Empat Puluh Sembilan

25.2K 759 7
                                    

"Kamu ini mengerti sama judul kamu gak, sih?" tanya pak Pangeran pada Sava yang hanya mampu menunduk.

Gadis itu tak berani menatap wajah pak Pangeran yang terlihat menakutkan. Ini sama menakutkannya dengan wajah Afkari kala marah, atau mungkin lebih menakutkan. Sava kenapa sial sekali? Dua dosen pembimbingnya sama-sama galak.

"Kamu dengar saya, 'kan?" tanya pak Pangeran.

Pak Pangeran menyodorkan proposal skripsi Sava, menunjukkan pada Sava paragraf di latar belakang yang menurutnya tak sesuai dengan judul skripsi Sava.

"Ini, coba kamu pahami baik-baik. Latar belakang kamu perlu diperbaiki lagi, baca skripsi yang mirip seperti judul kamu," ucap  pak Pangeran.

"Maaf, Pak," cicit Sava.

Sementara itu, di pintu masuk ruang dosen, Afkari melihat Sava yang kena omel oleh pak Pangeran. Gadis itu terlihat menunduk dan diam saja, atau lebih tepatnya takut karena kena omel pak Pangeran. Afkari tersenyum kecil melihat itu, mengingat bagaimana dulu dia juga pernah memarahi Sava perihal proposal skripsi gadis itu tak sesuai dengan penulisan karya tulis ilmiah kampus.

Pria itu meletakkan ranselnya di meja, kemudian menghadap pada pak Pangeran lalu tersenyum kecil sebagai tanda sapaan. Pak Pangeran yang melihat itu langsung menegakkan tubuhnya, lalu bertanya dengan nada cukup keras.

"Pak Afkari, ini mahasiswi bimbingannya, 'kan?"

"Iya, Pak," jawab Afkari seraya tersenyum kecil. Namun Sava, berdesis kecil, sadar kalau pak Pangeran akan menyindirnya.

"Aduh, Pak. Udah habis di-ACC harusnya proposal dia tambah bagus, ini malah tambah berantakan habis revisi sama saya," canda pak Pangeran.

Benar, 'kan? Pak Pangeran menyindirnya, membuat Sava kesal. Kenapa juga harus dapat dosen pembimbing seperti pak Pangeran?

"Udah, ini kamu ganti, terus, perbaiki lagi latar belakang kamu," pungkas pak Pangeran menyuruh Sava untuk kembali revisi.

Sava mengangguk, lalu berucap, "Baik, Pak. Makasih banyak, Pak."

Kemudian Sava bangkit dari duduknya dan keluar dari ruang dosen. Saat ini yang ingin Sava lakukan adalah pergi dari ruang dosen dan tak melihat wajah pak Pangeran yang terlihat menyebalkan. Sedangkan Afkari, menatap kepergian Sava. Kasihan juga melihat Sava dimarahi pak Pangeran.

***

Sava memberengut kesal seraya membaca kembali proposal skripsinya di gazebo depan ruang dosen, mata gadis itu lebih tertuju pada tanda silang di paragraf yang katanya tak sesuai dengan judul skripsi. Sava padahal sudah mengikuti pedoman karya tulis ilmiah kampus, membuat latar belakang dalam istilah piramida terbaik, dimulai pada yang umum kemudian di akhiri dengan hal yang khusus. Namun, pak Pangeran masih saja menganggap bahwa latar belakangnya tak sesuai.

Dia sudah revisi ketiga kali pada dosen pembimbing satunya itu dan masih saja salah. Latar belakang seperti apa sebenarnya yang dimaksud pak Pangeran?

Sava menyadarkan tubuhnya di tiang gazebo, bersamaan dengan rasa dingin di pipinya akibat sebotol air mineral dingin yang didekatkan ke pipinya. Gadis itu menoleh, melihat keberadaan Afkari seraya terkekeh geli.

"Ini dingin, loh, Pak," sungut Sava. Sepertinya Afkari akan menjadi pelampiasan kekesalannya.

"Jangan diambil hati omongannya pak Pangeran, emang kayak gitu orangnya. Pak Pangeran baik, apalagi pas kamu sidang nanti, bakal dibela mati-matian," kata Afkari menenangkan Sava. Pria itu menyodorkan sebungkus roti juga air mineral untuk Sava dan diterima Sava dengan senang hati.

"Tapi gak udah dimarahin gitu banget juga, kali," balas Sava kesal.

"Pak Afkari tadi gak lihat gimana saya dimarahin. Belum lagi pas Pak Afkari datang, dia malah ngadu. Ngeselin banget," lanjut Sava menggebu-gebu.

"Masih untung itu, daripada kamu dapat dosen yang mulutnya lebih dari itu." Afkari memaklumi Sava kesal, dia juga pernah merasakan ini saat kuliah strata satu.

"Tapi saya capek," sungut Sava.

"Oh, nanti malam mau jalan-jalan?"

Tiba-tiba saja Afkari menawarkan hal yang begitu menggiurkan.

Sava menoleh pada Afkari yang masih setia berdiri, lalu bertanya balik, "Ke mana?"

"Pasar malam. Kalau kamu mau dan gak sibuk."

"Oke."

"Hah?" Afkari seperti salah dengar, dengan begitu mudah Sava menerima tawarannya, padahal mereka baru saja berbaikan beberapa hari yang lalu.

"Oke, kita jalan-jalan nanti malam. Saya juga mau refreshing."

"Saya jemput, jam tujuh," ucap Afkari cepat. Dia senang karena Sava menerima tawarannya.

Afkari tersenyum kecil, dia menatap wajah Sava dengan seksama. Sementara gadis yang ditatap sama sekali tak sadar, dia lebih sibuk meneguk air mineral pemberian Afkari tadi.

Afkari mendekatkan wajahnya pada telinga Sava, lalu berbisik, "Nanti malam jangan dandan yang cantik, takut ada yang suka kamu."

***

Afkari
Saya sudah di depan rumah kamu.

Pesan masuk dari Afkari membuat Sava melirik pada papanya. Gadis itu tadi sudah meminta izin pada papa serta mamanya akan jalan-jalan bersama Afkari, dia juga menunggu Afkari di ruang tamu. Namun, siapa sangka kalau papanya ikut menemani dia menunggu Afkari, bahkan menyuruh Sava untuk menyuruh Afkari masuk.

Kalau seperti ini, Sava jadi cemas, dia takut papanya malah memarahi Afkari, padahal mereka semua sudah memaafkan segala kesalahan ayah Afkari.

Sava
Masuk aja, Pak.

Sava menggigit kecil bibir bawahnya ñ, melirik pada papanya yang setia menatap layar televisi di depan.

Afkari
Saya gak berani, takut nanti papamu marah. Saya tunggu di luar aja.

Mendapatkan pesan seperti itu dari Afkari, Sava memaklumi. Papanya ini cukup keras orangnya, bahkan mungkin sekarang ini papanya tak mengizinkan dia jalan-jalan dengan Afkari

"Pa, Mas Afka gak berani masuk," ungkap Sava membuat Andre menoleh.

Tiba-tiba saja Andre berdiri, dia sudah duga Afkari tak akan berani masuk.

"Kamu tunggu sini, biar Papa yang ketemu sama dia. Jangan keluar sebelum Papa masuk."

Sava pun hanya mengangguk pasrah. Namun, dia sebenarnya cemas apabila papanya memarahi Afkari atau mungkin mengusir Afkari.

Di luar, Andre melihat Afkari yang tengah bersandar di mobilnya, seraya memainkan ponsel tanpa menyadari keberadaan Andre.  Melihat itu, Andre berdeham, membuat Afkari tersadar dan langsung menghentikan aktivitasnya memainkan ponsel.

"Om?"

Afkari terkejut melihat yang keluar dari rumah adalah Andre, bukan Sava. Pria itu merasa canggung pada orang yang sudah pernah dia tuduh sebagai penyebab dia dan Sava batal menikah. Mungkinkah Sava tak diizinkan keluar jalan-jalan padanya?

"Kamu masih cinta sama Sava?" tanya Andre tiba-tiba, membuat Afkari menelan ludahnya sudah payah, tetapi mengangguk cepat.

Pria itu tak tahu apa penyebab Andre tiba-tiba bertanya hal seperti itu, tanpa aba-aba terlebih dahulu. Alhasil, Afkari juga langsung mengangguk cepat, dia tak mampu berkata apapun, takut apabila dia salah berucap sehingga Andre malah semakin tak suka padanya.

"Kalau begitu, perjuangkan anak saya. Tapi, sekali aja kamu nyakitin dia, kamu gak bisa lihat dunia lagi," imbuh Andre membuat Afkari terkejut.

Apa ini dia diberikan lampu hijau oleh papa Sava untuk mendekati Sava?

***

Haduh haduh dapat lampu hijau dari camer nih.

Besok aku bakal update part terakhir sekaligus dengan epilognya. Jadi ditunggu yah.

Btw, baca cerita terbaruku yang judulnya Pacar Sewaan yuk. Masih segar, dijamin bakal senyum-senyum sendiri.

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Follow WP dan Instagram aku @huzaifahsshafia

Bye bye

Choice (END)Where stories live. Discover now