Tiga Puluh Enam

21.7K 729 30
                                    

Biasanya, setiap pagi keluarga Nolan akan menyempatkan sarapan bersama sekalipun mereka sibuk. Namun berbeda dengan pagi ini, meja makan terlihat kosong, bahkan tak ada satu pun menu makanan di atasnya.

Bella sepertinya tak memasak untuk mereka sarapan pagi ini, asisten rumah tangga pun juga tak membuat sarapan. Mungkin ini atas perintah dari Bella. Nolan sangat mengenal tabiat istrinya, tak akan memasak bahkan melarang asisten rumah tangga untuk memasak di saat mereka tengah bertengkar. Seperti saat ini, tak ada apapun yang dimakan untuk sarapan.

Nolan menghela napasnya, apa yang dia lakukan salah? Pria paruh baya itu melakukan semuanya demi Afkari, dia ingin Afkari bahagia.

Kalau seperti ini, Nolan jadi tak nafsu untuk makan, dia juga tak bersemangat untuk ke kantor. Pertengkaran mereka semalam membuat Nolan sama sekali tak melihat anak dan istrinya. Afkari langsung ke kamarnya, sementara istrinya langsung ke kamar tamu yang berada di lantai dua.

Nolan merasa dia hanya seorang diri di rumah ini. Mau tak mau, pria paruh baya itu memilih menyiapkan bekal sendiri, setidaknya ada yang mengganjal perutnya.

Kala Nolan akan mengambil roti di kulkas, dia mendengar suara langkah kaki. Kemudian menoleh melihat orang yang memasuki dapur. Di sana, di pintu masuk ke dapur, Nolan melihat Bella dengan mata sembabnya, yang kini menatapnya datar.

"Saya lapar, apa bisa dibuatkan sarapan?" tanya Nolan hati-hati.

"Kenapa bukan suruh calon menantu kesayangan kamu aja?" tanya Bella sarkas.

Nolan yang mendengar itu, menghela napasnya panjang. Nyatanya, amarah sang istri masih juga belum reda.

Bella melirik tajam pada suaminya, kemudian melangkah menuju kulkas yang kebetulan berada di samping Nolan. Wanita itu mengambil sosis, wortel, bawang bombai, kacang polong, dan juga brokoli dari kulkas.

"Nasi goreng aja," kata Bella. Sekalipun dia tengah marah pada suaminya, dia tetap patuh dan melayani Nolan.

Nolan menggaruk tengkuknya, dia bersiap untuk protes, tapi Bella sudah lebih dulu menyelanya.

"Kalau gak mau, kamu gak perlu makan. Ini aku masakin buat anakku."

Nolan kembali menghela napasnya panjang, kemudian mengangguk lemah. Pria paruh baya itu sebenarnya tak begitu suka dengan nasi goreng, dia lebih memilih makan nasi putih yang dicampur garam daripada harus makan nasi goreng. Menurutnya berminyak dan rasanya aneh.

"Kali ini, biarkan Afkari memilih jalan hidupnya sendiri," ucap Bella seraya mencuci sayur-sayur yang tadi dia ambil di kulkas.

Hal itu sontak membuat Nolan mendongak, menatap Bella dengan kening mengernyit. Harusnya Bella sadar, segala sesuatu yang dia lakukan pada Afkari itu, semua demi kebaikan Afkari, demi kebahagiaan Afkari.

"Bukannya kamu mau anak kita bahagia? Kamu juga gak suka sama Sava, 'kan?" tanya Nolan.

Bella menghentikan gerakan tangannya yang tadi mencuci sayuran. Kemudian meletakkan sayuran tersebut di wastafel.

"Dulu mungkin, tapi setelah tahu kalau kamu udah buat Afkari dan Sava menderita, aku jadi merasa bersalah pada Sava. Selain kamu yang udah nyakitin Afkari dan Sava, aku juga turut andil nyakitin Sava. Setelah ini, aku akan temuin mereka untuk minta maaf," tutur Bella.

Setelah dia mengetahui penyebab anaknya menderita, penyebab anaknya batal menikah, dia jadi merasa bersalah pada Sava. Awal Sava dikenalkan Afkari pada mereka, Bella juga tak menyukainya, tapi dia mencoba menerima keberadaan Sava di hidup Afkari. Namun, ketika Sava membatalkan pernikahan mereka, Bella malah semakin membenci Sava karena sudah menyakiti anaknya. Ternyata, orang yang menyakiti anaknya sendiri adalah Nolan—suaminya.

***

Hari ini, Sava berniat untuk bimbingan pada dosen pembimbing satu. Proposal skripsinya sudah lama terbengkalai, sementara sebentar lagi dia akan memasuki semester delapan. Sava bertekad, sebelum kuliah umum semester genap nanti, proposal skripsinya sudah harus di-ACC.

Ponsel gadis itu berbunyi, tanda pesan masuk. Sava melihat lock screen ponselnya, terdapat satu pesan masuk dari dosen pembimbingnya.

Sava
Assalamualaikum, Pak. Saya Sava Orlin mahasiswi bimbingan Bapak jurusan Hukum. Maaf mengganggu, Pak. Apakah hari ini saya bisa bimbingan.

Dospem 1 Pak Pangeran
Ya kamu, kalau mau bimbingan tinggal datang ke ruang dosen. Memangnya harus tanya saya di mana dulu? Kalau saya gak ada, skripsi kamu bisa simpan di meja saya. Balas WA kamu itu saya gak digaji, jangan nambah kerjaan.

Sava meringis pelan membaca pesan balasan dari pak Pangeran. Gadis itu tak tahu kalau dosen pembimbing satunya ini lebih galak dari Afkari. Mungkin saja karena dosen ini sudah tua. Sava kini mengetahui bagaimana wajah pak Pangeran, dia mengikuti saran Fahri untuk mencari gambar dosen pembimbingnya itu di Google. Benar saja, Sava kini mengetahui wajah dosen itu melalui saran Fahri.

Setelah membaca pesan pak Pangeran yang begitu mengena di hatinya, Sava langsung bangkit dari duduknya, melangkah menuju ruang dosen. Ah, ruang dosen? Ruangan ini selalu Sava hindari, dia sedang tak ingin bertemu dengan Afkari. Sayangnya, itu semua tak bisa karena dia harus ke ruang dosen lagi untuk bimbingan pada dosen pembimbing satu.

Mata gadis itu celingak-celinguk mencari dosen pembimbing satunya, dia juga melangkah pelan, barangkali dosennya itu ada di bilik dosen yang lain. Namun, sekitar tiga menit mencari keberadaan dosen pembimbing satunya, Sava sama sekali tak menemukan batang hidungnya.

"Cari siapa?"

Gadis itu terlonjak kaget mendengar suara yang tiba-tiba terdengar di belakangnya, dia menoleh dan mendapati Afkari dengan pipi lebamnya. Selain itu, Sava juga lingkaran mata Afkari yang menghitam, tanda pria itu kurang tidur.

"Pak Pangeran, Pak," jawab Sava pelan. Dia agak tak enak hati pada Afkari setelah bertengkar hari itu, bahkan Afkari masih baik padanya.

"Pak Pangeran tadi keluar, beliau ke rektorat," jawab Afkari lembut. Pria itu masih setia menatap Sava.

"Boleh tahu mejanya di mana, Pak?"

Afkari tersenyum kecil, kemudian menunjuk meja yang tempat tepat di depan meja Afkari.

Sava yang melihat Afkari menunjuk meja itu, seketika mengumpat dalam hati. Kesialan apa lagi ini? Kenapa jadi seperti ini? Apa dia tak bisa tenang untuk tak bertemu Afkari?

"Setelah ini, bisa kita bicara?"

Sava yang baru saja berniat untuk melangkah menuju meja pak Pangeran, mengurungkan niatnya kala mendengar pertanyaan Afkari. Berbicara apa lagi? Sava sudah muak harus membahas perihal pernikahan mereka yang batal, dia ingin tenang, dan ingin berhenti membahas masalah ini. Sudah dua tahun berlalu, harusnya Afkari juga sudah melupakannya.

"Gak bisa, Pak. Saya sibuk."

"Hanya sebentar, Sava. Ada banyak hal yang mau saya tanyakan," mohon Afkar.

Ada banyak yang ingin dia tanya, perihal Sava menyembunyikan alasan sebenarnya. Dia hanya ingin mengetahui semuanya, Afkari ingin memperbaiki hati Sava yang luka karena ayahnya dan Cantika.

"Maaf, Pak. Tetap gak bisa. Permisi," tolak Sava seraya pamit.

Gadis itu buru-buru meletakkan proposalnya di meja pak Pangeran, kemudian keluar dari ruang dosen. Dia harus secepatnya menjauh dari Afkari.

***

Hayoooo

Siapa yang nungguin update Choice?

Kira-kira cowok kayak Afkari ada gak yah?

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Bye bye

Choice (END)Where stories live. Discover now