Tiga Puluh Tujuh

21.9K 678 46
                                    

Baru saja Nava mengantar orang tuanya pergi ke pernikahan teman mereka, tiba-tiba saja mobil Jazz berhenti tepat di depan Nava, membuat pria itu mengernyit heran.

Kemudian kebingungan Nava terjawab kala pemilik mobil tersebut keluar. Seketika Nava menatap tajam pada pemilik mobil itu, yang tak lain adalah Afkari. Pria itu yang tak suka melihat keberadaan Afkari, langsung menutup pintu gerbang, membuat Afkari berlari menahan Nava agar tak menutup pintunya.

"Saya mau bicara sama Sava," ungkap Afkari membuat Nava berdecak kesal.

Untuk apa pria itu berbicara dengan kakaknya? Jujur saja, semenjak dia tahu kalau Cantika merupakan mantan kekasih Afkari, dia semakin tak suka dengan Afkari. Sayangnya, adiknya Sava itu tak bisa menghajar Afkari karena ingat bukan Afkari yang membuat kakaknya turut sakit hati.

"Gak bisa, kakak gue lagi sibuk skripsian," tolak Nava, dia juga berbohong perihal kakaknya yang sibuk, itu karena tak mau Afkari bertemu Sava.

"Mending lo pulang, deh," lanjut Nava mengusir Afkari.

"Saya mohon," pinta Afkari dengan nada memelas.

Nava yang mendengar itu, menggeleng pelan, masih menolak permohonan Afkari yang ingin bertemu dengan kakaknya.

"Mending pulang, deh. Kakak gue juga gak bakal mau ketemu sama lo," ucap Nava membuat Afkari seketika berlutut di depannya.

Mata pria itu melebar tak percaya saat melihat Afkari berlutut, Afkari malah merendahkan dirinya tepat di depan Nava hanya demi Sava. Tak seharusnya seperti ini, saking putus asa karena tak mampu menyelesaikan masalah ini, Afkari rela berlutut di depan Nava.

"Gila lo, ya?!" pekik Nava. Pria itu menarik Afkari agar berdiri, dia melihat bagaimana wajah Afkari yang terlihat begitu kelelahan, lingkaran matanya juga menghitam, tanda bahwa pria itu jarang tidur.

"Saya mohon," pinta Afkari lagi.

Nava yang mendengar permohonan Afkari, jelas tak kuasa menahan rasa kasihannya. Mungkin kalau dia berada di posisi Afkari, Nava bahkan akan melakukan apapun. Nava sadar sebesar apa cinta Afkari pada kakaknya, tetapi dia melakukan semua itu demi kakaknya tak sakit hati lagi.

Pria itu sebenarnya tak mau, tapi karena tak kuasa melihat wajah memelas Afkari serata mendengar permohonan putus asa dari Afkari, Nava pun mengizinkan, dia mengangguk pasrah. Sekalipun karena Nava terpaksa mengizinkan dia bertemu Sava, Afkari sudah sangat senang mendengarnya.

"Gue kasih waktu sepuluh menit," kata Nava.

Senyum Afkari mengembang, waktu tersebut mungkin sudah lebih dari cukup untuk berbicara dengan Sava.

"Tapi ngomong di sini dan gue bakal ngawasin kalian," ucap Nava berlalu dari hadapan Afkari.

Sementara Afkari, mengangguk senang. Walau hanya di sini, ini sudah lebih dari cukup. Afkari juga tak bisa memaksa Nava untuk membiarkannya dan Sava berbicara di tempat tertutup. Hal ini saja sudah bisa membuat Afkari bersyukur.

Tak sampai lima menit Nava masuk memanggil kakaknya, kini keduanya keluar dari rumah. Afkari yang melihat itu, menegakkan tubuhnya, dia berdeham pelan. Kala Sava menghampirinya, tubuh Afkari begitu tegang, tak berani bergerak, takut berbuat hal yang dapat menyakiti hati pujaan hatinya.

"Saya rasa, udah gak ada lagi yang perlu kita bahas. Pak Afkari udah tahu alasan saya minta batalkan pernikahan kita, 'kan?" kata Sava ketika dia sudah berada di depan Afkari.

"Sava, saya sama sekali gak bisa terima kamu batalkan pernikahan saya. Kenapa kamu gak cerita sama saya? Kalau kamu cerita, kita berdua gak akan menderita seperti ini," tutur Afkari.

Choice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang