ADRAS V.A 3

3.8K 118 0
                                        

Adras tak mengenakan atasan dan memperlihatkan punggung tegapnya, selimut sebatas pinggang membuat celana mahalnya mengintip dari luar.

‎Elisa berjalan dan duduk di sisi ranjang Adras, tangannya mengusap rambut tebal Adras.

‎"Sayang, ayo makan malam dulu," ucap Elisa lembut, tatapannya begitu hangat khas seorang ibu yang begitu mencintai putranya.

‎Adras hanya bergumam sebagai jawaban, namun belum bergerak dari posisinya saat ini.

‎Elisa tersenyum dan berjalan keluar dari kamar Adras.

‎Ya, Elisa mengerti jika Adras sudah bilang "iya", Elisa tak perlu bawel dan mengulang perkataannya.

‎Elisa begitu mengenal sosok putranya, dari cara bicara, tatapan, dan kebiasaannya.

‎****

‎Beberapa saat setelah Elisa duduk di meja makan, Adras berjalan menuruni tangga. Adras hanya menggunakan baju putih oblong dan celana pendek.

‎Namun jelas itu bukan pakaian murah. Adras duduk di sebelah Elisa.

‎"Mami, bakal ke luar negeri dalam waktu dekat. Kamu gapapa kan, Sayang?" tanya Elisa menatap wajah tampan putranya.

‎"Gapapa. Jangan kecapean, Mi. Kita gak kekurangan uang," kata Adras sembari memakan makanannya.

‎Elisa tersenyum. Benar kata Adras, Elisa tak perlu bekerja begitu keras. Mereka tak pernah kekurangan uang.

‎Elisa tahu jika anaknya berkelahi di sekolah, namun ia tak ingin membicarakan itu. Lagi pula masalahnya sudah ia urus.

‎"Mami hanya suka bekerja. Soalnya menjadi model adalah cita-cita Mami sejak kecil," cerita Elisa.

‎Dan begitulah ibu dan anak itu bicara dengan begitu akrab. Elisa menceritakan masa kecilnya, dan Adras bercerita bagaimana dia hidup di Australia selama ini.

‎Tentu saja Adras tak menceritakan pertemuan penuh darah itu pada ibunya.

‎Di tengah obrolan, Elisa tiba-tiba menanyakan hal yang tak terduga.

‎"Kamu udah punya pacar?" tanya Elisa menatap putranya dengan lekat.

‎"Engga," jawab Adras santai.

‎"Masa sih? Menurut Mami kamu lumayan ganteng, loh," Elisa menelisik penampilan putranya.

‎Rambutnya sedikit berantakan, hidungnya mancung persis seperti Lucian, alisnya tebal, rahangnya terlihat begitu kokoh. Matanya bahkan setajam elang.

‎Elisa bahkan tak tahu, putranya yang dia sebut "lumayan ganteng" digilai di SMA Yudistira.

‎"Kenapa emangnya?" tanya Adras mengangkat satu alisnya.

‎"Gapapa, Mami cuma nanya. Mami gapapa banget, loh, kalau kamu punya pacar," jawab Elisa tersenyum jahil. "Nanti kenalin ke Mami," sambung Elisa memakan brownisnya.

‎Adras hanya bergumam sebagai jawaban.

‎*******

‎Pagi ini, Aluna dikejutkan oleh kabar bahwa Alvian masuk rumah sakit akibat dipukuli oleh Adras.

‎Sebenarnya, murid SMA Yudistira tak ada yang membahas itu. Namun Acha, yang tahu kabar tersebut, langsung berbagi info dengan Aluna.

‎"Katanya Alvian nuduh Adras yang naro coklat di loker Alicia," bisik Acha agar tak ketahuan orang lain.

‎"Terus?" tanya Aluna ikut berbisik-bisik, matanya menatap Acha dengan rasa penasaran tinggi.

‎"Terus..." Acha sengaja menggantung ucapannya. "Terus tamat deh!" sambung Acha tertawa terbahak-bahak karena berhasil menjahili temannya itu.

‎"Ngeselin banget, sumpah!!!" racau Aluna, merasa gemas.

‎"Menurut gue, Adras itu tipe cowok manja dan banyak nuntut," setelah hening beberapa saat, Aluna mulai membahas sudut pandangnya soal Adras.

‎"Kenapa lo mikir gitu?" tanya Acha, kali ini ikut serius.

‎"Ya, lo pikir aja. Adras itu anak orang kaya, pasti hidupnya berkecukupan, dan apa yang dia mau selalu ada," ucap Aluna santai.

‎"Bener juga. Makanya pepatah bilang, 'jangan pernah berharap sama seseorang yang beda kasta sama kita,'" ucap Acha dramatis.

‎Aluna memutar bola matanya, malas. "Gue mau ke toilet dulu, deh," ucapnya sembari berdiri dan meninggalkan Acha di kelas.

‎Kelas sudah mulai sepi, namun pandangan Aluna terhenti pada sosok Adras yang sedang berjalan melawan arah.

‎Di belakangnya, terlihat seorang laki-laki dewasa berpakaian formal. Laki-laki itu mengikuti Adras, tangannya dengan lincah bermain di iPad, seakan waktu sedang mengejarnya.

‎Aluna menyingkir agar Adras bisa lewat, namun entah kenapa kakinya tiba-tiba lemas dan menginjak tali sepatunya sendiri. Karena terlalu kaget, Aluna reflek menarik lengan kekar Adras yang tak jauh darinya.

‎Bughh!

‎Keduanya sama-sama terjatuh di koridor, disaksikan langsung oleh laki-laki dewasa itu.

‎"Sial," Adras mengumpat pelan sebelum berdiri. Matanya menatap gadis itu sebentar, lalu meninggalkannya begitu saja.

‎"Kamu tidak apa-apa?" tanya laki-laki dewasa itu, menyusul Adras.

‎"Cari tahu latar belakang gadis itu," ucap Adras, mengacuhkan pertanyaan asisten pribadinya.

‎"Akan saya cari tahu," balas laki-laki itu dengan patuh.

‎Namun tanpa disadari Adras maupun Aluna, seseorang memotret kejadian saat Aluna menarik tangan Adras, dan mempostingnya di media sosial menggunakan akun anonim.

‎Wajah Aluna tak terlihat jelas karena ia membelakangi kamera.

‎******

‎Tiga hari setelah foto Adras dan Aluna diposting oleh seorang tak dikenal, berita itu menghebohkan media internasional.

‎Mafia-mafia yang membenci keluarga Valtores berdatangan ke Indonesia guna mencari jejak gadis tersebut.

‎Mereka jelas tak bisa menyentuh Adras—itu sebabnya mereka mengincar kelemahannya. ‎Yaitu gadis yang Adras cintai, yang secara tak sengaja tertangkap kamera saat mereka "bermesraan" di koridor sekolah.

‎Informasi yang terdengar konyol, namun terlanjur meluas di Australia.

‎***

‎“Tuan, tikus-tikus kecil itu berdatangan dari Australia ke Indonesia untuk mengincar gadis itu,” lapor orang kepercayaan Lucian.

‎Lucian menghembuskan asap rokok ke udara, terlihat santai.

‎“Biarkan Adras yang mengurusnya. Anak itu pasti akan senang mendapatkan makanan,” jawab Lucian sambil terkekeh kecil.

‎Lucian tak pernah khawatir tentang Adras. Ia percaya, putranya tak akan bertindak gegabah dan bodoh.

‎Markas yang ia bangun di Indonesia sudah sangat cukup untuk membasmi semua tikus-tikus bodoh itu.

‎***

‎Adras berdiri menatap layar-layar yang menampilkan postingan yang beredar dalam tiga hari terakhir.

‎Namun sebelum Elisa sempat bergerak, Adras sudah membereskan semuanya. Dari postingan pertama yang diunggah, semua bisa ia tangani dalam kurang dari 24 jam.

‎Di sinilah tempatnya—markas yang Lucian bangun khusus untuknya.

‎Pekerja profesional.

‎Pembunuh bayaran.

‎Dan hacker ilegal yang mereka rekrut dari berbagai negara.

‎Adras bahkan sudah mendapatkan daftar nama mafia yang berdatangan ke sini untuk menculik Aluna.

‎“Jangan ada yang bergerak sebelum gue perintahkan,” ucap Adras sambil melemparkan berkas yang berisi identitas mafia-mafia kecil itu.

‎Ia berjalan menuju kamar yang tersedia khusus untuknya di markas ini.

‎Ia memakai sarung tangan berwarna hitam dan hoodie yang berwarna senada.

‎“Saya mengerti. Dan hati-hati,” ucap asisten pribadi Adras.

‎Adras mendengus, ia berjalan sembari mengangkat tangan dan dengan cekatan menarik hood hoodie  hitamnya hingga menutupi kepala, menyembunyikan wajahnya dalam bayangan gelap.

‎Pada pukul 2 dini hari, Adras berjalan sendirian di trotoar yang sepi, kedua tangannya ia masukkan dalam saku hoodie hitam nya.

‎Tok... tok.. tok

‎Bunyi langkah sepatunya yang berat dan teratur mengisi keheningan malam. Saat menemukan gang sempit, Adras masuk sambil bersiul santai..

‎Gang itu sunyi, dingin menusuk hingga ke tulang. Sesekali tikus kecil berlarian di dekat tong sampah.

‎Adras berhenti di sebuah rumah tua, lalu membuka pintunya tanpa aba-aba.

‎Pemilik rumah yang mendengar siulan itu sudah bersembunyi, tangannya gemetar memegang pistol, siap menembak siapa pun yang muncul.

‎Suara sepatu Adras yang terus mendekat, membuat pria itu semakin takut.

ADRAS V.A [ DAILY UPDATE ] Where stories live. Discover now