Mendaki gunung Arjuno

5 1 0
                                    

"Katuranggan, lihat di sana. Gunung Arjuno." Tengadah melihat sinar matahari sudah condong ke Barat di celah-celah rimbunnya pepohonan sambil menggenggam kerisnya.

Katuranggan diam bertengger di pundak kiri seakan nyaman dalam gendongan. Berjalan menerabas di rindangnya pepohonan, jauh meninggalkan bumi perkemahan Kakek Bodo.

"Kali ini kita harus sampai ke lembah Kidang sebelum tengah malam. Supaya bisa pasang tenda dan istirahat cukup di sana. Besok paginya kita melanjutkan perjalanan," ucapnya sekali lagi. Katuranggan seakan tak bersemangat berkotek. Tapi, tiba-tiba melesat terbang jauh tak sabar untuk sampai walau masih jauh.

Sekali kaki mengayun, tubuh Birawa melesat menyusul. Menyusuri jalan berbatu dengan medan makin menanjak dan menantang. Kakinya bagai pegas melompat dan terus melompat mengejar. Sementara Katuranggan tidak seperti ayam biasa. Bagai mata burung hantu, melihat dengan jelas di gelapnya malam.

"Jauh di depan kelihatannya Pos 3 Pondokan," ucapnya. Sudah berada di samping Katuranggan, mulai memperlambat lari. Tapi kelebat Katuranggan mendahului saat sampai Pos 3 Pondokan.

"Eh... curang kau, ya ?" teriaknya memecah keheningan malam.

Katuranggan tak sabar untuk sampai lembah kidang lebih dulu. Birawa terlanjur berhenti di dekat rumah-rumah kecil, mencium bau belerang. Yaitu gubug-gubug tempat menyimpan belerang yang nantinya di angkut mobil jeep terbuka untuk di bawa turun.

Mengedarkan pandangan mengamati sekitar. Sempat membaca papan nama petunjuk arah bercat biru, tertulis Puncak Arjuno bercat putih. Hanya dengan sekali hentakan, melesat mengejar Katuranggan. Mengharuskannya mlipir (lewat pinggir) bukit mendahului Katuranggan sebelum memasuki lembah Kidang. Terlihat kepakan sayapnya hitam legam memantulkan kilau warna-warni di gelapnya malam bertabur bintang. Dan hinggap di pundak kiri tuannya. Berdiri menatap lembah sambil menghembuskan udara lewat mulutnya.

"Malam ini kita istirahat di sana. Itulah lembah Kidang." Telunjuknya memperjelas arah yang dituju. Mengusapkan kepala 3 kali ke tubuh Katuranggan yang bertengger di pundak kirinya.

"Besok pagi kita lanjutkan perjalanan." Katuranggan sudah lebih dulu terbang ke arah rapatnya pohon pinus.

Berkat ilmu meringankan tubuh, Birawa sampai di lembah Kidang lebih cepat. Terlihat katuranggan bertengger di dahan tinggi memperhatikan tuannya memasang tenda dome camping double layer dan flysheet di atasnya. Tak jauh dari kumpulan tenda para pendaki. Hembusan angin malam dingin menusuk tulang. Tak menyurutkan pencinta alam selalu mendaki gunung Arjuno. Di beberapa titik api unggun masih terdengar ramainya pembicaraan. Tidak seperti Birawa sudah tidur nyenyak. Merasa nyaman menyatu dengan alam. Di dalam tenda, keris aman dalam genggaman tangan kanan. Alarm kejantanan tiba-tiba membangunkannya. Terlihat masih malam menjelang pagi siap berkemas. Dari mulut dan hidung keluar uap dingin, berjalan melanjutkan perjalanan. Lembah kidang masih gelap bertabur bintang. Para pendaki tertidur di dalam tendanya masing-masing. Burung-burung pun masih terlelap belum terdengar kicaunya. Hanya binatang tonggeret (garengpung) yang memecah kesunyian.

"Kuku ruyuk...!" Kokok Katuranggan seakan ingin membangunkan para pendaki yang masih terlelap. Dengan elegan terbang rendah mendahului Birawa untuk cepat sampai ke puncak ogal agil.

Birawa geleng-geleng kepala melihat Katuranggan bersemangat. Makin jauh terlihat samar timbul tenggelam terhalang kabut tebal dan pepohonan pinus yang tersebar di hutan Lali Jiwo. Menampakkan siluet jingga di langit timur yang tertutup puncak Gunung. Tiba-tiba Katuranggan memperlambat laju, bertengger di dahan terendah. Bagai mata elang mencoba mengedarkan pandangan tampak kawasan hutan dengan sebaran pohon pinus sudah mulai jarang. Dipenuhi tonjolan bebatuan besar dan kecil. Inderanya merasakan vibrasi kuat di depan sana. Yaitu energi astral yang entitasnya banyak berseliweran. Dengan cepat Birawa sudah berada di samping, tahu kegelisahan temannya dan berkata,

"Ada apa Katuranggan? Kenapa berhenti?"

Diamatinya dahan, ranting dan semak beluhar di sekitar tak ada ular atau sesuatu membahayakan. Saat itu juga Katuranggan melompat bertengger di pundak kirinya.

"Kirain ular! Ooo..., yang berseliweran itu? Jadi kamu bisa merasakan adanya aktivitas mereka?" Baru tahu kalau seekor ayam bisa merasakan kehadiran entitas astral.

Geli melihat tingkah Katuranggan gelisah berkotek tak karuan. Tiba-tiba entitas astral semburat hilang ditelan bumi, tatkala dibalik punggung Birawa menyembul sinar aura putih kebiruan dalam wujud entitas naga bermahkota makin tinggi dan besar bagai nyiur. Membawa 25% energi jiwanya menyatu pada entitas tersebut. Sehingga sinar aura putih kebiruan yang berasal dari kekuatan energi inti yang melekat pada jiwanya, menyelimuti entitas naga tersebut. Tak sadar kalau entitas yang keluar dibalik punggungnya membuat entitas astral melesat tunggang langgang.

"Makanya kalau mendaki gunung jangan ambisi ingin cepat sampai puncak tanpa memikirkan keselamatan diri dan orang lain! Yang ditakutkan ya, seperti ini! Pasti ada halangan." Katuranggan tetap diam selama perjalanan.

Tak terasa jauh meninggalkan puncak ogal agil, berhenti di tepi tebing gunung yang curam. Dari Timur tampak secercah sinar matahari pagi mulai mengintip di balik awan menerangi lereng. Kaki Katuranggan jalan di tempat seakan tak sabar untuk segera turun. Birawa menoleh melempar senyum, tahu maksud teman di sampingnya.

"Ya, turunlah. Aku segera menyusul."

Katuranggan melompat terbang menuruni tebing dengan mengepakkan sayapnya berkali-kali. Akhirnya dengan elegan membentangkan sayapnya melayang di atas kanopi hutan menuruni lereng yang landai. Jauh meninggalkan Birawa di atas menatapnya.

"Sungguh indah pemandangan alamnya."

Kabut di bawah perlahan sirna tersaput sinar matahari pagi. Lahan pertanian menampakan pola warna membentuk petak-petak kecil. Tapi ketajaman mata Birawa melihat jelas hamparan tanah pertanian penuh dengan tanaman sayur-sayuran. Menatap Katuranggan sudah jauh terbang rendah hinggap di atas atap gubug di tengah lahan. Terlintas di pikiran ingin mencoba terbang menyusul ke bawah.

"Tunggulah aku Katuranggan. Tak lama lagi aku akan sampai ke sana menyusul mu," ucapnya bermonolog.

Menurunkan tas ransel membongkar mencari sesuatu. Mengambil tali panjat tebing ukuran kecil dan kain parasut flysheet nya. Meletakkan kembali tas ransel ke punggung. Mengikat tiap titik sudut kain parasut dari 4 titik sudut yang ada, ke masing-masing kaki dan tangan. Dengan membuat 2 lubang tali untuk disangkutkan ke genggaman tangan kiri dan tangan kanan sebagai kemudi. Kain parasut di sisi bentangan tangan terdapat tali pengikat tepat di bawah leher. Langsung mengikatkannya ke leher tidak terlalu kencang seperti pengikat leher binatang piaraan. Semua terpasang dengan pas dan kuat.  Tunas tanaman sulur perlahan menutup seluruh tubuh dengan cepat. Mengambil keris yang tergeletak di atas batu padas, sekaligus melepas kain hitam nya. Menghunus perlahan, tanpa kedip fokus menatap Katuranggan bertengger di atas gubug. Melempar warangka keris dengan mengerahkan kekuatan energi intinya.

"Wuusss...!" Melesat bagai anak panah, menancap di tanah gembur dekat kaki gubug.

Keris dalam genggaman kedua tangan melesat menarik tubuhnya. Terasa ringan berkat ilmu meringankan tubuh. Meluncur landai di atas hijaunya kanopi hutan. Memasuki area lahan pertanian, keris di lepas dari genggaman. Dengan cepat tanaman sulur terbenam dalam tubuh. Saat itu juga dengan elegan membentangkan kain parasut flysheet nya dengan kedua tangan terbang rendah mendekati gubug. Tapi keris lebih dulu melesat kembali ke warangka. Semakin dekat dan begitu mudahnya kaki mendarat di atas tanah tepat di belakang gubug.

"Bagaimana menurutmu Katuranggan dengan pendaratanku ini? Cukup sempurna, bukan?"

"Ku ku ruyuk...!" kokoknya mengapresiasi.

Duduk istirahat di dalam gubug, berkemas memastikan kelengkapan terbawa tidak tertinggal.

"Ayo kita lanjutkan perjalanan menuju stasiun kotabaru Malang!"

Katuranggan seakan enggan pergi. Senang akan ekosistem alamnya berada di kaki gunung Arjuno. Tampak tebing dan lerengnya yang landai menggoda hatinya untuk tinggal.

Semakin jauh melangkah, Katuranggan masih bertengger di atas gubug. 1 km berjalan masih hamparan lahan pertanian jauh dari rumah penduduk. Jauh di belakang terlihat kepakan sayap Katuranggan terbang mendekat dan bertengger di pundak kiri Birawa. Memasuki perkampungan warga, Katuranggan terbang entah ke mana.

***

Nusantara bangkitlahWhere stories live. Discover now