Tiga Puluh Tiga

19.9K 676 281
                                    

"Dari mana kamu?"

Suara bariton dari ayahnya membuat Afkari yang baru saja berniat menaiki tangga menuju kamarnya terhenti, pria itu tak menjawab, tetapi hanya melirik tajam pada ayahnya yang sudah menatapnya tajam. Afkari sadar, ayahnya pasti marah padanya karena akhir-akhir ini sering pulang tengah malam.

Anggap saja ini sebagai bentuk protes Afkari pada ayahnya karena sudah membuat dia menderita. Afkari bahkan akhir-akhir ini tak bertegur sapa dengan ayahnya, dia juga tak pernah lagi ikut sarapan bersama setelah mengetahui fakta bahwa ayahnya penyebab dia dan Sava batal menikah.

"Dari mana kamu, Afkari?" sentak Nolan.

Afkari berbalik badan, menghadap ayahnya dan menatap ayahnya tak kalah tajam. Jangan salahkan Afkari apabila kasar bahkan terkesan membenci pria paruh baya itu, ini semua karena ayahnya sendiri yang membuat dia seperti ini.

"Mencari kebahagiaan yang entah di mana bisa menemukannya," jawab Afkari.

"Apa seperti ini Ayah dan ibu mengajar kamu? Hah? Kenapa jadi tidak sopan seperti ini?"

Afkari tertawa, mengejek pada ayahnya. Kenapa ayahnya tak sadar kalau dia seperti ini karena ayahnya sendiri penyebabnya?

"Tapi Ayah sendiri gak sadar kalau saya seperti ini karena Ayah," balas Afkari tajam.

Nolan menatap anaknya tajam, rahangnya mengeras, menandakan kalau dia tengah emosi. Tanpa berpikir panjang, Nolan menghampiri Afkari dengan langkah lebah, kemudian memukul wajah Afkari dengan kepalan tangannya.

Afkari yang belum bersiap menerima pukulan tersebut, tersungkur karena pukulan ayahnya. Bibirnya bahkan sampai mengeluarkan darah saking keras ayahnya memukul. Setelah sekian lama, ini pertama kali Nolan memukul dia. Afkari berdecih, kemudian membuang ludahnya sembarang tempat, tak peduli darah yang bercampur dengan ludahnya mengotori lantai yang bersih.

"Hanya karena perempuan itu, kamu jadi seperti ini," kata Nolan setelah memukul wajah anaknya.

"Bukan karena Sava, tapi karena Ayah," ralat Afkari.

Nolan mengangkat tangannya, bersiap untuk memukul Afkari lagi. Afkari sama sekali tak menghindar, dia malah memajukan satu langkahnya hingga hanya beberapa senti.

"Apa yang Ayah lihat dari Ratu sampai Ayah gak suka sama Sava?" tanya Afkari. Dia mencoba menahan emosinya, bertanya dengan pelan pada ayahnya. Sekalipun ayahnya telah membuat dia menderita, Afkari tak akan berani memarahi ayahnya.

"Sava gak sebanding dengan kita dan hanya Ratu yang sebanding dengan kita."

"Kalau Sava gak sebanding dengan kita, biar saya yang membuat dia sebanding dengan kita," balas Afkari.

Afkari tahu tak sebanding yang ayahnya maksud. Papa Sava hanya karyawan biasa di perusahaan besar, walau begitu gajinya memang  lebih dari cukup menghidupi keluarga, bahkan sudah mampu membangun rumah serta membeli mobil.

"Ayah tahu bagaimana saya menderita karena Ayah yang menyuruh Sava membatalkan pernikahan kami? Saya berkali-kali menyalahkan diri sendiri. Saya rasa, saya telah menyakiti Sava sehingga dia memilih membatalkan pernikahan kami, tapi ternyata penyebabnya ayah saya sendiri. Lalu kenapa gak saat saya berniat melamar Sava, kenapa Ayah gak marah saat itu?"

Nolan diam mendengarnya, tanpa menjawab pertanyaan anaknya yang terdengar menyakitkan di dada. Mata Afkari juga masih menatapnya, tetapi kali ini berubah sendu.

"Apa yang buat Ayah sampai tega nyakitin saya sedalam ini? Apa Ratu yang meminta?"

Jelas Afkari bertanya seperti itu, dia mengenal tabiat Ratu yang pandai sekali membuat orang mengikuti perkataanya. Ratu pandai memanipulasi, dia juga licik.

Choice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang