Fight 5

5 1 0
                                    

Tiba-tiba mendung tebal berarak turun bagaikan awan wedhus gembel yang keluar dari kawah gunung berapi. Kilat petir bertubi-tubi mencabik-cabik tanaman sulur yang melekat pada tubuh Birawa. Hingga berjingkat-jingkat merasakan tersengat tegangan 100 volt. Satwa sadengan tercerai berai. Takut gelegar petir menyambar tiada henti dan hawa panas yang ditimbulkan seakan memburunya. Tenaga Birawa semakin terkuras. Berjuang menghindar ke sana ke mari. Padang rumput Sadengan semakin gelap tertutup awan. Kontras dengan sisi Timur masih terlihat cerah.

"Ini bukan awan biasa. Pasti ada sesosok makhluk di dalam sana," pikirnya dalam hati. Tanaman sulur dengan cepat meregenerasi menutup tubuhnya.

Menengadah mengamati bentuk awan berarak berubah-ubah pertanda akan terjadi hujan lebat disertai badai. Angin berhembus kencang mengombang- ambingkan padang rumput hingga rebah. Muncul ekor pusaran tornado turun meluncur kencang terdengar menderu. Bagai roller couster menghantam tubuh Birawa.

"Bouuuk...!"

"Ahh...!" erangnya terasa panas.

Tubuh terdorong 20 m hingga terjungkal salto ke belakang tak kuat menahan. Menjejakkan kaki di atas tanah, bersama lenyapnya pusaran.

"Dada terasa ampek." Setengah berlutut tangan kiri menyentuh dada menahan sakit.

Menatap tajam gumpalan awan bergerak perlahan membentuk formasinya. Dengan geram jemari tangan kanannya mencengkeram rumput hingga tercabut. Gumpalan awan mulai tersingkap guratan garis merah membara makin melebar seperti hendak memuntahkan lelehan lahar panas dari kawah gunung berapi. Petir bertubi-tubi menyambar disertai suara menggelegar. Siapapun memandangnya saja takut dan terbirit-birit. Tapi tidak demikian dengan Birawa. Tengadah menatap, mulai mengerahkan ajian pamungkas.

"Terimalah ajian pamungkasku. Sur... ya...! Ma... ja...! pa... hit!" teriaknya lantang. Membusungkan dada mengarah ke sasaran tembak awan wedhus gembel.

Sinar putih kebiruan melesat bagai lampu halogen keluar dari relief Surya Majapahit di dadanya. Makin jauh diameter makin lebar menerjang awan hitam wedhus gembel hingga hilang lenyap. Menyisakan bongkahan batu asteroid merah membara jatuh menghantam bumi di tengah-tengah padang rumput Sadengan.

"Bouuumm...!" Menggelegar bagaikan ledakan bom daya ledak tinggi.

Membentuk kubah warna biru muda trasparan sebesar Obsevatorium Bosscha Bandung. Selimut kubah berenergi maha dahsyat tampak kilat akar serabut merah menyambar tiada henti di dalam kubah.

"Oh, jagad Dewa Batara. Fenomena apa lagi yang akan terjadi!" Menancapkan keris di atas tanah, berusaha menjaga keseimbangan menyaksikan dari jarak jauh.

Sosok reptilian raksasa hijau keabuan mulai mengibaskan ekor komodonya yang panjang. Dari mulut keluar suara menggeram menggema menyerap energi selimut kubah maha dahsyat masuk ke dalam mulut menganga merah menyala, hingga selimut kubah hilang lenyap. Tampak tubuh reptilian diselimuti debu kosmik berkelip.

"Makhluk apa kau sebenarnya. Mungkinkah makhluk asteroid dari luar angkasa yang ingin menguasai bumi ini?" pikir Birawa masih mengamati dari jarak jauh.

"Huaaa... hahahahahahahahaaa....!" tawanya. Menggema bikin bulu kuduk berdiri.

Otot tubuhnya menonjol merah menyala bagai akar menjalar. Dengan sorot mata merah membara bak lidah api. Tiba-tiba mengibaskan ekor komodonya menghantam bumi,

"Jelegarrr...!" Mengelegar menggema seantero padang rumput Sadengan. Tanda unjuk kekuatan.

Menengadah ke langit sambil merentangkan kedua tangan mengepal ke bawah. Seakan meminta restu pada penguasa langit. Birawa melompat ke belakang menjaga jarak aman. Reptilian tersenyum sinis melihat tingkah lawannya gentar, sedikit terhuyung menjaga keseimbangan. Tiba-tiba dari matanya melesat sinar laser merah memburu mangsanya. Jungkir balik Birawa menghindari terjangan hingga membakar semak belukar. Reptilian semakin membabi buta. Tiba-tiba dalam sekejap mata, tubuh reptilian berada tepat di hadapan Birawa melayangkan tinjunya.

Nusantara bangkitlahWhere stories live. Discover now