Dua Puluh Empat

18.2K 687 13
                                    

Sava menggeleng menjawab pertanyaan pembina lembaga yang di mana dia dimintai untuk bertahan hingga majalah kampus selesai diumumkan. Keputusan gadis itu sudah bulat untuk memilih mengundurkan diri dari lembaga karena tak mau anggota lembaga semakin tak menyukainya.

Siapapun pasti merasakan bagaimana rasanya dibenci oleh orang yang cukup dekat. Selain canggung, menatap wajah mereka saja tak berani, Sava bahkan merasakannya sendiri. Setelah dia mengetahui kalau anggota lembaga tak menyukainya, sekadar menatap wajah mereka saja Sava tak berani. Bersyukurnya saat berbicara dengan pembina lembaga, mereka dia di dalam ruangan yang hanya ada Sava, Azka selaku ketua lembaga, dan pembina lembaga.

"Proses pembuatan majalah kampus sudah memasuki tahap akhir, kamu yakin mau keluar?" tanya Dona selaku pembina lembaga.

Sava mengangguk, dia lalu menjawab, "Yakin, Bu. Saya beneran mau keluar dari lembaga."

"Sangat disayangkan kalau kamu keluar, saya tahu bagaimana perjuangan kamu selama ini agar projek majalah kampus bisa sukses. Kami benar-benar akan kehilangan orang seperti kamu. Jadi saya mohon, pertimbangkan lagi keinginan kamu yang ingin mengundurkan diri."

Sava menunduk mendengar perkataan Dona. Memang sangat disayangkan dia keluar dari lembaga padahal dia sudah berjuang demi lembaganya, melakukan apapun agar lembaga dan projek mereka bisa sukses. Namun, Sava juga tak bisa tinggal di lingkungan orang-orang yang membencinya.

"Mereka hanya minta ganti Pimred, 'kan? Gak usah dipikirin," timpal Azka berusaha agar Sava tak mengundurkan diri. Pasalnya, Sava sudah melakukan apapun demi lembaga.

"Keputusannya udah bulat, saya akan mengundurkan diri, Bu."

"Bisa kamu pertimbangkan lagi, Sava. Kamu sangat berkompeten di lembaga ini. Bulan depan kita juga akan mengikuti lomba majalah, kami butuh orang seperti kamu." Dona kembali membujuk Sava agar menghentikan niatnya mengundurkan diri.

"Maaf, Bu," ucap Sava seraya menunduk dalam.

"Ya sudah, saya gak bisa maksa kalau emang itu keputusan kamu," ujar Dona pasrah. Dia tak bisa menahan mahasiswi  berkompeten seperti Sava untuk tidak mengundurkan diri di lembaga.

"Gak bisa gitu, Bu. Masalah salah menginformasikan jadwal cetak bukan salah kak Sava, bukan juga salah siapapun. Masalah ini cuma masalah sepele, terus tiba-tiba yang lain mengeluarkan unek-uneknya kalau mereka gak suka sama kak Sava, apalagi saat mereka minta kak Sava mengundurkan diri sebagai Pimred, terus kak Sava yang sadar juga gak ada gunanya lagi, dia memilih untuk mengundurkan diri," tutur Azka. Pria itu mencoba mempertahankan Sava karena dia tahu seberapa cinta Sava pada lembaga ini.

"Apa yang kamu katakan benar, tapi keputusan ada di tangan Sava. Kita gak bisa memaksa," balas Dona.

"Mereka hanya minta mengundurkan diri dari Pimred, kenapa harus mengundurkan diri dari lembaga? Sifat lo kayak anak-anak, Kak," ucap Azka pada Sava.

Kayak anak-anak? Sava tahu itu, dia memang kekanak-kanakan, baperan, suka marah-marah tak jelas. Namun, Azka tak tahu bagaimana rasanya dibenci oleh sekumpulan orang sehingga rasanya tak ingin berada di antara mereka. Sava memilih mengundurkan diri dari lembaga daripada mengundurkan diri dari Pimpinan Redaksi karena tak sanggup apabila berdiri di antara orang-orang yang membencinya. Biar bagaimanapun juga, gadis itu lebih menyayangi mentalnya dibandingkan lembaga.

"Lo gak rasa apa yang gue rasa. Gue tetap mengundurkan diri," balas Sava tajam. Gadis itu mengeluarkan amplop putih dari tasnya, kemudian memberikan pada pembina lembaga.

"Saya pamit, Bu. Ini surat pengunduran diri saya. Semoga lembaga ini bisa sukses terus dan punya anggota yang berkompeten."

Sava keluar dari ruang pembina, dia melewati banyaknya anggota lembaga yang hadir di sekretariat kali ini. Beberapa ada yang menatap Sava dan beberapa lainnya memilih untuk menyibukkan diri pada ponselnya. Walau begitu, Sava tak peduli, dia tetap melewatinya mereka semua, yang Sava inginkan saat ini adalah keluar dari sekretariat lembaga ini secepat mungkin.

Mulai detik ini, Sava membenci sekretariat lembaga ini. Dia membenci orang-orang yang ada di dalam, tetapi sama sekali tak membenci lembaga yang sudah membuatnya berani berbicara di depan umum.

***

Azka tak menyangka kalau Sava benar-benar mengundurkan diri, dia kembali teringat bagaimana dulu Sava bercerita padanya kalau gadis itu sangat mencintai lembaga mereka.

Keluarnya Sava dari lembaga, membuat kegiatan lembaga mereka berhenti sejenak, proses percetakan majalah kampus juga ditunda dan mungkin saja mereka tak akan mengikuti lomba majalah kampus se-universitas.

Setelah selesai rapat bersama anggota lembaga beserta pembina, mereka kembali membahas tentang kelanjutan dari majalah kampus mereka. Azka ditunjuk sebagai pengganti Sava walau sebenarnya dia tak mau. Rapat juga hanya berlangsung kurang lebih tiga puluh menit, karena mereka hanya membahas perihal masalah Pimpinan Redaksi dan jadwal cetak majalah.

Pria itu yang tadinya berniat ingin masuk ke mobilnya, urung saat melihat orang yang sangat dia kenal memarkirkan motornya di parkiran motor. Setahu Azka, itu adik Sava.

Penasaran dengan adik Sava yang berbeda kampus dengan mereka, Azka pun menghampiri Nava di parkiran motor.

"Nava? Lo Nava, 'kan?" tanya Azka kala dia sudah berada di parkiran motor.

Nava yang mendengar itu sejenak mengernyit heran, tetapi tak lama mengangguk sebagai jawaban.

"Gue Azka, sepupunya bang Afka, ingat gak? Gue yang pernah diajak bang Afka ketemu sama kak Sava diam-diam, yang lo juga diajak itu," jelas Azka. Barangkali Nava tak mengingatnya karena mereka hanya bertemu beberapa kali saja.

Nava mengangkat sebelah alisnya,  lalu berkata, "Iya, terus?"

Ternyata kepribadian Nava dan Sava agak berbeda. Sava orang yang suka mengajak mengobrol bahkan sedikit cerewet, tapi Nava ternyata pendiam.

Azka meringis pelan, lalu bertanya, "Mau ketemu sama kak Sava?"

"Iya, mau jemput dia."

"Biasanya dia bawa motor," ucap Azka lagi. Sepertinya mengulik informasi tentang Sava pada Nava boleh juga, dia bisa memberikan pada Afkari, barangkali dengan begitu dia bisa mengetahui alasan Sava membatalkan pernikahan dengan Afkari.

"Jarang juga sih, semenjak batal nikah dia lebih milih dianterin kemana-mana," balas Nava.

"Mungkin dulu terbiasa karena selalu diantar sama bang Afka. Repot pasti, ya?" Azka terkekeh geli, padahal tak ada yang lucu.

"Banget. Coba kalau seandainya dia gak turutin permintaan ayah Afkari waktu itu, pernikahan mereka gak akan batal."

"Hah?"

Azka seketika terdiam, dia menatap Nava yang kini salah tingkah lantaran keceplosan. Adiknya Sava itu sampai menggaruk tengkuknya, dia kini tak tahu harus bagaimana. Dalam hati Nava, dia selalu berdoa semoga saja Azka tadi salah dengar atau semoga saja Azka tak bertanya dan tak membahas hal itu.

Ya Tuhan, Nava memang sering sekali keceplosan seperti ini. Apa nanti yang akan dia beritahu pada Sava? Nava yakin, dia akan dimarahi habis-habisan.

"Jadi—"

"Eh, gue duluan. Apapun yang lo dengar, jangan sampai kak Sava dengar. Gue gak mau dimarahin orang tua gue sama dimarahi kak Sava."

Setelahnya, Nava berlari, menjauhi Azka karena takut Azka semakin bertanya. Sementara Azka, kini tersenyum lebar karena dia kini tahu apa yang selama ini dia dan Afkari cari. Alasan Sava membatalkan pernikahan mereka bukan karena ingin fokus kuliah dan berkarir, tetapi atas permintaan ayah Afkari. Entah permintaan apa, Azka akan menceritakan semuanya pada Afkar.

***

Uhuyyyy bentar lagi masuk konflik nih

Siapkan diri, disiapkan mental, siapkan amarah yang menggebu-gebu 😚

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Bye bye

Choice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang