ADRAS V.A 6

3.2K 100 8
                                        

Sejak lima menit yang lalu, Aluna sudah siap dengan penampilannya.

Ia hanya mengenakan gaun putih selutut—senada dengan kulitnya yang seputih susu.

Aluna juga menemukan berbagai perlengkapan makeup di bawah tumpukan baju dalam kardus itu. Sepertinya Adras memang sudah menyiapkan semuanya dengan matang.

Rambutnya dibiarkan tergerai, terlihat sangat cantik. 
Wajahnya pun tampak natural namun segar dipandang. Aluna memang ahli dalam merias diri agar tak terkesan berlebihan.

"Gue takut kalau tiba-tiba dijual, anjir," ucap Aluna gelisah, duduk di atas sofa sambil memegangi gaunnya.

Ting
Satu pesan masuk ke ponsel Aluna.

V.A: Turun ke bawah, gue udah di basement.

Tanpa berpikir panjang, Aluna langsung bergegas keluar dari apartemen. 
Jam menunjukkan pukul 7 malam WIB.

Entah apa yang akan dilakukan Adras kali ini. Tapi yang membuat Aluna bersyukur adalah ayahnya sedang bekerja di luar kota. Itulah sebabnya ia bisa keluar rumah tanpa khawatir akan dimarahi.

***

Aluna melangkah menghampiri Adras yang tengah bersandar di depan mobil. 
Mata tajam laki-laki itu hanya tertuju padanya. Kedua tangan Adras dimasukkan ke dalam saku celana—tampilannya seperti biasa, tenang namun mendominasi.

Begitu Aluna berdiri di depannya, gadis itu mendongak, menatap Adras dengan ekspresi bingung.

Tanpa banyak bicara, Adras mengeluarkan sebuah cincin perak dari saku jasnya, lalu menarik tangan Aluna.

Dengan santai, ia memasangkan cincin itu di jari manis Aluna.

Deg.

Jantung Aluna berdegup kencang. 
Tidak mungkin... kutukannya langsung bekerja sampai-sampai Adras melamarnya, kan?

"Itu imbalan lo karena udah beresin apartemen gue," Ucap Adras datar setelah cincin itu terpasang sempurna di jari manis Aluna.

"O-oh, makasih," balas Aluna gugup. Ia menundukkan kepala, pipinya memerah seperti kepiting rebus. 
Mungkin hanya pikirannya saja yang kelewat jauh.

Dilamar? 
Ya ampun, Aluna... dia cuma cowok manja!

Satu-satunya alasan yang mampu Aluna pegang teguh saat ini adalah: Adras adalah cowok manja, dan Aluna tidak menyukai cowok seperti itu.

Sudut bibir Adras sedikit terangkat. Dalam pikirannya, rasanya ia ingin membanting gadis itu ke ranjang saat itu juga.

"Masuk ke mobil,"perintah Adras singkat.

***

Di sebuah mansion tua yang tersembunyi di tengah hutan Australia, seorang pria paruh baya duduk santai sambil mengelus harimau jantannya. 

Seorang laki-laki berpakaian formal berdiri dengan kepala tertunduk dalam-dalam. Suasana terasa mencekam, apalagi setelah kejadian beberapa hari yang lalu.

"Berani sekali bocah itu... mengejekku," gumam pria paruh baya itu dengan suara serak dan berat, penuh dendam. Tangannya yang sudah keriput masih mengelus bulu tebal Coopers—nama harimau itu.

"Maaf, Mr. Alexander. Menurut saya, gadis itu tidak dicintai oleh Adras," ucap laki-laki berpakaian formal itu hati-hati.

Alexander lalu melemparkan potongan tubuh manusia ke lantai, namun harimau itu tidak bergerak. Ia hanya menatap daging itu tanpa minat.

"Lihatlah… Coopers tidak memakan daging itu karena sudah kenyang," kata Alexander sambil menyeringai.

"Begitu juga dengan keturunan Valtores si bajingan itu… Aku sengaja mengirim anak-anak lemah untuk dihabisi."
Matanya menatap langit yang mendung. Rahangnya mengeras, sorot matanya dipenuhi kebencian.

"Biarkan dia merasa menang. Tapi saat gadis itu sudah menjadi kelemahannya, aku akan mengambilnya secara paksa… dan membunuh gadis yang dicintainya," ucap Alexander pelan namun menusuk, senyumannya licik.

Selama bertahun-tahun, ia menyimpan dendam terhadap keluarga Valtores.

Ia kembali mengingat video kiriman Adras beberapa hari lalu—rekaman saat Adras menghajar anak buahnya. 
Itu jelas sebuah hinaan. Keturunan terakhir Valtores berani mempermalukannya.

"Tapi Mr. Alexander, saya rasa Adras tidak mencintai gadis itu. Dari desas-desus di Indonesia, itu cuma momen tak disengaja."

Alexander menatap tajam orang kepercayaannya. "Apa menurutmu aku bodoh?"

"Adras tidak akan membiarkan seorang gadis menyentuhnya sembarangan. Kalau dia tidak tertarik, sudah dari dulu mayat gadis itu jadi makanan peliharaan Adras."

Di sisi lain, Lucian merasa tak nyaman. 
Ia memiliki firasat buruk tentang gadis yang beberapa hari lalu menjadi incaran musuhnya.

Lucian menatap identitas Aluna dengan seksama—gadis cantik, sederhana, dan memiliki tatapan lembut.

Namun justru di situlah letak bahayanya. 
Gadis yang terlihat rapuh di luar, bisa menjadi kelemahan terbesar bagi putranya.

"Adras, kuharap kau tidak membahayakan gadis itu… dan menjadi laki-laki pengecut karena mencintainya," ucap Lucian pelan sambil menghempaskan tubuh ke kursi kerja.

Pikirannya kembali ke masa saat Adras berusia 10 tahun.
Umur yang terlalu muda untuk melontarkan pertanyaan seperti:

"Jika suatu saat aku melanggar nasihat darimu, apakah kita akan bertarung seperti sekarang?"

Untuk kesekian kalinya, Lucian menghela napas. Tangan beruratnya memijit pelipis.

"Aku merindukan Elisa… di mana wanita itu sekarang?" gumamnya, lirih.

***

Sementara itu, Aluna menghempaskan tubuhnya ke atas kasur.

Setelah beberapa jam makan malam di restoran, akhirnya Adras mengantarnya pulang.
 
Tubuhnya sangat lelah—seharian ini ia sama sekali tak punya waktu untuk beristirahat.

"Capek…" gumam Aluna, sebelum tertidur pulas.

Tanpa sempat berganti pakaian, atau membersihkan diri.

*********

Segini aja dlu, see u

ADRAS V.A [ DAILY UPDATE ] Where stories live. Discover now