Empat Puluh Lima

24.1K 760 93
                                    

Azka tak tahu, dia harus senang atau takut saat Nolan tiba-tiba saja memanggilnya dan menyuruhnya masuk ke ruang kerja kakak dari mamanya itu. Belum lagi suasana di ruang kerja Nolan benar-benar terasa tak nyaman akibat Nolan yang hanya diam saja.

Apa dia akan dimarahi?

Namun, Azka merasa tak ada alasan bagi Nolan memarahinya, apalagi Nolan sangat jarang dilihat marah.

Pria itu meringis pelan, kemudian menggaruk tengkuknya disertai dengan ringisan pelan, membuat Nolan mendongak dan menatapnya. Karena ditatap oleh Nolan, Azka seketika menegakkan tubuhnya, dia juga menahan napasnya beberapa detik.

"Gimana sama kuliah kamu?" tanya Nolan berbasa-basi.

Azka yang mendengar itu, langsung berdeham pelan, dan menjawab pertanyaan Nolan.

"Baik, Om. Cuma kemarin sempat ada masalah aja di UKM."

"Kalau Sava?"

Nolan orangnya kaku, dia tak bisa berbasa-basi begitu lama, dia lebih suka langsung bertanya pada intinya. Alhasil, ayahnya Afkari itu langsung bertanya perihal Sava pada Azka.

"Eh, kak Sava?" tanya Azka balik, seakan tak percaya kalau Nolan bertanya perihal Sava padanya.

Pikiran-pikiran negatif pun mulai menghantui Azka. Bagaimana kalau seandainya Nolan berniat untuk menyakiti Sava? Atau bagaimana kalau Nolan menemui Sava secara langsung dan memarahi Sava?

"Sava gimana?" tanya Nolan lagi membuat Azka menggaruk kepalanya.

"Kak Sava baik, Om."

"Kamu sering ketemu sama dia?"

Lagi, Nolan bertanya, membuat Azka malah takut apabila ayahnya Afkari ini menemui Sava dan menyakiti Sava. Kalau hal itu terjadi, Azka yakin, Afkari tak akan memaafkannya. Namun, Azka mengangguk cepat lalu menggeleng membuat kening Nolan mengernyit mendengarnya.

"Jadi yang benar mana? Kamu sering ketemu Sava atau tidak?"

Azka tersenyum paksa, lalu menjawab, "Ketemu, Om. Cuma kadang-kadang aja."

"Bisa bantu saya bertemu Sava? Tenang, saya akan kasih kamu imbalan kalau kamu bantuin saya ketemu Sava," pinta Nolan.

Tujuan pria itu menyuruh Azka datang ke ruang kerjanya, karena dia ingin Azka menolongnya bertemu dengan Sava. Nolan rasa, dia perlu meminta maaf pada Sava karena sudah membuat Sava menderita begitu lama. Saat ini, Nolan mengesampingkan egonya, dia ingin anaknya bahagia, dan langsung pertama yang dia lakukan adalah bertemu dengan Sava serta meminta maaf pada Sava.

"Om, kalau itu Azka gak bisa janji. Bukan karena—"

"Saya mau minta maaf sama Sava, saya sama sekali gak ada niat mau nyakitin Sava," sanggah Nolan cepat, mengungkapkan keinginannya bertemu dengan Sava.

"Hah?"

Azka mengerjap berkali-kali, seakan tak percaya mendengar perkataan Nolan. Sejak kapan ayahnya Afkari yang memiliki ego dan gengsi yang tinggi ingin meminta maaf? Azka seakan tak percaya tapi itu adalah kenyataannya. Sava mampu meruntuhkan ego serta gengsi milik Nolan.

"Jadi, saya mohon sama kamu, bantu saya bertemu dengan Sava. Besok siang. Bisa?"

Azka tak mungkin tak mau membantu Nolan bertemu Sava untuk meminta maaf, tetapi pria itu mengajukan syarat agar diizinkan ikut serta menemani Nolan bertemu Sava, dia takut nanti Nolan malah menyakiti Sava. Yah, walaupun tadi Azka melihat kesungguhan di mata Nolan, tapi tetap saja Azka perlu waspada, dan syarat yang diajukan oleh Azka disetujui oleh Nolan.

***

Secará mendadak, Azka memintanya untuk bertemu, katanya ada yang mau berbicara dengannya. Sava awalnya menolak, karena berpikir kalau yang meminta bertemu dengannya adalah Afkari. Namun, Azka meyakinkan dirinya bahwa yang ingin bertemu dengannya bukanlah Afkari. Alhasil, Sava pun menerimanya, dia mau bertemu dengan Azka serta orang yang Azka masuk.

Saat ini, waktu menunjukkan pukul tiga belas lewat dua puluh menit, Sava sudah menunggu hampir sepuluh menit tetapi orang yang ditunggu tak kunjung datang, Sava sudah cukup lelah menunggu kedatangan mereka.

Tangan gadis itu bergerak mengambil ponselnya, bersiap untuk mengirimkan Azka pesan, bertanya keberadaan pria itu. Kalau masih lama, ada baiknya dia ke kampus untuk bimbingan pada dosen pembimbing satunya. Sava rela tak bimbingan hari ini demi bertemu dengan Azka dan oranh yang Azka maksud.

Namun, baru saja dia mengetik pesan untuk Azka, suara Azka yang tiba-tiba sudah di depannya membuat Sava mengurungkan niatnya dan langsung mendongak.

"Sorry, Kak. Gue tadi nungguin om Nolan dulu."

Tubuh Sava menegang saat mendengar nama yang Azka sebut, juga melihat keberadaan Nolan di samping Azka. Ayahnya Afkari itu hanya diam saja, tetapi di bibirnya tersungging senyum tipis, sangat tipis sampai tak akan ada yang menyadari, tapi Sava menyadari itu.

"Om Nolan mau ngomong sama lo, berdua. Jadi, gue di meja sana," kata Azka menunjuk meja yang berada dekat dengan jendela. Kemudian pria itu berlalu, meninggalkan Sava dan Nolan di meja tersebut.

"Duduk, Om." Sava mempersilakan Nolan untuk duduk, hal itu langsung dituruti oleh Nolan.

Ketika Nolan sudah duduk, Sava meremas ujung kemejanya. Telapak tangannya dingin serta berkeringat, pelipisnya juga mengeluarkan keringat dingin. Kalau tahu yang mau bertemu dengannya adalah Nolan, Sava tak akan mau dan langsung menolak begitu saja, tapi kini sudah terlanjur, dia juga tak mungkin mengusir Nolan dari sini.

"Sava, bisa saya mulai?" tanya Nolan setelah sekian lama mereka diam.

"Om, gak mau pesan dulu, biar lebih rileks."

Nyatanya, apa yang Sava katakan barusan hanyalah alibi agar dia bisa merilekskan dirinya lebih dulu.

Nolan menggeleng, lalu berkata, "Sebelum kemari, saya suruh Azka untuk memesankan nanti makanan untuk saya di meja dia. Jadi, bisa kita mulai?"

Mendengar itu, Sava menahan napasnya beberapa detik, kemudian menghembuskan perlahan. Gadis itu mengangguk pelan, agak ragu karena takut Nolan berkata hal yang mungkin saja dapat menyakiti hatinya.

"Saya mau minta maaf sebesar-besarnya pada kamu, karena dulu pernah meminta kamu untuk membatalkan pernikahanmu dengan Afkari. Dulu saya ingin Afkari bahagia, menurut saya kebahagiaan Afkari ada pada Ratu yang dulu pernah menjadi mantan kekasihnya. Tapi nyatanya gak seperti itu, Afkari malah menderita. Saya benar-benar minta maaf, Sava," tutur Nolan tulus, bahkan pria paruh baya itu menunduk dalam, sebagai tanda kalau dia menyesali semuanya.

"Mungkin kamu sudah tahu perihal Ratu yang meminta saya untuk menyuruh kamu membatalkan pernikahanmu dengan Afkari. Itu memang benar, saya juga semakin terbuai dengan perkataan Ratu yang katanya akan meminta perusahaan ayahnya untuk bekerjasama dengan perusahaan kami. Kali ini saya akan membiarkan Afkari memilih, saya ingin dia bahagia. Saya mohon, maafkan saya," imbuh Nolan membuat Sava tak percaya mendengar perkataan Nolan yang begitu panjang.

"Semuanya udah berlalu, Om. Saya juga udah mulai lupa dan udah maafin semuanya, walau nyatanya rasa sakit itu masih ada," balas Sava pelan.

Nolan seketika mendongak, dia sadar kalau sudah menyakiti hati Sava begitu dalam.

"Kenapa kamu begitu baik? Sifatmu mirip seperti ibumu, kemarin dia sangat menerima kami, walau ayah kamu marah."

Ah, kemarin? Sava seketika ingat dengan pecahan toples di ruang tamu kemarin saat dia pulang jalan-jalan bersama Nava.

"Apapun yang terjadi kemarin-kemarin, saya mohon Om Nolan melupakan semuanya. Anggap yang kemarin sebagai pelajaran," ucap Sava mengalihkan pembicaraan. Dia merasa aneh saat dibilang begitu baik, padahal nyatanya tak seperti itu.

Namun, tanpa keduanya sadari, dari kejauhan ada Cantika yang melihat interaksi keduanya. Hal itu membuat Cantika sadar, bahwa sampai kapanpun dia berjuang, Afkari tetap tak bisa untuknya. Sekarang pun, Nolan kini berpihak pada Sava. Semua yang dia lakukan juga sia-sia. Selain itu, rasa bersalah juga turut hinggap di hati Cantika, dia merasa bersalah karena sudah membuat Sava dan Afkari menderita.

***

Haduh haduh Nolan mulai minta maaf sama Sava nih. Btw buat yang nungguin part Sava dan Afkari, ditunggu yah, masih ada beberapa part lagi 🤣

Jangan lupa tinggalkan jejak. Spam nextnya aku tunggu.

Update cepat kalau vote 70+komen juga 70

Bye bye

Choice (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora