Sepuluh

24.8K 972 19
                                    

Sava sejak tadi berdecak kesal lantaran adiknya tak kunjung datang menjemputnya, sementara waktu telah menunjukkan pukul setengah enam sore dan sebentar lagi waktu magrib akan tiba. Kampus memang masih cukup ramai dengan UKM yang tengah latihan, tetapi Sava ingin pulang secepatnya dan mengistirahatkan tubuhnya yang sudah sangat lelah seharian beraktivitas.

Gadis itu kembali menelepon Nava untuk yang ketiga kalinya, bermaksud bertanya keberadaan adiknya itu. Seharusnya tadi dia bawa motor saja, Sava malah tergiur dengan rasa malasnya untuk tidak membawa motor ke kampus.

"Lo di mana? Gue udah lumutan nungguin," kata Sava tanpa mengucapkan kata halo kala sambungan teleponnya diangkat Nava.

"Sabar dong, lo kira cuma lo doang yang mau cepat pulang? Gue masih ada rapat BEM, sabar dikit, kenapa?" balas Nava di seberang sana. Sava dapat mendengar decakan dari adiknya.

"Lo lama jemput gue, gue aduin ke bokap," ancam Sava.

"Dasar tukang ngadu lo! Makanya besok-besok bawa motor, biar gak gangguin gue," pungkas Nava dan langsung mematikan sambungan telepon.

Kalau Nava masih ada rapat lembaga, tentunya Sava harus bersabar menunggu. Huh, harusnya Nava memilih sekampus dengannya, tapi dengan tingkah sok sombong dari adiknya itu, malah tak mau memilih sekampus dengan Sava. Kata Nava, dia tak ingin orang tahu kalau dia adik Sava, mahasiswi paling jelek di kampus.

Kalau mengingat hal tersebut, membuat Sava tak henti-hentinya mengomel. Dia biar jelek-jelek begini, masih ada yang menyukainya bahkan hampir menikah. Gadis itu mendongak, melihat langit yang berwarna jingga karena matahari yang terbenam.

Kemudian Sava mengalihkan perhatiannya pada jalan keluar dari gerbang, dia melihat mobil Afkari di sana, melihat pemilik mobil juga yang tengah memasukkan barang-barang di mobil. Sava kira, Afkari sudah pulang, tapi ternyata dosen yang tadi memarahinya itu masih di kampus.

Tiba-tiba saja terbesit di pikiran Sava untuk menumpang dengan Afkari. Toh, mereka juga searah, rumah Sava lebih dulu. Gadis itu berniat melangkah, tetapi teringat kalau dia dan Afkari bukan siapa-siapa. Kenapa dia harus menumpang dengan Afkari? Afkari juga pastinya tak mau, meminta tolong pun dia juga gengsi.

Namun, kalau dia tak melawan gengsinya, yang ada sampai subuh juga tak akan pulang apalagi adiknya tengah rapat BEM. Sava sangat tahu seberapa lama rapat BEM, apalagi saat rapat sore hari, biasanya paling cepat selesai sekitar pukul tujuh malam. Itupun kalau pembahasan mereka tak banyak yang menanggapi.

Gadis itu yang tadinya ingin melangkah jadi urung. Bagaimana nanti kalau Afkari memarahinya? Bagaimana nanti kalau Afkari menolaknya?

Sava menarik napasnya dalam, lalu menghembuskan perlahan. Dia harus menguatkan niatnya untuk meminta tolong pada Afkari, dia harus mengesampingkan gengsinya. Ah, tapi kenapa ini terasa sulit?

Afkari terlihat mulai memasuki mobilnya, membuat Sava melotot dan langsung berlari menghampiri Afkari. Oke, dia kini malah tak peduli dengan gengsi dan tak peduli memalukan dirinya sendiri di depan Afkari, asal bisa pulang cepat dan bisa istirahat.

"Pak, tunggu," teriak Sava membuat Afkari yang baru saja membuka pintu mobilnya langsung mengalihkan perhatian pada Sava.

Pria itu mengernyitkan heran. Ini pertama kalinya Sava menegur selain saat akan bimbingan. Afkari menutup kembali pintu mobilnya, menghadap pada Sava dengan kedua tangannya yang dimasukkan ke saku celana bahan. Dia sama sekali tak bertanya, tetapi menunggu Sava berbicara.

"Saya boleh numpang, gak? Saya gak bawa motor, Nava juga belum bisa jemput," ucap Sava seraya menunduk. Gadis itu menggigit kecil bibir bawahnya, tangannya memilin ujung baju, dia tak berani mengangkat wajahnya, takut mendengar jawaban Afkari.

Choice (END)Kde žijí příběhy. Začni objevovat