Mencari

9 1 0
                                    

Arus kendaraan 2 jalur di perbatasan Malang Blitar ramai lancar di panas terik. Tampak Arya mengemudikan mobil sedan dengan ditemani istrinya asyik dalam obrolan mulai merasa gerah. Sedang kedua buah hatinya duduk tenang di belakang.

"Kalau mengingat masa kuliah dulu, mungkin Mas ingat siapa teman kita di awal semester sering bertanya dan selalu menjawab pertanyaan dosen dengan benar? Hingga dosen killer kita menyanjungnya," ucap Keyna menanyakan hal lain. Mencoba mengungkit kenangan masa lalu dengan duduk bersandar. Sekilas melihat si kecil dipangkuan tertidur pulas dalam dekapan. Tertutup selimut terhindar dari sengatan sinar matahari masuk dari kaca depan mobil.

"Tahu. Edo, kan...? Kenapa dia?" Melempar senyum pada istrinya di samping. Kembali fokus mengemudi, jauh meninggalkan perbatasan Malang menuju Blitar.

"Kasihan. Gara gara putus dengan kekasih, kuliahnya jadi berantakan. Tapi aku salut! Dia bangkit melanjutkan ketertinggalan selama 2 semester. Sempat sih aku mengagumi. Tapi waktu itu dia sudah punya kekasih. Tampilannya modis dan trendi, banyak cewek menyukainya. Berbeda jauh dengan teman satu ini. Tampangnya cool dan kuper buaaanget! Awalnya aku cuek tidak begitu respek. E... gak tahunya, tepatnya semester 6 berbalik 180°."

"Nyindir, nih?" potong Arya tersenyum kecut.

Memutar setir kemudi belok kiri memasuki jalan desa. Tiada henti bergurau mengenang masa-masa indah mereka. Pembicaraan terputus mendengar tangis si kecil minta dot susu.

"Gendis, tolong ambilkan dot susu adik di dalam tas!" pinta Keyna ibunya menoleh ke belakang.

"Ini Ma, dot susu adik." Menyerahkan dot susu pada mamanya yang duduk di depan.

Menyusuri jalan makadam, tubuh mereka diombang ambingkan jalan tak rata. Keyna membuka jendela pintu mobil. Mengibaskan rambut, memberi kenyamanan si kecil dalam pangkuan.

"Mas tahu, alamat rumahnya?"

"Dulu pernah sekali ke rumah Birawa dan titip pesan pada tetangga di sana, kalau Birawa masih dalam perawatan di RSUD Malang. Untuk disampaikan ke kerabat terdekat. Kurang lebih 7 tahun yang lalu. Untungnya kondisi desa dan jalan tidak banyak berubah. Yang aku ingat nama anak itu Birawa dan rumahnya terletak menghadap sungai dekat dam (bendungan kecil untuk membagi irigasi sawah) tidak jauh dari perempatan jalan desa. Rumah berdinding anyaman bambu, ukurannya kurang lebih 5 m x 5 m." Fokus memperhatikan jalan dan rumah-rumah warga di samping kiri dan kanan jalan.

Di depan terlihat perempatan jalan dan di sebelah kanan tampak bangunan irigasi. Arya mulai ingat, memperlambat laju mobil sedannya.

"Kelihatannya di depan itu perempatan jalan. Dan..., di sebelah kanan ada bendungan kecil (dam). Tak salah lagi, Ma! Rumah Birawa disekitar sini. Coba aku tanyakan!" Menghentikan mobil ke sisi kiri jalan.

"Hari ini panasnya menyengat sekali ya, Mas? Apa nanti malam hujan?" Berdiri menggendong si kecil dipinggir jalan, merasakan teriknya matahari.

"Mungkin saja, Ma." Menggandeng Gendis disamping tak jadi menyeberang. Melihat seorang pemuda mengayuh sepeda hendak melintas.

"Mas... Mas... numpang tanya?" Arya menghentikannya minta tolong.

"Numpang tanya! Di mana ya, rumah Birawa?"

"Birawa yang mana ya, Pak?" Mengerutkan dahi mencoba mengingat.

"7 tahun lalu Bapak pernah ke sini hanya sekali. Letak rumahnya persis seperti yang ada di depan itu. Saya dokter Arya yang merawat pasien Birawa."

"Ooo..., Birawa? Memang benar. Dulu masa kecilnya tinggal di situ. Kenalkan nama saya Agung. Bagaimana kondisinya sekarang, Pak?"

"Baik. Cuma masih belum bisa mengingat siapa dirinya dan keluarganya," jawab Arya berbohong.

"Kabur ke mana dia, ya!" gumamnya dalam hati. Menatap istrinya seakan menemukan jalan buntu.

"Apa dia masih punya saudara, mungkin dari ibu atau bapaknya?" Keyna mengharap dapat informasi walaupun sedikit.

"Setahu saya, Birawa tidak punya saudara lagi. Mungkin orang tua saya bisa memberi informasi lebih banyak. Mari ke rumah saya, tidak jauh dari sini."

Agung lebih dulu mengayuh sepeda, disusul mobil hitam metalik jauh di belakang.

"Monggo, Pak, Bu." Agung mengantar tamunya melewati teras dengan plur semen yang cukup luas, tersebar gabah di jemur sebelum mencapai pintu rumah.

Keyna memandu tangan kanan si bungsu digendongan untuk jabat tangan.

"Ayo, salim sama nenek!" Mengajak si bungsu mendekat. tapi tubuhnya berontak takut pada orang yang belum dia kenal.

"Bocah ganteng, namanya siapa?" tanya wanita paruh baya ibunya Agung dengan lembut.

"Galih nek!" jawab Keyna.

Dengan cepat Galih kecil memberanikan diri menjulurkan tangan kanannya.

"Ooo, pintar! Dan gadis cantik namamu siapa?"

"Gendis nek!" jawab si sulung.

"Mari masuk. Ya..., seperti ini gubug kami."

Wajah berkerut sebagian rambutnya beruban, bercerita cukup lama dihadapan Keyna. Sementara suaminya tetap duduk di kursi teras depan menikmati semilirnya angin, sesekali merasakan nikmatnya hisapan rokok klobot.

"Bapak saya menyukai lukisan karya Birawa. Ada 4 lukisan yang kami punya." Agung menunjukan salah satu lukisan di dinding.

"Birawa sudah bisa melukis sebagus ini? Hebat! Masih kecil bakatnya luar biasa," celetuk Arya kagum, perlahan mendekat.

"Ini lukisan pemandangan tampak asri dan yang itu lukisan candi. Saya tidak tahu candi apa namanya," tunjuk Agung.

Setapak demi setapak mengitari dinding ruangan. Dipojok tertata karung-karung besar berisi gabah kering dan sebagian masih dalam gundukan. Menandakan orang tua Agung seorang pemilik lahan sawah luas.

"Kalau lukisan satu ini banyak dicari kolektor. Lukisan Maha patih Gajah Mada. Dilihat tampak hidup. Goresan kuas lekuk tubuh yang kekar, leher kokoh, wajah garang, tegas, sorot mata penakluk nan tajam dan aura wibawa terpancar diwajahnya. Sedangkan lukisan seorang raja yang duduk di singgasana dimiliki Bapak Lurah. Lukisannya bagus, dilihat tampak hidup. Gagah berwibawa. Itulah hebatnya Birawa. Dan satu lagi lukisan, tapi ada di kamar Ibu saya."

"Ukuran lukisannya besar-besar, ya!" Melangkah menuju ruang tamu kembali.

"Iya Pak. Memang hampir seluruh lukisan Birawa besar-besar."

Baik Arya maupun Keyna merasa cukup mendapat banyak informasi mengenai Birawa. Mohon pamit kepada kedua orang tua Agung.

"Terima kasih, Mas Agung. Ibu, kami berterima kasih sekali atas semua informasi yang kami dapat," ucap Keyna pamit. Arya tak melihat suami sang tuan rumah duduk di teras. Hanya sisa puntung rokok klobot di asbak.

"Permisi!" ucap Keyna sekali lagi melangkah pergi.

Arya menggandeng Gendis, sedang Galih digendongan ibunya masuk mobil. Melaju meninggalkan desa.

"Mas! Banyak hal yang aku dapat mengenai kehidupan Birawa dan keluarganya. Pribadi kedua orang tuanya baik, santun dan tutur bahasanya halus. Kalau Birawa sendiri seperti anak kebanyakan. Tapi tidak terlalu nakal. Dia pandai melukis. Karya lukisnya selalu laku terjual. Bisa membantu ibunya mencukupi kehidupan sehari-hari. Tadi sempat menunjukkan foto suaminya dikala masih muda sedang berdua dengan pamannya Birawa. Saudara kandung bapaknya satu-satunya. Dulu tinggal di desa ini, karena ada program trasmigrasi dia ikut transmigrasi. Sudah bertahun-tahun di tempat rantau, sampai sekarang tidak ada kabarnya sama sekali. Orang tuanya sudah tidak punya saudara lagi. Waktu aku tanya bagaimana dengan saudara kandung dari ibunya? Dia menjawab tidak pernah tahu."

"Wow..., luar biasa. Tapi..., lega rasanya. Setidaknya mendapat informasi tambahan yang tidak kita ketahui sebelumnya." Arya puas meski tak menemukan Birawa.

***

Nusantara bangkitlahWhere stories live. Discover now