Empat Puluh Delapan

24.4K 783 29
                                    

Cantika menangis di pelukan Fahri setelah tadi berbicara dengan Sava dan Fahri dengan setia memeluk Cantika serta mengelus punggung Cantika lembut.

Sehabis dari rumah Sava tadi, Fahri mengajak Cantika ke taman kota, dan baru beberapa detik mereka duduk di taman kota, Cantika sudah terisak pelan.

"Udah gak pa-pa. Cowok di dunia ini bukan cuma pak Afkari," ucap Fahri mencoba menenangkan Cantika.

Namun, tangis Cantika sama sekali tak berhenti, malah semakin jadi. Hal itu membuat Fahri kelabakan mendengarnya, dia tak begitu tahu cara untuk menenangkan perempuan, tetapi Fahri mencoba berkata apa adanya. Sayangnya, apa yang dia katakan malah membuat Cantika malah menangis semakin jadi.

"Keputusan gue udah benar, kan, Bang?" tanya Cantika di sela-sela tangisnya.

Fahri menghela napasnya panjang, kemudian mengeratkan pelukannya pada Cantika. Barangkali itu mampu membuat Cantika tenang, tapi pertanyaan Cantika tetap dijawab oleh Fahri yang merasa ada sesuatu yang tak beres dari pertanyaan Cantika.

"Bukan keputusan Cantika, emang udah seharusnya lo ngelepasin pak Afkari."

Cantika melepaskan pelukannya, kemudian mendongak menatap Fahri dengan mata sembabnya setelah habis menangis.

"Tapi udah benar, kan?" tanya Cantika memastikan bahwa keputusan yang dia ambil sesuatu yang benar.

Fahri tersenyum kecil, tangannya bergerak mengelus lembut rambut Cantika. Pria itu mengangguk pelan.

"Itu keharusan, karena dia bukan jodoh lo. Sekuat apapun lo melawan takdir, mau lo sampai titik darah penghabisan, kalau dia bukan jodoh lo, tetap gak akan bisa jadi jodoh lo. Jangan terlalu memaksakan kehendak," tutur Fahri.

Sontak itu membuat Cantika sadar bahwa segala sesuatu yang dipaksakan itu tak baik dan tentunya tak akan mendapatkan apapun darinya.

***

Hujan siang ini membuat Sava terpaksa mengurungkan niatnya untuk pulang, dia tertahan di ruang dosen. Gadis itu menengadah tangannya, menampung air hujan yang jatuh membasahi bumi. Rintik hujan yang deras, membuat Sava cukup kedinginan, apalagi dia yang hanya memakai kaos lengan pendek berkerah serta tok plisket panjang di bawah lutut.

Tiba-tiba saja ada jaket tersampir di kedua pundaknya, membuat Sava terkejut. Gadis itu menoleh, melihat ke belakang, lebih tepatnya pada orang yang sudah memakaikan dia jaket untuk menghangatkan tubuh.

"Dingin, kenapa masih bertahan di sini, sih?"

Sava mengerjap mata berkali-kali, tak percaya melihat keberadaan Afkari. Sava tak menyangka kalau Afkari sudah sembuh, padahal baru beberapa hari yang lalu dia mendapat kabar kalau pria itu tengah sakit dan dirawat di rumah sakit.

"Pak Afkari?" lirih Sava.

"Iya, saya. Kenapa? Kaget, ya?" balas Afkari seraya tersenyum kecil. Hampir sebulan mungkin tak melihat keberadaan Sava, pria itu merindukan Sava.

Gadis itu tak bisa menjawab pertanyaan Afkari, tetapi hanya menatap Afkari. Sava jadi teringat dengan Cantika kemarin yang datang ke rumahnya meminta maaf, dia tak mungkin masih marah pada Afkari sementara penyebab masalah mereka sudah meminta maaf padanya.

"Apa kabar?" tanya Afkari karena Sava sama sekali tak membalas pertanyaannya.

Dengan kaku, Sava mengangguk kaku, lalu berkata, "Saya mau ngomong sama Pak Afkari."

Tanpa berpikir apapun, Sava berkata seperti itu. Banyak hal yang Sava bicarakan dengan Afkari, salah satunya meminta maaf perihal masalah mereka kemarin. Ini saatnya mereka berdamai dengan segala hal yang sempat terjadi pada mereka, Sava juga tak ingin seterusnya seperti ini. Gadis itu sudah memikirkan semalam perihal masalah ini dan jalan satu-satunya adalah berdamai dengan Afkari dan masa lalu mereka.

Choice (END)Where stories live. Discover now