Mencari pusaka Surya Majapahit

5 1 0
                                    

Malam makin gelap. Birawa memantapkan langkah menerjang gelapnya Alas Purwo. Berjalan melewati vegetasi pohon bambu cukup luas dan rapat. Suara gesekan batang dan ranting bukan karena terpaan angin belaka. Tapi banyak aktifitas entitas astral hendak menggoda. Tetap melangkah tak sedikitpun takut. Pikirannya tiba-tiba teringat akan residual energi dalam tubuh Micel.

"Residual energi di dalam tubuh Kak Micel benar adanya. Petunjuk yang ku cari cocok dengan residual energi pada diri nenek Atin," pikirnya dalam hati. Tampak jelas melihat Baginda Raja duduk di singgasana mengenakan mahkota emas berhiaskan batu permata berkilau warna warni.

Dibalik punggung menyembul sinar aura putih kebiruan dalam bentuk entitas Naga bermahkota. Entitas astral tiba-tiba semburat seperti ditelan bumi. Birawa mencari di setiap goa, bukit batu dan tebing yang dilewati. Sampai tengah malam belum juga menemukan titik terang.

"Ternyata tidak mudah menemukan goa tersebut. Kondisi goa 7 abad lalu dengan kondisi sekarang banyak berubah." Mengusap keringat di wajah, melanjutkan pencarian. Perhatian tertuju pada bongkahan lempengan batu besar di samping kanan mulut goa.

"Di sini cocok untuk memulai mempercepat pencarian. Menghadap pelataran diterangi sinar bulan purnama dan gemerlap bintang. Pohon beringin besar ini sangat kokoh. Akarnya sampai mencengkeram bagian bawah bongkahan batu. Sebaiknya aku bersihkan, sebelum aku pakai duduk bersila," ucapnya bermonolog.

Mengedarkan pandangan mengamati sekitar. Tampak akar napas pohon bagai rambut tergerai dari dahan-dahan yang menjuntai sampai ke area pelataran. Melepas kaos hingga telanjang dada, dipakai membersihkan bongkahan batu dari lumut dan debu yang menempel. Mengambil sikap duduk bersila (padmasana) di atas bongkahan batu. Perlahan meletakkan keris menyilang di pangkuan. Kedua telapak tangan terbuka menghadap ke atas, bertumpu pada lutut.

Dalam hening, batu merah delima pada warangka keris perlahan bersinar merah membara. Begitu juga tubuhnya diselimuti sinar aura putih kebiruan makin lama makin kuat menjilat-jilat. Tiba-tiba daun kering terbakar saat jatuh dari atas menyentuh atmosfer tubuhnya. Bagai atmosfer bumi, benda angkasa akan terbakar jika memasukinya. Perlahan tubuh terangkat melayang. Inderanya bak sonar kapal laut mengembara menembus dinding-dinding goa. Waktu terasa cepat sudah di ujung pagi. Tepat dihadapannya sebuah bukit dengan tebing tidak terlalu tinggi. Sonarnya memetakan ada rongga besar, menangkap adanya sebuah peti memancarkan aura kuat. Tatapan mata menyusuri celah kecil pada tebing membentuk mulut goa. Tubuh perlahan turun diikuti kedua kaki diluruskan menjejak di atas tanah.

"Sungguh luar biasa kemampuan orang jaman dulu. Bongkahan batu sebesar itu bisa di angkat dan menutup mulut goa dengan rapat. Mungkin dengan kekuatan telekinesis, aku bisa membukanya." Optimis ingin mencoba.

Tak sengaja tatapan matanya melihat tanaman tumbuh menjalar di sela-sela anak tebing berlumut tak lebih tinggi darinya, ketika akan meletakkan keris.

"Ini kan tanaman sirih! Persis yang di tanam ibu di samping rumah," ucapnya spontan.

Mengayunkan kaki mundur 10 langkah. Merentangkan kedua tangan dengan telapak tangan terbuka menghadap ke depan. Kedua mata dan pikiran fokus pada bongkahan tersebut. Tubuhnya mulai merasakan getaran induksi gelombang elektromagnetik berfrekuensi tinggi di ruas-ruas tulang belakang makin kuat. Membangkitkan kekuatan energi inti jutaan neuron di sumsum tulang belakang. Menstimulasi miliaran neuron di otak menjadi kekuatan dahsyat dalam kontrol dan kendalinya. Tengkorak kepala bagai reaktor berrongga atau torus bagai Tower Wardenclyffe nya Tesla.

Perlahan dari kedua bola mata dan seluruh jari-jari kedua tangan tiada henti mengeluarkan loncatan sinar aura putih kebiruan bagai akar serabut yang silih berganti menyambar-nyambar seperti mencengkeram bongkahan batu besar dan berusaha menariknya.

Nusantara bangkitlahWhere stories live. Discover now