Enam

27.6K 1K 11
                                    

Azka menginjak rem mendadak ketika mendengar perintah Afkari yang menyuruhnya untuk berhenti. Pria itu menoleh pada sepupunya, menatap kesal pada sepupunya yang kaku bila berbicara dengan siapapun.

"Kenapa sih, Bang? Hanya untung lagi hujan deras, kalau enggak, yang ada dikira gue ngapa-ngapain lo," ucap Azka kesal. Dia bahkan sampai berdecak kesal.

"Saya turun—"

"Lah, lo mau pulang pake apa? Jalan kaki? Mobil lo, 'kan, masih di bengkel." Belum selesai Afkari berucap, Azka sudah lebih dulu memotongnya.

"Saya belum selesai ngomong," kata Afkari geram.

Azka cengengesan mendengarnya dengan sebelah tangan mengusap tengkuk karena dingin disertai merinding, takut apabila kakak sepupunya ini marah padanya.

"Di pos penjagaan ada Sava, dia sepertinya cuma diantar ke kampus. Kalau naik motor, pasti nekat terobos hujan. Jadi saya minta tolong sama kamu, antar Sava pulang," tutur Afkari.

Azka salut pada Afkari, sekalipun sudah disakiti oleh Sava, kakak sepupunya ini masih tetap peduli dan parahnya masih sangat mengenal tabiat Sava. Afkari patut diacungi jempol karena masih begitu mengingat tentang mantan walau sudah hampir dua tahun berlalu.

"Barang-barang saya, saya titip sama kamu. Saya bisa pulang naik taksi online," pungkas Afkari kemudian keluar dari mobil Azka.

Sementara Azka hanya menggeleng pelan, padahal kalau mau mengajak Sava pulang bersama mereka bisa, karena mobilnya muat untuk enak orang. Mungkin Afkari melakukan itu agar Sava nyaman. Ah, baik sekali kakak sepupunya itu. Kemudian mata Azka beralih melihat pada pos penjagaan, dari kerumunan mahasiswa yang berteduh, Azka sama sekali tak melihat adanya Sava. Karena tak melihat keberadaan Sava di pos penjagaan, Azka memajukan mobil dan berhenti tepat di depan pos penjagaan.

Saat di depan pos penjagaan, dia melihat Sava yang tengah memainkan ponselnya. Afkari saking bucinnya, walau Sava berada di kerumunan dan tak begitu terlihat, Afkari dapat melihat keberadaan Sava. Bukankah ini hebat?

"Bu Pimred, mau bareng gak?" teriak Azka membuat Sava mendongak.

Sava yang melihat keberadaan juniornya itu, langsung maju selangkah hingga dia berdiri di depan para mahasiswa yang ikut berteduh.

"Gue kira lo udah pulang," balas Sava ikut berteriak.

"Mau bareng, gak?" Bukannya membalas perkataan Sava, Azka malah bertanya apakah Sava mau pulang bersamanya atau tidak.

"Enggak ngerepotin nih gue?"

"Enggak. Ayo cepetan!"

Sava tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia bisa pulang cepat dan bisa istirahat dengan cepat di rumah. Hujan deras membuat Sava tak bisa pulang cepat setelah rapat persiapan penerbitan majalah selesai. Gadis itu yang memang hari ini hanya diantar adiknya, terpaksa menunggu hujan reda baru meminta dijemput. Bersyukurnya ada malaikat tak bersayap datang menawarkan jasa untuk pulang bersama.

"Baik banget lo sama gue," ucap Sava kala dia sudah berada di dalam mobil Azka.

"Gue 'kan emang baik," balas Azka menyombongkan diri.

Sava yang mendengar itu, mencibir. Baru juga dipuji sedikit, Azka sudah menyombongkan diri. Bagaimana nanti kalau Azka sering dipuji? Bisa jadi juniornya ini akan besar kepala, overdosis pujian yang ada. Gadis itu sedikit menoleh pada jok belakang mobil Azka, ada beberapa map, tumpukan buku, serta ada ransel juga di sana.

"Barang lo banyak banget," kata Sava.

"Iya." Hanya satu kata yang bisa keluar dari mulut Azka, nyatanya itu bukan barangnya, tapi barang Afkari. Kalau dia bilang itu barang Afkari, bisa-bisa Sava malah batal pulang bersamanya dan dia berujung dimarahi oleh Afkari.

Azka mulai menjalankan mobilnya, keluar dari area kampus. Jalanan begitu lenggang,  banyak para pengendara motor yang berteduh di depan ruko pinggir jalan, sementara pengendara mobil terus melaju.

"Gimana sama bimbingan kemarin, Kak?" tanya Azka memulai percakapan.

Pertanyaan Azka mengingatkan Sava dengan alasan dia memilih judul skripsinya, terhitung sudah dua hari sejak Afkari meminta alasannya, tetapi Save sama sekali belum menemukan alasan mengapa dia mengambil judul skripsi.

"Bang Afka galak?"

Seketika Sava menoleh dan berkata, "Lumayan. Abang lo itu agak nyebelin."

Pria itu tertawa, dia tak marah mendengar perkataan Sava. Toh, kenyataanya kakak sepupunya itu memang menyebalkan, kadang kala membuat Azka kesal juga. Namun, sepertinya hanya Sava satu-satunya gadis yang tahan dengan sifat Afkari.

"Bang Afka biar kayak gitu sama lo, dia itu masih sayang banget, Kak. Setidaknya kasih dia kesempatan lagi," balas Azka tiba-tiba.

Sontak hal tersebut membuat Sava terdiam. Jelas saja membuat Sava tak bisa mengeluarkan suara karena kembali teringat masa lalunya dengan Afkari. Dia menyakiti Afkari, tapi kenapa Afkari masih saja tak bisa melupakan dirinya, kalau seperti itu, Sava malah semakin merasa bersalah pada Afkari.

***

"Tapi gue masih gak tahu, Ka, apa alasan gue milih judul itu," ungkap Sava pada Cantika lewat via telepon.

Sesampainya di rumah tadi, Sava langsung membersihkan diri, shalat, kemudian menelepon Cantika setelah selesai shalat.

"Makanya kalau cari judul itu jangan di Google, jadinya gini, 'kan?," kata Cantika seraya berdecak kesal.

Sava membaringkan tubuhnya di ranjang tanpa melepaskan mukena yang dia gunakan, kedua kakinya mengapit guling, sedangkan kiri sebagai pengganti bantal.

"Gue kemari udah putus asa karena judul gue gak di-ACC sama pak Maulana," balas Sava.

Memang saat mengajukan judul, Sava sudah putus asa lantaran tak ada satu pun judulnya diterima. Teman-temannya yang lain semuanya sudah diterima, belum lagi ada mahasiswa semester lima yang mengajukan judul dan sudah diterima. Jelas dia putus asa dan iri melihatnya.

"Ngapain lo putus asa? Suatu saat juga judul lo bakal di-ACC, buktinya udah di-ACC, 'kan?"

Sava mengangguk, tetapi sadar kalau Cantika tak melihatnya mengangguk, Sava pun berkata, "Bener sih. Tapi gue bingung sama alasan ambil judul gue."

"Gini aja deh, kita berdua VC-an, kita sama-sama nyari alasan lo pilih judul itu"

"Serius, nih?"

"Hm."

Sava berteriak kegirangan mendengarnya, kemudian langsung mengubah panggilan suara ke panggilan video.

"Pokoknya, gak mau tahu gue, malam ini udah harus ada alasannya," kata Sava terdengar tak tahu diri.

Di layar ponsel itu, Sava dapat melihat Cantika memutar bola matanya malas, kemudian meraih laptopnya dan mulai fokus pada laptopnya. Begitu juga dengan Sava yang langsung mengambil laptop untuk mencari alasan dia memilih judul skripsinya.

"Harus dapat malem ini, ya," kata Sava.

"Iya, Sava."

"Btw, masih ngejar-ngejar cowok yang sering lo maksud itu, gak?"

"Apa?"

Cantika yang tadinya sibuk dengan laptopnya, kini menatap layar ponselnya yang tentu saja menunjukkan wajah Sava di sana. Kening Cantika mengernyit heran seakan tak mengerti dengan pertanyaan Sava.

"Masih ngejar-ngejar cowok itu, gak?"

Cantika tak menjawab, dia kembali fokus pada laptopnya membuat Sava tak bisa menyimpulkan begitu saja. Sava sengaja bertanya seperti itu karena mencoba membantu adiknya untuk melakukan pendekatan sesuai dengan apa yang dia janjikan.

"Kalau masih tapi dia gak nge-respon, kasih kesempatan buat adek gue bisa? Dia suka sama lo, Ka," pinta Sava sukses membuat Cantika terdiam.

Gadis itu menatap Sava cukup lama lalu menjawab seadanya, " Boleh. Itupun kalau dia bisa buat gue suka sama dia."

***

Uhuyyy aku udah update lagiiiii

Ada yang nungguin? Gimana menurut kalian sama Cantika? Ada yang ngerasa aneh sama dia?

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Bye bye

Choice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang