Mendapat petunjuk

5 1 0
                                    

Pantura

"Makanan tadi enak! Lauknya, mantab...!" celetuk pria kurus berkumis tebal. Duduk di dalam mobil panter merah metalik di bagian belakang sendirian.

Perlahan mobil keluar dari parkiran warung makan. Terlihat kecil di antara truck-truck double engkel dan truck tronton wingbox yang masih terparkir.

"Namanya saja warung pantura Probolinggo! Selalu menjadi tempat mampir sopir antar kota dan propinsi. Kalau masalah harga, kan ada juragan?" ungkap sopir Gendut. Melirik Alex di sampingnya, setelah memberi uang lima ribu pada tukang parkir. Mobil makin menjauh meninggalkan warung makan.

"Ini karena aku lagi dapat rejeki. Ya, keinginan mengajak kalian yang masih bisa aku hubungi untuk acara reuni. Sudah 15 tahun semenjak lulus SMA sampai sekarang."

"Aku doakan usahamu makin sukses," ucap si Kurus sekali lagi. Duduk di belakang sendirian. Serentak menjawab,

"Amin...!" Alex tersanjung mengamini.

"Kita isi solar dulu ya? Jarum sudah menunjuk garis merah. Kebetulan di depan ada pom bensin." Sepintas melihat Alex dengan serta-merta merogoh kantong celana mengambil uang.

"Ini Jon, belikan solar 150 ribu." Menyerahkan 2 lembar uang kertas kepada Jonny gendut. Menghentikan mobil panter nya di pom bensin.

"Kira-kira sampai alas Purwo jam berapa, Jon?" tanya si kurus.

"Tengah malam. Paginya kita lanjut ke penginapan pantai plengkung. Iya kan, Leks?" Sepintas melihat Alex mengangguk.

Lagu tembang kenangan dari radio tape double din terdengar jelas di tengah jedanya obrolan.

"Leks! Sepertinya teman kita Herry perlu kau ajak jalan-jalan makan di tempat enak. Biar tambah gemuk," sindir Jonny melirik Alex.

"Tak usah. Turunkan saja dihamparan padang rumput Sadengan Alas Purwo, biar merumput sepuasnya," celetuk Iqbal melirik Surya di samping. Mengisyaratkan memintanya ikut membully Herry di belakang diikuti tawa lepas saling bersautan. Kecuali Herry dengan muka cemberut.

"Benar kau, Iqbal. Ngapain susah-susah gemukin orang! Sampai kapan pun Herry tak akan bisa gemuk. Sejak SMA dulu sampai sekarang, dari pabriknya sudah seperti itu," ungkap Surya menpertegas.

"Kurus-kurus begini, sehat. Tak pernah sakit. Jangan dikira gemuk itu sehat! Coba lihat Jonny! Diabetesnya, melebihi ambang batas." Tenang tak terpancing emosi.

Mobil terus melaju makin menjauh meninggalkan pom bensin tak terlihat lagi.

***

Rumah Mijan

"Baru 5 hari semenjak kedatangan nak Birawa, kaki Bapak sembuh bisa berjalan. Warga desa juga merasa terbantu dengan adanya pengobatan gratis yang nak Birawa adakan. Banyak warga tertolong. Karena desa kami jauh dari puskesmas maupun klinik kesehatan," ungkapnya. Mendekati Birawa duduk santai di amben teras depan menjelang sore.

"Syukurlah Bapak sudah sembuh. Kalau mengikuti jalan setapak ke arah timur, apa ada perkampungan lagi?" Telunjuknya mempertegas.

"Tidak ada. Paling ujung, ya rumah kita! Kalau nak Birawa perhatikan, perkampungan kita masuk wilayah Alas Purwo." Gerakan tangan kanan memperjelas ucapannya. Tangan kiri masih berpegangan kusen pintu. Melangkah masuk meninggalkan Birawa duduk sendiri menikmati segarnya alam dan keramahan warga desa yang lewat.

Pandangan mata tertuju pada nenek tua berjalan menggendong bongkok kayu bakar di atas punggungnya. Seharian kelliling desa belum juga laku terjual. Rasa iba terlihat si nenek dalam kondisi capek dan tidak enak badan.

"Nenek! Beli kayu bakar!" teriaknya dari seberang jalan makadam. Menyongsong nenek tertatih menyeberang jalan melempar senyum.

"Coba sini, Nek! Saya bantu angkat bongkok kayunya."

Nenek berusaha melepas ikatan kain yang terselip di depan dada. Birawa menyambut mengangkat bongkok kayu disandarkan ke tembok samping pintu rumah.

"Duduk dulu, Nek." Meninggalkan nenek duduk di amben.

Senyum manis terpancar dari wajahnya yang keriput, walau tampak lelah. Karena bongkok kayu sudah terjual. Birawa mendekati dari belakang membawakan segelas air minum.

"Silahkan diminum, Nek."

"Terima kasih. Anak baru ya?" selidiknya.

"Iya, Nek. Nama saya Birawa. Dan Nenek sendiri?"

"Prihatin. Orang desa sudah terbiasa memanggil Nenek Atin."

"Harganya berapa, nek?"

"Sepuluh ribu saja, nak."

"Nenek tiap hari jualan kayu bakar?"

"Ya, sudah turun temurun."

"Suami dan anak juga jualan kayu bakar?"

"Tidak Nak. Nenek jualan sendiri."

Pembicaraan 2 anak manusia berbeda jauh usianya tampak akrab. Tak terasa 15 menit berlalu. Meski hidup sendiri tampak periang, murah senyum, dan semangat hidupnya tinggi.

"Saya lihat Nenek sakit, tidak enak badan. Kalau nenek mengijinkan, saya coba mengurangi rasa sakit yang Nenek rasakan."

"Tidak Nak, tidak usah," jawabnya. Khawatir tidak mampu bayar.

"Tidak akan sakit, Nek! Saya hanya menumpangkan telapak tangan ke tubuh nenek. Kalau Nenek mau, harga kayunya saya bayar 3 kali lipat! Bagaimana, Nek?"

"Ya, mau." Senyumnya mengembang. Tiba-tiba tertawa terkekeh menjadi ciri khasnya saat tatapan matanya menangkap kebaikan Birawa tanpa pamrih. Patut menjadi panutan dan sandaran bagi orang yang membutuhkan pertolongan.

"Rileks ya, nek?"

Lewat telapak tangan mulai mentransfer kekuatan energi inti. Aura sinar putih kebiruan masuk ke tubuh Nenek Atin, mengoptimalkan kualitas tubuhnya. Perlahan pancaran titik api aura nila di kelenjar pineal menjilat-jilat makin kuat menangkap residual energi tubuh nenek Atin. Menampakkan dimensi lain yang transparan menindih pandangan nyata. Dengan jelas memperlihatkan Nenek Atin adalah keturunan dari seorang kepercayaan Raja Majapahit yang diminta menyelamatkan pusaka Surya Majapahit. Birawa menarik tangan kanannya, pendaran pun lenyap.

"Nenek, kaulah orang yang selama ini aku cari," gumamnya dalam hati.

"Sudah selesai, Nak?"

"Sudah, Nek. Apa yang Nenek rasakan sekarang?"

"Badan terasa enak. Capek dan pegal Nenek hilang. Terima kasih ya, nak?"

"Sama sama, Nek. Sebagai imbalan..., saya bayar lebih, khusus buat nenek." Menyerahkan uang pembayaran sambil membungkuk memberi semangat.

"Terima kasih, nak."

Menatap rimbunnya pepohonan mulai terlihat gelap. Berkas sinar matahari hanya terlihat di pucuk-pucuk pohon tertinggi.

"Sudah mulai gelap. Sebentar lagi matahari terbenam, Nenek pulang." Kakinya siap melangkah.

"Ooo... iya, nek! Di Alas Purwo, apa ada goa?"

"Ada buaaanyak di tengah hutan sana."

Birawa manggut-manggut. Dengan jelas petunjuk dari residual energi nenek Atin, pusaka Surya Majapahit tersimpan di dalam goa.

"Aku harus mencarinya satu per satu dari tiap goa dan bukit batu karang," gumamnya dalam hati.

"Nenek tinggal di mana?"

"Di sana." Telunjuknya mengarah ke Timur.

"Kurang lebih 1 km dari sini. Ikuti saja jalan ini, nanti di sebelah kiri ada jejak jalan setapak. Ikuti jejak tersebut sampai kamu menemukan gubug tempat tinggal nenek. Mampir, ya!" serunya mengharap.

"Terima kasih, nek. Kalau ada waktu saya mampir."

Nenek Atin tak menjawab, berjalan tertatih tak menoleh lagi.

***

Nusantara bangkitlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang