Dua Puluh Dua

18.6K 713 6
                                    

Sava menjambak rambutnya dengan kesal lantaran mendengar perihal salah mengonfirmasikan jadwal cetak pada pihak percetakan yang mau bekerjasama dengan mereka. Gadis itu tak menyangka kalau semuanya malah jadi seperti ini, projek majalah kampus mereka bisa saja batal terbit.

Semua anggota Lembaga Pers Mahasiswa berkumpul di sekretariat, mereka diam tak berani mengeluarkan suara, yang mereka dengar hanyalah suara Novia yang menangis karena semuanya bermula dari dia. Sementara beberapa anggota lembaga berusaha untuk menenangkan Novia.

"Kita cari percetakan lain aja, gimana?" tanya Sava berusaha mencari solusi. Biar bagaimanapun juga, dia bertanggung jawab besar akan masalah ini.

Mereka semua tadi sudah berusaha berbicara dengan pihak percetakan, berharap pihak percetakan bisa menerbitkan majalah kampus mereka walau hanya sepuluh eksemplar, tetapi pihak percetakan tak bisa menerbitkan majalah kampus bulan ini karena sudah memiliki kerja sama dengan orang lain. Sementara jadwal pengenalan majalah kampus sebulan setelah penerbitan, kemudian lomba majalah kampus antara universitas dua hari setelah pengenalan majalah kampus, belum lagi proses cetak untuk lima puluh eksemplar buku memakan waktu cukup lama.

"Gak sempat, Va. Kalau pun kita cari percetakan baru, belum tentu mereka langsung menerima," kata Nana—salah satu tim editor yang seangkatan dengan Sava.

"Pasti dapat. Coba kita cari di Instagram atau Facebook," kata Sava mencoba untuk tak putus asa.

"Cari lo bilang? Lo kira kita semua gak capek nyari percetakan yang bagus?"

Nana kini kesal dengan Sava yang seenaknya berkata seperti itu, padahal Sava jelas-jelas tahu bagaimana mereka susahnya mendapatkan percetakan yang bagus.

"Setidaknya kita berusaha, 'kan?" balas Sava. Kalau mereka cuma diam saja meratapi yang yang tengah terjadi sekarang ini, mereka tak akan bisa menyelesaikan projek majalah ini.

"Berusaha? Heh, yang berusaha itu cuma kami, lo gak ada kontribusinya sama sekali. Lo tahunya cuma banyak komen sama banyak perintah," balas Nana.

Sava mengernyit heran mendengar balasan Nana yang terdengar begitu sinis padanya, belum lagi gadis itu samping Novia itu menatap Sava tajam.

"Lo kenapa sih, Na? Gue ngomong baik-baik, gue juga gak nyuruh, gue bilang kita cari sama-sama. Emang salah?" Saga benar-benar tak mengerti dengan Sava.

Nana tertawa mengejek, lalu berkata, "Salah, salah besar! Ujung-ujungnya juga lo bakal santai aja sementara anggota yang lain pusing nyari. Semenjak lo ditunjuk sebagai Pemimpin Redaksi kepanitiaan ini, lo jadi banyak ngomong, banyak suruh sama banyak komen."

Seluruh anggota lembaga diam saja, melihat perdebatan antara Sava dan Nana yang memang sejak dulu tak pernah akur. Sava dan Nana juga dulu pernah bertengkar karena perbedaan pendapat.

"Gue gak nyuruh, tapi itu semua demi tanggung jawab gue sebagai Pemimpin Redaksi. Lo juga harusnya tahu gimana tugasnya, 'kan? Jangan sok gak tahu," balas Sava.

Gadis itu kini sudah tak bisa menahan amarahnya karena Nana, tiba-tiba saja Nana marah dan memprotes banyak hal padanya. Harusnya Nana tahu, seberapa susahnya jadi Pemimpin Redaksi.

"Bukan sok gak tahu, tapi lo yang terlalu lebai," ujar Nana menunjuk Sava.

Geram melihat Nana yang menunjuk padanya, membuat Sava menghampiri Nana dan menatap Nana tak kalah tajam.

"Jangan tunjuk-tunjuk bisa?"

Bukannya marah, Nana malah semakin tertawa melihat Sava.

"Sava, lo harus tahu, banyak anggota lain yang mengeluh karena lo lebih banyak nyuruhnya dan komennya. Cuma mereka semua emang gak berani ngaku aja. Gue selama ini coba untuk bertahan, tapi sekarang gak kuat. Lo gak tahu gimana Novia sering banget ngeluh sama gue karena lo. Lo bisa tanya sama mereka."

Choice (END)Where stories live. Discover now