Edukasi peninggalan cagar budaya

22 1 0
                                    

Dari hamparan petak sawah teras sering, tampak sinar matahari pagi menerpa bangunan candi. Makin dekat... dan semakin dekat... kokoh berdiri Candi Penataran. Anak-anak sekolah berseragam putih merah tampak mendominasi kunjungan. Selain antusias dipandu guru pembimbingnya, mereka bercanda di pelataran candi yang luas. Matahari beranjak naik mulai terasa panas. Candi yang menjadi icon kota Blitar adalah saksi bisu adanya sebuah peradaban berabad-abad lamanya mendiami turun-temurun sampai sekarang.

"Selamat pagi menjelang siang, anak-anak?" sapa Pak Darmo.

"Pagi, Pak!" jawab siswa kelas 6 kompak.

Melihat rambut mereka masih terlihat basah setelah mencuci muka menghilangkan debu dan keringat sekembali dari Candi Penataran.

"Apa yang kalian rasakan dengan kunjungan studi lokasi di Candi Penataran?"

"Senang!" Sekali lagi kompak menjawab.

Tampak ceria saling bercerita satu sama yang lain. Berbagi pengalaman tentang studi lokasi di situs bersejarah Candi Penataran. Pak Darmo sabar menunggu anak-anak meluapkan kepuasannya bercerita. Sekali lagi matanya tertuju pada pintu kupu tarung terlihat lapuk, melihat salah satu engselnya tidak lengkap. Ada rasa khawatir pintu roboh menimpa siswa didekatnya.

"Kali ini Bapak tanya tentang sejarah masa lalu! Apa yang kalian ketahui tentang sejarah masa lalu?"

"Sejarah perang kemerdekaan!" jawab siswa di bangku belakang.

"Ha hahaha...!" Sebagian temannya tertawa lepas. Dirinya terbengong masih mengacungkan tangan sambil mengedarkan pandang ke teman-temannya.

"Bagus!" potong Pak Darmo lantang.

Seketika riuh tawa berhenti. Dengan lega siswa yang duduk di belakang menurunkan tangannya.

"Siapa lagi?" pintanya sekali lagi. Mengacungkan tangan mengedarkan pandangan memberi isyarat siapa yang mau menjawab.

Rasa prihatin memperhatikan sebagian tembok pada lapuk, sampai terlihat batu bata merah mulai tergerus. Siswa berseragam putih merah lusuh berambut gimbal memberanikan diri mengacungkan tangan.

"Ya, kamu," tunjuknya pada siswa di bangku dekat pintu.

"Suatu peristiwa masa lalu yang hanya tinggal cerita, diwariskan turun-temurun."

"Pintar. Semua jawaban kalian tidak meleset. Lalu apa tanggung jawab kalian sebagai penerus bangsa terhadap sejarah masa lalu tersebut, agar tidak hilang dan tetap dikenang?"

"Belajar sejarah, Pak!" jawab si gendut di bangku depan percaya diri.

"Ada lagi yang mau menjawab!" seru Pak Darmo untuk terakhir kali. Tak satu pun mengacungkan tangan, diam tak menjawab.

2 berkas sinar di bangku dan lantai kelas mengusik perhatiannya ingin tahu. Tengadah menatap langit-langit plafon tinggal kerangka kayu lapuk dan potongan plafon yang masih tertinggal. Sinar masuk berasal dari atap genting berlubang, menandakan bangunan tua belum pernah direnovasi.

"Sekarang Bapak tanya, tidak usah dijawab. Cuma tolong kalian pahami yang Bapak paparkan." Melangkah ke tengah barisan bangku berjajar.

"Apa hanya dengan membaca buku sejarah dan hafal, bisa dikatakan melestarikan sejarah? Tidak...," tegasnya. Sambil memperhatikan keseriusan masing-masing siswa.

"Lalu, apa itu bukti sejarah? Kalau kita bicara sejarah kemerdekaan, bukti peninggalannya juga harus ada. Apa saja bukti peninggalannya? Istana Merdeka..., gedung Proklamasi..., Jembatan Merah, dan maasih buaaanyak lagi! Keberadaan bangunan tersebut merupakan bagian dari riwayat bangsa Indonesia merebut kemerdekaan. Kalau tidak ada sosok bangunan sebagai bukti sejarah, seperti menerangkan sesuatu yang tidak jelas. Karena bukti sejarahnya tidak ada! Anggapan anak cucu kalian kelak hanya sebuah dongeng belaka. Ini gak boleh terjadi! Coba kalian lihat situs Candi Penataran yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar! Kokoh berdiri tetap terpelihara. Bukti o ten tik! Bahwa nenek moyang kita sudah lebih dulu mendiami desa ini berabad-abad lamanya. Bukan dongeng lagi. Bukti nyata!" paparnya. Semua siswa kelas 6 terkesima mendengarnya. Mengetuk hati dan minat mereka untuk lebih peduli peninggalan cagar budaya. Lonceng berbunyi pertanda pelajaran sekolah telah usai.

"Dit, besok kan ada pelajaran olahraga! Kamu bawa bola plastik, ya? Kita main sepak bola," celetuk temannya berambut gimbal. Sambil menendang batu kerikil sekenanya dalam perjalanan pulang sekolah.

"Oke. Beres, Bir. Kalau urusan giring bola, aku ahlinya."

"Yang benar?" sanggah Birawa meragukan omongan Dito (12).

"Menurutku sih, orang gendut tidak selincah dan segesit orang kurus sepertiku!"

Raut muka Dito jadi masam. Semangatnya turun drastis pada titik terendah. Sebal mendengar ucapan temannya meragukan kemampuannya.

"Kau memang jagonya main sepak bola, Birawa (12). Tapi rambut gimbalmu itu mengurangi penampilan seorang pemain."

Birawa tersenyum bangga tidak menganggap suatu ejekan.

"Dit, tadi di kelas aku lihat vivi menangis. Ada apa, ya?"

"Biasa. Siapa lagi kalau bukan Rusli! Selalu jahil kelewat batas. Rambut Vivi kan panjang, ditarik. Sakitlah!"

Menyusuri jalan makadam, jauh dari bisingnya kendaraan bermotor. Sayup terdengar gergaji mesin menderu memecah kesunyian. Dan kicau burung dipepohonan mengikuti perjalanan mereka. Berhenti dekat dam (bendungan kecil untuk membagi irigasi sawah), tak jauh dari persimpangan jalan dekat rumah Birawa.

"Ayo mampir ke rumah! Ku tunjukkan lukisan yang sudah selesai aku kerjakan. Barangkali orang tuamu minat. Kalau Agung sering mampir ke rumah sekedar melihat-lihat."

"Tidak minat! Sampai ketemu di Penataran," jawab Dito ketus. Berlari kecil masih jauh 200 m lagi untuk sampai rumah.

"Jangan lupa besok Senin tampil satu per satu nyanyi lagu wajib, ya!"

"Oke!" teriaknya tak menoleh lagi.

"Birawa, pulang!" Berdiri di depan pintu melepas topi seragam.

"Langsung ganti baju, ya! Ibu siapkan makan siang."

Dengan telanjang dada menenggak air kendi tak menjawab. Menyandarkan kepala pada pinggang Ibunya. Diusap-usapkan dengan manja. Disambut belaian tangan sang Ibu (40) pada punggung anaknya. Tubuh kurus terlihat tonjolan urat, tampak seperti akar menjalar di kedua lengannya. Menandakan betapa keras seorang ibu bekerja menyambung hidup demi anak tercinta.

"Bu, sampai kapan aku bisa melepas kalung ini?" Jemari ibunya menyentuh sebuah bandul kol buntet yang tersemat di leher anaknya. Terlihat toh (tanda lahir) hitam legam selebar telapak tangan di dada.

"Dulu, waktu kamu masih kecil sering sakit-sakitan. Dengan adanya kalung ini, sakitmu berangsur sembuh. Antara percaya dan tidak percaya, buktinya sembuh. Pakai saja, anggaplah kenang-kenangan terakhir almarhum Bapakmu," ungkapnya. Masih memegang bandul kol buntet, mengenang kebersamaannya dengan suami.

Rumah berdinding anyaman bambu sudah keropos dimakan rayap di setiap sudut bagian bawah. Selalu menjadi lalu lalang tikus berkeliaran. Ironisnya tak pernah diperbaiki semenjak kepergian suaminya di alam baka. Kembali ke meja makan, menuangkan sayur sup pada piring yang sudah ada nasi dan lauk tempe untuk anaknya.

"Bu, besok siang Birawa bersama teman-teman ke Candi Penataran. Mumpung Minggu libur. Ada tugas dari Pak guru diminta menceritakan kisah pada relief Candi Induk."

"Kalau itu tugas dari Pak guru, Ibu ijinkan." Tersirat rasa bangga atas kemauan semangat belajar dan bakti Birawa padanya.

"Sekarang makanlah. Mumpung nasinya masih hangat." Meletakkan piring tanpa sendok di atas meja bersama kerupuk di samping.

"Terima kasih, Bu." Menatap nasi lauk tempe dan kerupuk terasa bosan tak napsu makan. Tiba-tiba pikirannya diingatkan.

"Aku bersyukur masih ada Ibu yang menjadi sandaran keluh kesahku. Kaulah segalanya bagiku, Ibu. Selalu memberi semangat, mendorongku dalam menggapai cita-cita. Mendukung penuh dalam kegemaranku melukis. Walau kanvas, kuas, cat minyak dan lain-lain itu semua harganya mahal, Ibu sediakan bagiku," gumamnya mulai sadar. Menatap Ibunya yang tabah dengan senyum keikhlasan, duduk di amben melipat baju seragam dan kaos olahraganya untuk dipakai besok Senin.

Malam terasa panjang, Birawa tertidur lelap.

***

Nusantara bangkitlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang