas meja. Setelah selesai, Adras kembali memukul bagian-bagian vital si pria.

‎Adras mendongak dan tersenyum mengejek ke arah kamera sebelum mematikannya.

‎Tanpa aba-aba, ia langsung mengirim video itu ke seseorang—pemimpin mafia kecil—yang memerintahkan beberapa anak buahnya datang ke Indonesia untuk menculik Aluna.

‎***

‎Pukul 04.00 WIB, Adras baru pulang ke mansion Elisa.

‎Tentu saja, pakaiannya sudah diganti. Orang-orang di markas akan mengurus mayat si pria.

‎“Dari mana aja? Kamu dua hari nggak pulang, Adras,” tanya Elisa.

‎Adras berjalan menghampiri Elisa lalu menunduk mencium kening ibunya.

‎“Sibuk,” ucap Adras sebelum merebahkan dirinya di atas pangkuan sang ibu.

‎Elisa tersenyum melihat tindakan putranya yang tiba-tiba, tapi ia menyukainya.

‎Elisa mengelus rambut Adras. Adras memejamkan matanya dan menikmati usapan Elisa.

‎“Mami baru aja mau beresin berita kemarin. Katanya kamu dekat sama cewek, ya?” tanya Elisa hati-hati. Ia tak ingin menyinggung putranya.

‎"Kesalahpahaman kecil,” jawab Adras, tak bergerak dari posisinya.

‎Elisa tersenyum lembut. Tangannya tak berhenti mengusap kepala Adras.

‎Kadang Adras bertanya pada dirinya sendiri, 'Apa cinta segila itu sampai Daddy melarangnya untuk jatuh cinta?'

‎Bagaimana jika tertarik untuk mempermainkan—apakah itu boleh?

‎*******

‎Berita menyebar luas sejak kejadian empat hari lalu. Namun sekarang, tak ada lagi yang membicarakannya—mungkin semua sudah dibungkam oleh Adras.

‎Tak ada yang tahu siapa gadis yang ada di dalam foto itu, dan itu sangat menguntungkan bagi Aluna.

‎Saat ini, Aluna sedikit berlari menuju rooftop. Entah apa alasan Adras memanggilnya.

‎Setelah sampai, Aluna terdiam beberapa saat. Adras berdiri di pembatas rooftop. Punggung tegapnya terlihat jelas di mata Aluna.

‎Adras, yang menyadari kedatangan Aluna, membalikkan badannya dan mematikan rokoknya.

‎Ia berjalan mendekat, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

‎Wajahnya tetap datar, tak menunjukkan ekspresi apa pun.

‎"Lo tau berapa biaya yang gue keluarin buat bungkam media?" tanya Adras tanpa basa-basi.

‎Aluna menundukkan kepala, merasa sedikit takut saat menghadapi aura dominan Adras.

‎Tangannya sudah berkeringat dingin. Jarinya saling memilin karena gugup.

‎"Lima miliar," ucap Adras tepat di samping telinga Aluna.

‎"Gue harus keluar uang lima miliar karena lo narik gue sembarangan," suaranya rendah namun penuh intimidasi.

‎"Gue bakal ganti... tapi nggak sekarang," Aluna berusaha tetap tenang agar bisa cepat pergi dari sini.

‎"Maksud lo nyicil?" Adras terkekeh sinis, merasa senang karena bisa mempermainkan gadis itu.

‎Lima miliar—bukan angka besar untuk Adras. Namun, jumlah itu sudah sangat cukup untuk membuat keluarga Aluna kalang kabut.

‎Aluna mengangkat kepalanya. Egonya mulai naik karena merasa direndahkan.

‎"Kenapa gue yang lo salahin? Salahin aja yang nyebar foto-foto itu tanpa tanggung jawab!" Nafas Aluna naik turun, antara takut dan marah karena dipermalukan.

‎Adras tetap tenang, tak terganggu sama sekali oleh emosi Aluna.

‎"Orang itu yang nyebarin hoax nggak jelas, bukan gue!" lanjut Aluna, membela dirinya sendiri.

‎"Masalahnya... yang narik gue sampai kejadian itu bisa difoto—lo. Bukan mereka. Orang-orang cuma manfaatin momen. Dan lo yang nyediain momennya," ucap Adras tenang, tapi cukup membuat Aluna bungkam.

‎Adras semakin mendekat. Hidung mancungnya hampir menyentuh telinga gadis itu, membiarkan kata-katanya menusuk.

‎"Jadi lo salah bukan karena berita itu viral. Tapi karena lo ceroboh. Di dunia gue, yang ceroboh harus tanggung akibatnya."

‎Setelah mengatakan itu, Adras mengambil ponsel Aluna secara paksa, lalu memasukkan nomornya.

‎"Lo mau apa!!?" tanya Aluna frustasi.

‎Mata Aluna berkaca-kaca, terlalu takut dan khawatir tentang angka yang begitu besar.

‎"G-gue nggak bisa bayar lima miliar itu... Ayah gue cuma karyawan biasa," ucap Aluna sembari mengusap air matanya yang sudah membasahi pipi.

‎"Jadi babu gue sampe gue bosen." Setelah mengatakan itu, Adras menelpon nomornya sendiri menggunakan HP Aluna.

‎Setelah selesai, Adras pergi dari rooftop, meninggalkan Aluna sendirian.

‎****

‎"Lo dari mana aja sih?" tanya Acha setelah Aluna memasuki kelas.

‎"Toilet," jawab Aluna singkat. Pikirannya penuh oleh Adras. Kenapa laki-laki itu begitu kejam?

‎"Ke toilet mulu lo,” protes Acha sambil asyik mainin ponselnya.

‎Belum sempat Aluna jawab, guru masuk kelas dan berkata, “Oh ya, Aluna, kamu dipindahkan dari kelas tingkat C ke kelas tingkat A.”

‎Semua murid langsung melotot. Tingkat A itu kelas paling bergengsi, penuh anak-anak orang kaya.

‎Aluna nyaris menjawab, tapi guru dari tingkat A sudah menjemputnya. Aluna cuma bisa pasrah mengikuti.

‎Sembari menuju kelas tingkat A, guru itu menjelaskan beberapa pelajaran yang berbeda dari kelas C.

‎Kelas tingkat A ini beda banget, pikir Aluna, setelah sampai di depan kelas itu.

‎Ruangan luas dengan jendela besar yang membiarkan sinar matahari masuk dengan lembut. Meja dan kursi berdesain modern, rapi tersusun tanpa ada noda sedikit pun.

‎Di sudut kelas, terdapat rak buku mewah berisi koleksi buku-buku langka dan beberapa penghargaan sekolah.

‎Lantainya berkilau, dan udara terasa dingin sejuk karena AC yang menyala.

‎Murid-murid di sini tampil percaya diri dengan pakaian seragam yang lebih rapi dan aksesori mahal, dari jam tangan hingga tas bermerek.

‎Suasana kelas penuh dengan bisik-bisik kecil dan tatapan penasaran. Namun ada juga aura kompetitif dan sedikit kesombongan.

‎Aluna berusaha tetap tenang dan melangkah dengan anggun menuju kursi yang ditunjukkan oleh guru itu.

‎Ekor mata Aluna menangkap Adras yang duduk di kursi paling pojok, tepat di sebelahnya.

‎Jelas... laki-laki itu yang membuatnya sampai di kelas ini.

‎Di sisi lain, Alvian yang duduk paling depan membelalakkan matanya. Alvian sudah sembuh beberapa hari yang lalu.

‎Karena kesalahpahaman itu, Alvian memutuskan Alicia atas perintah orang tuanya.

‎Alvian bahkan dilarang keras mendekati Adras, dan sejak saat itu, Alvian tak pernah berani berurusan dengan Adras lagi.

‎Guru pelajaran pertama memasuki kelas dengan percaya diri, langsung menuliskan deretan angka rumit di papan tulis putih mengkilap.

‎Dengan logat Inggris yang fasih, ia mulai menjelaskan rumus-rumus matematika yang kompleks.

ADRAS V.A [ DAILY UPDATE ] Where stories live. Discover now