Dua Puluh Satu

20K 667 5
                                    

"Temenin gue, yuk, Bang."

Sejak tadi, Sava tak henti-hentinya meminta untuk ditemani bimbingan padahal Fahri saat ini tengah sibuk mengurus pendaftaran seminar proposalnya.

Dari gazebo depan ruang dosen, Sava melihat pada Afkari yang tengah berbincang dengan salah satu dosen, sesekali Afkari akan melihat pada Sava. Jelas hal itu membuat Sava takut..

"Gak, gue sibuk. Lo gak lihat banyak yang gue urus," tolak Fahri. Pria itu sudah berkali-kali menolak setiap kali Sava meminta ditemani bimbingan.

Sava mencibir, dia kesal pada Fahri yang tak bisa membantunya. Kemarin-kemarin bimbingan dengan Afkari mungkin Sava berani, bahkan mengirimkan Afkari pesan pun, Sava berani. Hanya saja, untuk sekarang Sava tak bisa, dia takut dimarahi di depan banyaknya mahasiswa di ruang dosen yang memiliki keperluan dengan dosen lain. Gadis itu yakin, dia akan dimarahi karena bimbingan lewat dari deadline yang Afkari jadwalkan.

Kalau dimarahi di ruang dosen nanti, pastinya Sava malu. Setidaknya, kalau dia dimarahi, ada Fahri yang melihatnya. Hal itu bisa mereka jadikan candaan, kalau cuma dia sendiri, Sava malah malu yang ada.

"Nanti gue dimarahin, Bang," kata Sava mengungkapan ketakutannya.

"Gak bakal itu, lo 'kan pujaan hatinya," balas Fahri yang masih sibuk dengan berkas-berkas di depannya.

"Bang, nanti lo gue bantuin daftar sempro, deh."

Fahri mendengkus kesal, dia menatap Sava tajam, tetapi itu sama sekali tak membuat Sava takut. Hal yang membuat Sava takut yaitu dimarahi Afkari.

"Ajak Cantika atau Adriana aja," tolak Fahri lagi.

"Kalau mereka ke kampus hari ini, tuh dua bocah yang gue ajak, bukan elo," balas Sava geram dengan Fahri.

Fahri berdecak, lalu berkata, "Gini deh, gue kasih lo jimat aja, biar gak dimarahin. Gue setiap bimbingan selalu pake jimat ini."

Jimat? Sava mengernyit heran, dia belum pernah mendengar jimat agar dia tak dimarahi. Sava sebenarnya tak begitu mempercayai hal tersebut, tetapi demi dia tak dimarahi oleh Afkari saat bimbingan nanti, Sava mencoba mempercayainya.

"Apaan?"

"Lo tulis nama pak Afkari di telapak kaki, terus bacain bismillah. Tiup-tiup dikit. Yakin, gue percaya itu bakalan manjur."

Hah? Jimat apa itu? Walau begitu, Sava tetap mengikuti seperti apa yang Fahri katakan, menulis nama Afkari di telapak kakinya, lalu membacakan basmalah, setelah itu menipu beberapa kali.

"Yakin gue, gak akan dimarahin lo,"ucap Fahri menyombongkan diri. "Itu jimat turun temurun dari keluarga gue."

Sava hanya mendelik, kemudian dia mengumpulkan buku serta jurnal yang menjadi referensinya. Tanpa pamit, Sava melangkah menuju ruang dosen, menghampiri Afkari yang kini sudah duduk di mejanya. Dalam hati gadis itu, dia berharap Afkari tak memarahinya.

"Siang, Pak," sapa Sava mencoba berbasa-basi, berharap Afkari tak marah karena dia baru bimbingan padahal deadline-nya sudah lewat.

"Bimbingan?"

Hal pertama yang menyambut Sava adalah wajah garang Afkari yang menakutkan. Afkari kalau di luar memang terlihat bucin, tapi saat di kampus malah galak seperti ini. Kenapa juga dia harus mendapatkan pembimbing seperti Afkari?

Sava meringis, dalam hatinya dia mengumpat kesal. Gadis itu memaksakan tawanya, lebih tepatnya karena takut melihat wajah Afkari.

"Iya, Pak."

"Ini sudah lewat dari deadline, kenapa baru mau bimbingan? Kamu pikir cuma kamu satu-satunya mahasiswa yang perlu dibimbing proposal skripsinya?"

Sava menunduk, dia menatap pada kakinya yang tadi ditulis nama Afkari di sana. Jimat yang Fahri bilang ampuh. Jimat sialan, dia malah dimarahi habis-habisan karena menggunakan jimat itu.

"Waktu bimbingan saya kasih deadline-nya berapa hari?"

"Tiga hari, Pak," cicit Sava.

"Tiga hari, ini udah lewat dua minggu. Kamu kemana? Ngapain aja selama dua minggu ini? Proposal kamu yang diperbaiki masih tanda baca dan formatnya, kenapa selama itu?"

Mama, Sava kini sudah tak kuat dimarahi Afkari habis-habisan, bahkan Afkari terlihat seperti lupa kalau mereka kemarin bertemu. Kenapa Afkari tak bertanya kemarin? Kenapa juga dia tak bimbingan kemarin? Harusnya kemarin dia membawa proposal skripsinya agar bisa bimbingan, mengingat kemarin mood Afkari sedang baik-baiknya.

"Duduk. Saya gak suka lihat mahasiswa berdiri di depan saya sambil menunduk begitu," omel Afkari lagi semakin membuat Sava kesal. Namun, gadis itu menahannya. Ingat Sava, Afkari adalah dosen di kampus.

"Kemarin saya minta referensinya, 'kan?"

Sava mengangguk, dia menyodorkan proposal skripsinya beserta referensi proposal skripsinya pada Afkari, kemudian berkata, "Iya, Pak. Semuanya referensi saya."

"Cukup banyak," ucap Afkari seraya membuka halaman demi halaman di proposal skripsi Sava. Sesekali kening pria itu mengernyit melihat isi proposal Sava.

"Ini kamu tahu masalah kutipan langsung dan tidak langsung?"

Sava seketika mendongak mendengar pertanyaan Afkari. Apa lagi ini? Mata gadis itu mengerjap berkali-kali, dia baru pertama kali mendengar kutipan langsung dan tidak langsung. Kutipan seperti apa?

Mahasiswi bimbingan Afkari itu menelan ludahnya susah payah, menyadari ada hal yang tak dia ketahui dan hal itu adalah sesuatu yang penting dalam proposal skripsi, apalagi saat dia melihat Afkari membaca proposalnya dengan seksama.

Karena tak mendengar jawaban dari Sava, Afkari pun mengangkat wajahnya, menatap Sava untuk meminta jawaban. Namun sayangnya, Sava cuma diam membuat Afkari mendengkus kesal.

"Bagaimana bisa kamu gak tahu kutipan langsung dan tidak langsung? Dulu kamu belajar mata kuliah Metode Penelitian, 'kan?"

Sava mengangguk, jelas saja mahasiswa mempelajari mata kuliah Metode Penelitian saat di semester enam. Hanya saja, mungkin karena Sava yang kurang memperhatikan dosen menjelaskan, dia sampai tak tahu kutipan langsung dan tidak langsung. Oh, atau mungkin karena dia pernah sebulan mengikuti kegiatan di luar kota sehingga tertinggal sub bab mata kuliah Metode Penelitian.

"Saya heran sama mahasiswa sekarang, mengambil kutipan asal ambil, tanpa tahu kutipan langsung dan tidak langsung," ujar Afkari.

"Maaf, Pak," cicit Sava.

"Baca pedoman karya tulis ilmiah kampus, 'kan? Udah di halaman berapa?"

Mampus. Sava hanya membaca awalan pedoman karya tulis ilmiah kampus, dia bahkan sudah bosan membaca padahal baru beberapa halaman saja. Tapi beda lagi kalau dia membaca majalah atau novel, berjam-jam pun, Sava tak akan bosan.

Afkari menghela napasnya, lalu berkata, "Proposalnya saya bawa pulang dulu, mau saya periksa semua."

"Loh, gak diperiksa sekarang aja, Pak."

"Kamu tahu budaya mengantri, 'kan?"

"Tahu, Pak."

"Semua mahasiswa bimbingan sama saya, proposalnya selalu saya periksa. Masih ada lima proposal lagi baru giliran kamu. Saya akan hubungi kamu kalau sudah selesai saya periksa."

Sava mengangguk cepat, setidaknya dengan Afkari yang memeriksa proposal skripsinya, dia bisa sedikit tenang dan bisa fokus sementara pada projek majalah kampus mereka. Dua minggu menjelang penerbitan majalah kampus, Sava super sibuk, bahkan dia sampai pulang malam karena kesibukan tersebut.

***

Pak Afkari emang galak kalau di kampus, mohon dimaklumi 😆

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Bye bye

Choice (END)Where stories live. Discover now