Tiga Belas

21K 765 6
                                    

Semua orang pasti merasakan malas bila hari Senin tiba, seperti Sava yang sama sekali tak beranjak dari duduknya, belum lagi cuaca yang begitu mendukung membuat Sava merasakan kantuk.

Kalau tak ingat dia sudah berjanji pada Afkari akan bimbingan hari Senin pagi, Sava tak akan ke kampus dan memilih untuk tidur sepuasnya. Gadis itu bahkan ke kampus sekitar pukul tujuh pagi, di mana  kampus masih cukup sepi.

Sava menguap lebar sampai matanya tertutup. Rasa kantuknya tak bisa ditahan. Harusnya Sava tak berjanji pada Afkari akan bimbingan pagi hari, siang atau sore lebih bagus. Kemarin Sava masih tak begitu menikmati hari liburnya karena harus menemani Nava jalan-jalan dengan Cantika.

"Kalau menguap itu, mulutnya ditutup."

Mulutnya ditutup dengan punggung tangan, bersamaan suara yang sangat Sava kenal. Seketika Sava membuka matanya, tetapi mulut gadis itu masih terbuka di balik punggung tangan Afkari yang menutup mulutnya.

"Kamu datang pagi banget, kenapa gak siang aja bimbingannya?" tanya Afkari. Pria itu menarik tangannya kala sadar kalau Sava kini sudah tak menguap.

"Saya janjinya pagi, 'kan, Pak?"

"Terlalu pagi ini, masih jam delapan. Saya gak bisa menerima mahasiswa bimbingan sepagi ini," balas Afkari.

Jelas saja hal itu membuat Sava melotot mendengarnya. Hei, Sava rela datang ke kampus pagi-pagi demi menepati janjinya pada Afkari untuk bimbingan saat pagi hari, bahkan dosen pembimbingnya itu juga mengatakan akan menunggunya bimbingan.

"Kamu bisa pulang atau tunggu siang saja."

What the hell?! Sava mengumpat dalam hati, segala macam nama hewan sudah dia sebutkan karena Afkari. Dia rela datang pagi untuk bimbingan, tapi Afkari malah menolaknya karena tak bisa menerima mahasiswa bimbingan sepagi ini.

Gadis itu ingin protes, tetapi tak berani saat mengingat kalau Afkari adalah dosen pembimbingnya, bisa saja nanti Afkari mempersulit dirinya. Contohnya seperti mahasiswa akhir tahun lalu yang mendapatkan dosen pembimbing wakil rektor, dipersulit karena banyak protes. Sava tak ingin berakhir seperti mahasiswa tahun lalu dan berujung dipersulit.

Kemarin-kemarin saja Afkari sudah mempersulit dirinya, masa sekarang dia cari masalah dan membuatnya kembali dipersulit. Sava tak bodoh.

"Ya udah, deh, Pak. Saya bimbingan siang aja," kata Sava pasrah.

Kalau tahu seperti ini, Sava tak akan datang pagi ke kampus, dia pasti sudah akan bergelung dengan selimut, mengingat cuaca mendung yang begitu mendukung. Sayangnya, dalam hati Sava tak berhenti mengumpat karena Afkari tak menerimanya bimbingan saat pagi, Sava sebenarnya tak terima, dia seperti dipermainkan.

Afkari melihat Sava yang menunduk langsung menghela napasnya. Niat pria itu menolak Sava bimbingan pagi biar Sava bisa tidur sejenak mungkin di kos teman-temannya, atau di sekretariat lembaganya, agar saat bimbingan nanti Sava dapat mendengarkan apa saja yang dia katakan.

Tapi sepertinya tak bisa saat dia melihat ekspresi kecewa Sava. Afkari memang lemah kalau itu berhubungan dengan Sava, hari Sabtu kemarin saat mendengar Sava belum makan saja dia langsung gerak cepat mengajak Sava makan.

"Ayo masuk."

Seketika Sava mendongak, dia menatap Afkari yang kini sudah memasukkan ruang dosen. Apakah Afkari mau menerimanya bimbingan?

Afkari berhenti sejenak, dia menoleh ke belakang menatap Sava. Pria itu berkata, "Saya kasih kamu waktu sepuluh detik untuk sampai di meja saya."

Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Afkari padanya, Sava berlari mengejar Afkari yang sudah sampai di mejanya. Kemudian Sava langsung mendudukkan dirinya tanpa dipersilakan.

"Saya mau bimbingan, Pak," ujad Sava.

"Saya tahu, kamu kalau ketemu saya cuma mau bimbingan."

Memang Sava setiap mau bertemu Afkari hanya mau bimbingan, mereka kalau bertemu selain bimbingan itu mungkin saja hanya kebetulan. Hal itu membuat Sava meringis, dia tahu Afkari pasti sadar kalau dia menghindar selama dua tahun mereka pisah, sangat mustahil tak bertemu atau sekadar tatap muka padahal mereka berdua berada di lingkungan yang sama.

Afkari kemudian menerima proposal skripsi yang Sava berikan padanya, mulai membaca bab satu proposal skripsi Sava. Pada bagian latar belakang, Afkari tak terlalu mengkoreksi, karena itu akan menjadi bagian dosen pembimbing satu yang mengoreksi tentang teori proposal skripsi Sava. Afkari hanya akan mengoreksi kaidah penulisan proposal skripsi Sava, terutama pada tanda baca yang mungkin saja salah penempatan.

"Ini tolong footnote di proposal fontnya diganti, ukurannya juga. Font Time News Roman dengan ukuran 10," koreksi Afkari.

Sava manggut-manggut mengerti, membuat Afkari menatap Sava tajam.

"Dicatat, bukan cuma diam," kata Afkari.

Gadis itu gelagapan, tangannya dengan cepat bergerak mengambil pulpen juga buku catatan yang sudah dia siapkan sejak semalam. Kemudian mulai mencatatkan apa saja yang Afkari katakan.

"Font pada penulisan bab itu empat belas, ya," lanjut Afkari lalu beralih pada lembar selanjutnya.

"Ini juga apa? Kok acak-acakan gini? Paragrafnya gak beraturan. Paragrafnya itu harus sejajar dengan judul bagian. Ini kalau yang lihat dosen penulis, mereka pasti bilang bikin sakit mata lihat proposal kamu."

Apa? Bukankah itu Afkari sendiri yang baru mengatakan? Namun Sava sadar, apapun yang dikatakan Afkari benar, dia tak begitu handal dalam masalah pengaturan paragraf di Microsoft Word.

"Kamu baca pedoman karya tulis ilmiah kampus gak sih?"

Sava menggaruk tengkuknya, pertanyaan Afkari barusan mengingat dia pada karya tulis ilmiah yang sama sekali tak pernah dia baca, padahal versi PDFnya ada.

"Dari reaksi kamu kayaknya belum pernah dibaca. Kalau kamu baca pedoman karya tulis ilmiah kampus, gak akan ada yang salah seperti ini," ucap Afkari kemudian menulis tanda silang besar pada salah satu halaman proposal skripsi Sava.

"Semaunya ini salah, Sava. Kamu perlu perbaiki lagi. Satu lagi, saya minta referensi buku, jurnal, atau skripsi. Saya tunggu. Bimbingan kali ini sampai di sini dulu, revisi jangan lama. Usahakan tiga hari lagi selesai," pungkas Afkari menutup proposal skripsi Sava dan mengembalikan pada si empunya.

Sava tersenyum paksa, menerima proposal skripsinya dengan pikiran yang mengingat bagaimana Afkari mencoret proposalnya. Setelah buku konsultasi skripsinya diisi dan ditandatangani oleh Afkari, Sava langsung pamit, dia gak ingin berlama-lama di sini yang hanya akan membuat kesal karena melihat wajah menyebalkan Afkari.

Sialnya, saat Sava keluar dari ruang dosen, hujan malah membuat dia tertahan di ruang dosen. Hujan tak begitu deras, tetapi mampu membuat Sava basah, belum lagi dia tak memakai tas anti air. Angin juga cukup kencang, membawa hujan hingga menerpa proposal skripsi Sava juga beberapa kertas penting yang masih di pelukannya.

Hujan juga membuat Sava kedinginan, apakah dia yang hanya memakai kaos berlengan seperempat. Bersyukur Sava memakai rok panjang juga memakai celana kulot panjang di dalamnya.

"Hujan bikin kamu kedinginan. Jaketnya dipake, nanti kamu sakit."

Hah? Kenapa Afkari suka sekali membuat dia terkejut? Yang paling membuat Sava terkejut yaitu Afkari yang memakaikan jaketnya di pundak Sava. Gawat ini kalau ada yang lihat.

"Pak, saya gak kedinginan," ucap Sava berbohong.

"Salah satu kelemahan kamu itu, gak bisa bohong. Dan salah satu kelebihan saya, saya tahu kalau kamu bohong."

Afkari tak menunggu Sava membalas perkataannya, dia langsung meninggalkan Sava di depan ruang dosen yang terperangah mendengar perkataan Afkari.

***

Yahoooo

Pada nungguin update Choice yah? Gimana sama pak dosen yang lagi bucin? Bergerak diam-diam biar gak ketahuan kalau bucin🤣

Btw, jangan lupa ikutan pre order novel Revisweet yah. Hanya sampai tanggal 17 aja, kalian bisa klik link di bio Instagram @huzaifahsshafia

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Bye bye

Choice (END)Where stories live. Discover now