Dua Puluh Sembilan

19.1K 622 167
                                    

Sava mengangguk paham setelah Afkari menjelaskan padanya perihal teori yang perlu dimasukkan di tinjauan pustaka bab dua proposal skripsinya. Dia diberikan beberapa saran untuk mencantumkan apa saja di proposal skripsinya. Sekalipun Afkari sering memarahinya, Sava bersyukur memiliki dosen pembimbing seperti Afkari yang mau membimbingnya.

"Setelah semaunya selesai, saya akan ACC proposal kamu, dan kamu juga bisa mengurus surat-surat pergantian dosen pembimbing," kata Afkari tiba-tiba, membuat Sava yang mendengar itu seketika menghentikan jari jemarinya mengetik di keyboard.

Gadis itu mengalihkan perhatiannya pada Afkari, menatap dosen pembimbingnya dengan heran. Kenapa tiba-tiba berkata seperti itu?

"Maksudnya apa, sih, Pak? Pak Afkari gak mau saya jadi mahasiswi bimbingan Bapak karena saya kemarin buat masalah?"

Demi apapun, Sava tak mengerti dengan Afkari yang tiba-tiba menyuruhnya menyiapkan segala berkas permohonan ganti dosen pembimbing. Lagi pula, kalau dia mengganti dosen pembimbing, apa Afkari pikir itu mudah?

"Kamu bisa ganti saya sebagai dosen pembimbing kamu," ucap Afkari membuat Sava semakin heran.

Sadar kalau Sava tak akan mengerti, Afkari pun berkata, "Saya dengar kamu disuruh orang tua kamu untuk ganti dosen pembimbing. Kenapa Sava? Saya padahal tidak pernah nyakitin kamu, tapi kenapa mereka takut saya nyakitin kamu?"

"Pak Afkari jangan sok tahu, deh," balas Saba membuat Afkari terkekeh.

"Nyatanya orang tua kamu memang suruh kamu untuk jauhin saya, 'kan? Kamu gak perlu mengelak, Sava. Saya tahu itu. Padahal yang tersakiti di sini saya, tapi kenapa seolah-olah yang paling tersakiti di sini kamu? Kamu yang tiba-tiba membatalkan pernikahan kita," tutur Afkar panjang lebar.

"Pak, bisa kita berhenti bahas masa lalu? Saya gak nyaman," pinta Sava.

Jujur saja, sekali pun keduanya pernah menjalin hubungan bahkan pernah hampir menikah dan dosen fakultas Ilmu Hukum tahu hubungan mereka, Sava tetap tak nyaman apabila Afkari membahas masa lalu di tempat seperti ini. Yah, walaupun hanya ada beberapa dosen di ruang ini, juga tak ada dosen di samping kiri kanan meja Afkari.

"Kenapa? Takut saya tahu kalau alasan kamu batalin pernikahan kita karena papa kamu? Pasti papa kamu penyebab kita batal nikah," tuduh Afkari begitu saja. Jelas tuduhan itu membuat Sava marah, dia tak suka papanya dituduh begitu saja.

"Jangan asal menuduh, Pak," kata Sava marah, dia juga menatap Afkari tajam.

"Saya batalin pernikahan kita karena saya memang mau fokus kuliah dan mengejar karir," imbuh Sava. Mata gadis itu masih menatap Afkari tajam.

"Kalau memang bukan papa kamu penyebab kita batal menikah, kenapa alasan kamu gak masuk akal?" tanya Afkari membuat Sava tiba-tiba menunduk.

Memang alasan Sava membatalkan pernikahan mereka sama sekali tak masuk akal. Sebelum mereka keduanya juga sudah sepakat bahwa Sava akan tetap melanjutkan kuliahnya juga mengejar karirnya, lantas kenapa Sava membatalkan pernikahan mereka dan menjadikan fokus kuliah dan mengejar karir sebagai alasan? Bukankah itu tak masuk akal?

"Gak masuk akal gimana?"

"Kasih saya alasan yang tepat, Sava. Alasan kamu yang ingin fokus kuliah dan mengejar karir sama sekali gak masuk akal," kata Afkari menatap Sava tajam.

Sementara gadis yang ditatap menunduk tak berani menatap Afkari. Afkari sudah berbulan-bulan menahan amarahnya dan kini pria itu mencoba mengeluarkan semuanya.

"Sava," panggil Afkari agar Sava mau merespon perkataannya.

Sava menghela napasnya, lalu mendongak menatap Afkari.

"Apanya yang kurang jelas?—"

"Alasan kamu," potong Afkari.

Bagaimana bisa Sava mengatakan bahwasanya alasannya sudah jelas? Padahal jelas-jelas saat mereka tengah persiapan pernikahan, Sava dan Afkari sudah setuju kalau Sava akan tetap menyelesaikan studinya juga mengejar karirnya. Namun, di tengah-tengah mereka mempersiapkan pernikahan, Sava tiba-tiba meminta untuk membatalkan pernikahan dengan alasan ingin fokus kuliah dan mengejar karir.

"Alasannya udah jelas, gak ada lagi yang perlu dijelaskan."

Mata gadis itu berkaca-kaca, kalau dia semakin lama di sini, yang ada akan semakin kelepasan. Juga, tak sepantasnya mereka membahas masa lalu di lingkungan kampus, Afkari adalah dosen di sini, orang-orang akan berpikir sesuatu yang jelas pada Afkari. Bersyukur hanya ada beberapa dosen di sini dan terlihat tak peduli dengan kedua orang ini.

"Hari ini saya gak revisi dulu, Pak. Pak Afkari terlalu bersemangat bahasa masa lalu," pungkas Sava pamit pada Afkari.

Gadis itu merapikan buku-bukunya seraya menahan tangis agar tak pecah, dia kemudian meninggal Afkari yang terdiam karena sudah kelewatan batas hari ini. Seharusnya pria itu tak perlu membahas masa lalu sekarang juga, tak perlu membawa-bawa masa lalu di pekerjaan.

Ah, Afkari merasa bahwa dia akhir-akhir ini kurang professional.

***

Setelah dia keluar dari ruang dosen, Sava langsung ke perpustakaan dan memilih tempat paling pojok untuk menumpahkan segalanya. Dia juga berusaha menahan isakannya agar tak terdengar oleh orang-orang di perpustakaan. Tujuannya ke perpustakaan selain menumpahkan segalanya adalah untuk merevisi proposal skripsinya, lebih baik dia menjauh dari Afkar sejenak.

Gadis itu menarik napasnya panjang, lalu menghembuskan melalui mulutnya. Setelah dirasa tenang, Sava mulai membuka laptopnya, dia juga mengeluarkan buku referensinya dari tas, dan kembali memperbaiki proposal skripsinya.

Namun, baru juga satu kalimat yang Sava ketik, ponselnya bergetar, panggilan masuk dari Azka membuat Sava menghembuskan napasnya lelah. Dia padahal sudah mulai masuk ke dunia per-skripsian, tapi Azka malah mengganggunya.

"Apaan?"

Tanpa mengucapkan salam atau sapaan pada Azka, Sava langsung to the point. Dia hanya ingin memperjuangkan waktu saja.

"Di mana lo?" tanya Azka. Pria di seberang sana juga sepertinya tak ingin berbasa-basi.

"Di perpus, lagi revisi," jawab Sava.

"Otw."

Hah? Sambungan telepon tiba-tiba terputus, membuat Sava yang tadinya sedih kini jadi kesal pada Azka yang tak jelas. Meneleponnya hanya sekadar bertanya keberadaannya, kemudian mengatakan akan on the way. Mengganggu saja, dia masih berniat untuk melampiaskan kesedihannya dengan cara revisi, tapi Azka malah menelepon dan tak jelas.

"Kak Sava."

Belum lama tadi dia mendapatkan telepon dari Azka, kini orang yang mendengar suara pria yang tadi menelepon tengah memanggilnya.

"Gue tahu revisi lagi patah hati itu seru, tapi bisa gak sih, lo jujur aja sama bang Afka?"

"Hah? Aneh lo. Gak jelas."

"Lo yang gak jelas, kenapa lo masih aja sembunyikan alasan lo minta batalin pernikahan kalian? Ujung-ujungnya pas bang Afka mau tanya atau bahas masa lalu, lo galau," tutur Azka.

Sava tak membalas, tapi dia mendelik tajam pada Azka. Gadis itu yakin, Afkari pasti habida bercerita pada Azka, sangat dapat ditebak, apalagi saat Azka tiba-tiba datang membahasnya perihal hubungannya dan Afkari.

Karena Sava yang hanya diam, membuat Azka menggeram kesal. "Kak?"

"Anak kecil diam deh," kata Sava setelah sekian lama diam. "Lo gak tahu apa-apa, gue gak suka diurusin kayak gini."

Mendengar itu, Azka sadar kalau Sava memang tak ingin dia dan Afkari tahu alasannya untuk membatalkan pernikahan mereka. Alhasil, Azka memilih keluar dari perpustakaan tanpa pamit pada Sava, dia tentunya kesal pada mantan calon istri kakak sepupunya itu. Niatnya ingin membantu mereka kembali bersama malah tak dianggap apa-apa oleh Sava.

***

Aku update cepat hari ini🥳🥳

Kalian kesal sama Sava atau Afkari?

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Bye bye

Choice (END)Where stories live. Discover now