Delapan Belas

18.9K 629 4
                                    

Hari ini Sava memilih mengistirahatkan tubuhnya, dia sedang tak ingin ke kampus untuk bimbingan dan nantinya berujung bertemu dengan Afkari. Pertengkaran mereka kemarin membuat Sava tak berani bertemu Afkari, dia takut Afkari kembali membahas masalah pernikahan mereka yang batal.

Sava menenggelamkan wajahnya di bantal lantaran pertengkarannya dengan Afkari kemarin terngiang-ngiang di benaknya.

Kemudian suara pintu kamarnya terdengar diketuk, membuat Sava menghela napasnya panjang. Harusnya dia ke rumah Cantika saja atau Adriana agar bisa tenang.  Di rumah sendiri ada Nava yang sudah beberapa kali keluar masuk kamarnya dengan alasan berbeda-beda, alhasil Sava mengunci pintu kamarnya.

"Kak, dipanggil papa, tuh."

Panggilan kakak dari Nava hanya akan didengar di waktu-waktu tertentu saja, contohnya seperti saat Nava jalan-jalan bersama Sava atau mungkin saat orang tua mereka berada di rumah.

Papa Sava hari ini tak ke kantor setelah pulang dari dinas di luar kota, jadi dia diberikan waktu untuk istirahat.

"Papa bilang jangan lama. Ditunggu di ruang tamu," lanjut Nava lagi membuat Sava menghembuskan napasnya panjang.

Gadis itu ingin mengistirahatkan pikirannya, tapi papanya memanggil. Sava mengambil cardigan yang diletakkan di meja belajar, memakainya, lalu keluar.

"Kenapa?" tanya Sava.

Nava mengangkat bahunya tanda tak tahu, yamg dia tahu, dia hanya disuruh memanggil kakaknya. Nava juga tak berani bertanya pada papanya, orang yang paling Nava takuti. Sava menghembuskan napasnya panjang, kapan dia bisa beristirahat? Pikirannya tengah kacau saat ini.

Sava melangkah menuju ruang tamu yang memang tak jauh dari kamarnya. Sesampainya di ruang tamu, Sava mendapat papanya tengah duduk seraya membaca majalah, ada mamanya juga yang menonton film. Biasanya, kalau kedua orang tuanya duduk bersama di ruang tamu dan memanggil salah satu dari mereka, maka mereka akan mendapatkan nasehat.

"Kenapa, Pa?" tanya Sava kala dia sudah berada di samping papanya.

Andre mendongak, menatap anaknya sejenak, lalu menyuruh Sava duduk. Pria paruh baya itu berdeham pelan, dia menyimpan majalahnya, setelah itu menatap Sava.

"Mama cerita kalau Afkari jadi dosen pembimbing kamu, benar?"

Sava seketika melihat pada mamanya, apa saja yang sudah diceritakan mamanya? Apa mamanya juga bercerita kalau dia pernah pulang diantar Afkari? Kedua orang tuanya tahu mengenai alasan Sava membatalkan pernikahannya dengan Afkari, mereka tak melarang, bahkan mendukung karena tak mau anak perempuan mereka sakit hati.

"Iya. Tapi kami berdua ketemu cuma pas bimbingan aja, Pa," jawab Sava disertai dengan penjelasan yang tentunya berbohong. Gadis itu tak mungkin menceritakan pada kedua orang tuanya perihal Afkari yang sering meminta kembali serta perihal pertengkaran mereka kemarin.

"Papa gak tanya hal seperti itu, Sava. Hanya saja, Papa takut kamu sakit hati lagi," balas Andre.

Sementara Rafika di samping Andre mengelus lembut pundaknya. Mamanya Sava itu tahu kalau suaminya tengah menahan emosi, kemarin saat dia memberitahu siapa pembimbing skripsi Sava, dia sudah marah. Andre hanya mau anaknya bahagia.

"Jadi, bisa kamu cari alasan biar bisa ganti pembimbing skripsi? Papa sudah tanya teman Papa yang dosen, dia bilang ganti pembimbing skripsi itu bisa."

Sava menatap papanya. Selama ini, Sava sama sekali tak terbesit untuk mengganti dosen pembimbing skripsi sekalipun itu Afkari, Afkari juga profesional dan tak melibatkan masalah pribadi ke pekerjaan. Kenapa harus ganti dosen pembimbing? Kalau pun orang tuanya khawatir dia kembali merasakan sakit hati, itu semua tak akan terjadi karena dia dan Afkari sudah tak bersama. Orang yang membuatnya sakit hati ingin dia dan Afkari berpisah, toh dia dan Afkari sekarang sudah tak memiliki hubungan apapun.

"Pa, aku udah jauh banget bimbingan, selangkah lagi bakal di-ACC. Gak mungkin aku minta ganti dosen pembimbing. Pak Afkari juga gak pernah bahas masalah itu, dia juga tahu sama pekerjaannya," jelas Sava.

"Tapi tidak menutup kemungkinan kamu—"

"Papa jangan takut, kalau nanti pak Afkari nyakitin aku, aku bakal langsung ganti dosen pembimbing," potong Sava sebelum papanya berbicara lebih.

Bukan maksud membela Afkari, hanya saja mengganti dosen pembimbing itu urusan yang panjang. Selama dia bimbingan, Afkari mengoreksi proposal skripsinya dengan baik, dia dimarahi karena kesalahannya sendiri.

***

Sava tersenyum seraya menggigit ke kantor bibir bawahnya dan menatap Nava terharu. Sementara orang yang ditatap hanya mengangkat sebelah alisnya, kemudian meminum air putih yang baru saja dia tuang di gelas.

Namun, bukannya menjawab keheranan Nava, Sava malah langsung meloncat memeluk adiknya yang memang diam-diam perhatian padanya, bersyukurnya Nava baru saja selesai minum. Adiknya Sava ini memang sangat perhatian, bahkan kadang kala tanpa Sava sadari, Nava selalu memberikan dia perhatian. Ah, Sava menyayangi adiknya ini.

"Apaan sih, Kak?" Pria itu mendorong pelan kakaknya agar menjauh, dia agak risih dipeluk Sava bahkan pipinya dikecup berkali-kali.

"Kak, Cantika lagi nungguin lo di ruang tamu," ucap Nava berharap Sava berhenti.

Sayangnya, Sava malah semakin mengeratkan pelukannya dan berkata, "Makasih banyak, Nava. Lo emang adik gue."

Mendengar itu, Nava memutar bola matanya malas. Dia sengaja mengajak Cantika ke rumah agar bisa menjadi teman Sava bercerita, adiknya Sava itu tahu kalau Cantika satu-satunya orang yang membuat Sava bisa terbuka.

"Mending lo bawain minumannya, kasihan Cantika udah nungguin," kata Nava dan langsung diangguki Sava.

Dengan perasaan bahagia, Sava mengambil nampan berisi dua gelas teh hangat untuknya dan Cantika mengobrol. Kala dia sampai di ruang tamu, Sava mendapat Cantika tengah sibuk dengan ponselnya.

"Minum dulu, Ka."

Cantika seketika mendongak, menatap Sava sejenak lalu mematikan ponselnya dan menyimpan di meja. Selanjutnya, gadis itu meminum teh yang Sava buatkan untuknya, tak lupa juga dia mencicipi cookies di toples atas meja.

"Lo kenapa lagi? Pak Afkari lagi?" tanya Cantika kala dia baru saja selesai meminum teh.

Sava menghela napasnya, lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. Sava berkata, "Nyokap cerita sama bokap kalau pak Afkari dosen pembimbing gue."

Cantika diam, dia tak berniat memotong perkataannya Sava. Dia yakin, Sava pasti mau bercerita. Hal seperti ini sudah sering Cantika alami, apabila Sava bercerita, dia tak mau memotong, berharap dia bisa menjadi pendengar yang baik bagi Sava.

"Terus nyokap suruh ganti dosen pembimbing," lanjut Sava.

"Ya tinggal ganti aja, 'kan? Kenapa harus dipikirin?"

"Tapi gak segampang itu, Ka," balas Sava.

"Lo kayak belum move on aja dari pak Afkari. Masih ada rasa lo?"

Sava menggeleng, jelas saja dia sudah melupakan mantan calon suaminya itu. Mereka pisah sudah dua tahun lamanya, mana mungkin Sava belum bisa melupakan Afkari.

"Bukan gitu, Ka. Maksud gue, alasan apa yang buat gue ganti dosen pembimbing? Setiap gue chat mau bimbingan pak Afkari selalu balas, gue lambat datang bimbingan kadang ditungguin, kalau ada yang salah gue selalu dikoreksi dengan baik. Di mana lagi gue bisa dapat dosen pembimbing seperti pak Afkari yang teliti? Gue dimarahin itu salah gue sendiri juga, 'kan?" tutur Sava membuat Cantika manggut-manggut mengerti.

Benar apa yang dikatakan Sava, dia sudah pernah menemani Sava bimbingan dan mendapat Afkari tengah menunggu Sava bimbingan. Tak pernah Cantika melihat dosen pembimbing seperti Afkari. Andai Afkari yang menjadi dosen pembimbingnya, Cantika pasti bahagia.

***

Yahoooo

Aku update lagiiiii

Sebenarnya selesai dari tadi siang, cuma aku sibuk di kantor jadi kelupaan update 😅

Gimana pendapat kalian tentang part ini?

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Bye bye

Choice (END)Where stories live. Discover now