Empat Puluh Dua

23.2K 752 31
                                    

Setelah Sava keluar dari ruang sekretariat lembaga, Adriana juga ikut menyusul. Sementara di sekretariat lembaga tersisa Azka, Cantika, Novia, Nana, Fahri yang berdiri di depan pintu sekretariat kembali, serta anggota lembaga yang lainnya.

Seluruh anggota lembaga yang dulu sempat menyalahkan Sava, menghakimi Sava begitu saja tak menyangka kalau apa yang terjadi saat masalah percetakan majalah kampus sudah diatur. Seandainya tak ada yang mengatur seperti itu, mungkin mereka tak akan berbuat kesalahan apapun, dan projek majalah kampus akan selesai dengan baik.

Novia serta Nana mendapatkan tatapan sinis dari seluruh anggota lembaga, karena mereka juga dalang dibalik masalah yang terjadi di lembaga mereka. Keduanya berkerja sama agar Sava keluar atau dikeluarkan dari lembaga, itu pengakuan Nana tadi.

"Udah puas, 'kan?" tanya Azka sinis.

"Gue udah pernah bilang sama kalian untuk gak main menghakimi begitu aja, tapi kalian malah menghakimi kak Sava," lanjut Azka.

Beberapa anggota lembaga perempuannya menangis, merasa bersalah karena sudah menghakimi Sava, bahkan dulu berkeras Sava keluar dari lembaga.

"Sorry," ucap Andri mewakili ungkapan l rasa penyesalan yang dirasakan oleh seluruh anggota lembaga.

"Buat apa? Udah lewat juga, toh majalah kampus udah rilis seminggu yang lalu. Buat balik ke lembaga juga kak Sava udah gak bisa, udah semester akhir," tutur Azka.

Pria itu kemudian menatap Cantika yang kembali diam, jelas Cantika diam, tempat ini orang-orang yang akan membela Sava, dia kalah sekalipun mengandalkan sifat sombongnya. Kemudian Azka melangkah, menghampiri Cantika.

"Pantas aja abang gue gak suka sama lo, lo jahat, licik, munafik," ucap Azka pada Cantika, menekan setiap kata yang dia ucapkan, tak lupa juga dengan jari telunjuk Azka yang menunjuk Cantika. Bahkan mata Azka menatap Cantika tak suka.

"Orang yang percaya sama lo itu berarti mereka bodoh," lanjut Azka sama sekali tak direspon oleh Cantika.

Pria itu juga tak peduli dengan Cantika membalas perkataannya atau tidak, asal dia bisa mengeluarkan isi hatinya yang begitu membenci Cantika, penyebab Afkari dan Sava menderita. Pria itu menoleh pada seluruh anggota lembaga yang juga diam.

"Surat pengunduran gue besok," ujar Azka.

"Azka, gak lucu," tegur Alfian.

Namun, Azka sama sekali tak peduli, dia kembali menatap Cantika dengan tajam. Tangannya terkepal erat, menahan amarahnya agar tak meledak begitu saja, Cantika bisa saja akan masuk rumah sakit kalau amarahnya meledak. Azka sama sekali tak peduli dengan apa yang akan terjadi ke depannya.

"Emang ya, gak seharusnya percaya sama orang jahat, ujung-ujungnya bakal dikhianati, sekalipun udah berbuat baik pada orang jahat," pungkas Azka meninggalkan sekretariat lembaga, dia sudah tak peduli lagi dengan lembaga ini, dan akan mengajukan surat pengunduran diri juga. Azka sudah lelah menghadapi anggota lembaga yang selalu mengambil keputusan dengan cepat tanpa mendengarkan pendapat masing-masing anggota.

Sedangkan Cantika, dia juga berniat meninggalkan ruangan ini, tetapi baru saja dia selangka keluar dari sekretariat lembaga, Fahri menahan tangannya dan menatapnya dengan tatapan marah. Rahang Fahri mengetat, tanda bahwa dia tengah menahan emosinya.

"Lo mau marah juga?" tanya Cantika membuat Fahri menghela napasnya.

Jelas saja dia ingin marah, marah pada Cantika yang begitu jahat pada Sava. Apa Cantika tak mengingat kalau itu bisa merusak persahabatan mereka?

"Lo lupa kalau kita berempat sahabatan?" tanya Fahri.

"Gue gak merasa sahabatan sama lo bertiga. Jadi, lepasin gue," jawab Cantika menyentak tangan Fahri yang digenggam Fahri erat.

Sayangnya, Cantika tak bisa melepaskan genggaman tangan Fahri dengan mudah, justru kali ini genggaman tangan Fahri semakin erat, membuat gadis itu meringis kecil.

"Lepasin! Sakit tahu?!" pekik Cantika.

"Lo sama sekali gak merasa bersalah?" tanya Fahri seraya tertawa kecil.

"Enggak," sahut Cantika tegas tanpa merasa ragu. "Udah, 'kan? Lepasin gue."

Cantika ingin secepatnya pergi dari sini, semua orang menyalahkannya, menghakiminya. Apa dia salah? Cantika hanya ingin melakukan yang terbaik untuk dirinya, hal ini dia lakukan untuk mendapatkan kebahagiaan, tetapi orang-orang terlihat tak suka dengannya.  Kenapa?

Setelah kemarin yang menyalahkannya ibu Afkari, tadi Adriana juga Sava, dan sekarang yang menyalahkannya Fahri. Apa yang dia lakukan salah, sementara niatnya untuk mendapatkan kebahagiaannya?

Ah, ralat, bukan mendapatkan kebahagiaannya, tetapi merebut kembali kebahagiaannya yang sempat diambil orang lain.

Orang lain? Apa Sava orang lain baginya? Seketika Cantika bertanya-tanya dalam hati, apa Sava orang lain? Apa dia benar-benar membenci Sava? Apa benar dia sama sekali tak menganggap tiga orang yang selalu menemaninya itu sahabat?

Mata gadis itu kini memang, berkaca-kaca karena pikiran sialan itu hinggap di benaknya, dia juga kini tak berani menatap wajah Fahri. Kalau Fahri lihat, bisa-bisa dia akan dianggap lemah, belum lagi dia masih berada di depan ruang sekretariat lembaga. Mereka semua pasti melihat sisi lemah Cantika apabila dia menangis.

"Kenapa lo tega?"

"Bukan tega, emang itu udah seharusnya gue lakuin, 'kan?" balas Cantika pada pertanyaan Fahri, dia juga masih setia menundukkan kepalanya, tak ingin Fahri melihat matanya yang berkaca-kaca.

Namun, nada serak dari Cantika membuat Fahri sadar bahwa Cantika berusaha menahan tangisnya.

"Gue gak mau nyalahi siapapun sih, cuma lo emang pantas disalahin," ujar Fahri.

Nyatanya memang seperti itu, Cantika pantas disalahkan perihal kekacauan yang telah dia lakukan pada Sava dan persahabatan mereka. Pria itu menarik napasnya panjang, lalu menghembuskan pelan.

"Persahabatan kita hancur karena cowok dan lo memperparah semuanya," lanjut Fahri kini sukses membuat air mata Cantika jatuh.

Kenapa dia menangis? Dia tak mungkin menganggap tiga orang itu sahabatnya, 'kan? Cantika mendekati mereka demi menjauhkan Sava dan Afkari, demi mendapatkan Afkari kembali.

"Mending lo berhenti ngomong deh, Bang. Gue gak suka dengannya," balas Cantika dengan suara serak, membuat Fahri tertawa sinis

"Kenapa harus berhenti?" tanya Fahri begitu santai, keningnya juga mengernyit heran. Oh atau pura-pura terlihat heran agar Cantika semakin sadar bahwa dia penyebab persahabatan mereka hancur.

"Karena omongan lo terdengar jahat di telinga gue," jawab Cantika cepat, dia juga mengangkat wajahnya menatap Fahri.

Matanya yang memerah karena menangis sukses membuat Fahri terkekeh sinis, bukankah ini menunjukkan bahwa Cantika sebenarnya menganggap mereka bertiga sahabat?

"Bukannya lo yang jahat?" tanya Fahri sarkas.

Cantika yang mendengar itu seketika diam seribu bahasa,  bibirnya kelu untuk berbicara. Entah kenapa pertanyaan Fahri malah membuat dia mengingat banyak hal yang sudah dilakukan demi Sava dan Afkari bisa jauh.

"Lo jahat banget, Can. Sava padahal selalu ngelakuin apapun buat lo. Bahkan dia sering banget bantuin lo, lo udah dia anggap seperti sodara sendiri. Sava bahkan lebih dekat sama lo, tapi kenapa lo se-tega ini?" kata Fahri beruntun.

Cantika yang masih diam, dijadikan Fahri kesempatan untuk melanjutkan perkataannya.

"Coba introspeksi diri. Gue rasa, lo lagi terobsesi sama Pak Afkari, makanya nekat ngelakuin ini. Jujur aja, ya, gue gak mau persahabatan kita hancur hanya karena cowok. Cowok di dunia ini masih banyak, bukan cuma pak Afkari doang," lanjut Fahri seketika membuat Cantika tersadar.

Obsesi. Sepertinya dia benar-benar terobsesi dengan Afkari sampai lupa akan fakta bahwa di dunia ini bukan hanya Afkari saja pria yang hidup.

***

Aku suka banget sama part ini 😍😍

Fahri marah sama Cantika, tapi dia masih juga ngasih Cantika nasehat biar tobat 🤣

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Bye bye

Choice (END)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu