Sabung ayam 2

5 1 0
                                    

Birawa makin jauh meninggalkan Liponsos. Memasuki kawasan perkebunan teh Wonosari ditemani Katuranggan di pundak kiri tampak gunung dikejauhan.

"Gunung Arjuno," ucapnya pikiran menerawang. Menyunggingkan senyum bangga, menatap jauh hijau menghampar.

"Sejak dari peradaban Majapahit sampai sekarang, kau tetap pada bentukmu. Kokoh tak berubah," ucapnya takjub.

"Katuranggan! Ayo kita daki gunung itu untuk ketiga kalinya. Kita kembali ke Museum Trowulan." Sejenak menatap gunung di kejauhan dengan pikiran menerawang.

"Trowulan, tunggulah aku datang! Aku rindu kisah-kisah mu, walau hanya meninggalkan jejak arkeologi. Tapi kau punya cerita akan kemegahan dan kebesaranmu yang selalu melekat dalam jiwa generasi penerusmu," ucapnya bersyair. Menyusuri pemandangan indah alam perkebunan teh, memberinya inspirasi.

"Katuranggan! Ayo kita main kejar-kejaran. Seperti yang pernah kita lakukan saat pertama kali mendaki Gunung Arjuno. Mumpung masih sore, nanti keburu gelap."

Katuranggan terbang lebih dulu, Birawa menyusul mengiring dari belakang. Tiba-tiba Katuranggan melesat lebih cepat untuk sampai dirapatnya pepohonan di jalur pendakian.

"Eee...! Curang kau, ya!"

Secepat kilat mengejar, hingga berada di samping beriringan mulai memperlambat langkah. Katuranggan dengan mudah bertengger di pundak kiri tuannya. Berjalan menyusuri hutan kaliandra, menerjang bukit dan lembah. Melewati padang sabana, menyaksikan indahnya langit bertabur bintang gemerlap, tak merasakan dinginnya malam menusuk tulang. Sayup pembicaraan dari sorot lampu rombongan pendaki yang timbul tenggelam di renggangnya pepohonan semakin mendekati puncak.

"Lebih baik cari jalan lain," ucap Birawa dalam hati. Melihat puncak ogal-agil sudah di depan mata, tak ada minat untuk ke sana. Menatap satu per satu kesepuluh pendaki mencapai puncak. Memantapkan langkah lewat jalur lain.

6 pendaki membentuk formasi lingkaran, mencoba mengusir hawa dingin melepas lelah. Keempat temannya sibuk menyusun bongkahan-bongkahan batu agar 2 tongkat yang sudah tersambung ikatan canggah menjadi tiang bendera tegak berdiri tidak goyah. Tepat jam 24:00 WIB berkibar Sang Merah Putih menyambut hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Serentak menyanyikan lagu Indonesia Raya dilanjut lagu 17 Agustus tahun 45 walau napas tersengal.

Sayup terdengar nyanyian timbul tenggelam di ombang-ambingkan angin pegunungan. Tak mematahkan niat Birawa ikut menyanyikan hingga usai. Memantapkan langkah melewati jalan berbatu, beratapkan langit penuh bintang. Katuranggan diam tertunduk di pundak kiri memasuki kawasan hutan pinus Lali Jiwo yang terkenal akan kemistisannya. Memasuki pos 3 pondokan melangkah perlahan mencoba mengedarkan pandangan tampak siluet jingga. Seberkas sinar matahari pagi menembus kanopi pepohonan di belakang gubug-gubug berjajar mulai tercium bau belerang. Mengikuti rute menurun jalanan berbatu menuju pos 1. Sayup suara tarikan mobil terasa berat makin mendekat. Muncul sebuah mobil jeep terbuka dari tikungan menanjak dengan medan terjal. 2 pendaki berdiri di belakang kemudi terlihat diombang-ambingkan jalan berbatu.

"Eh..., Bag! Lihat! Apakah itu ayam...? Yang bertengger di pundak pemuda di depan sana?" tanyanya penasaran. Reflek tangan mencoba membetulkan topinya hampir jatuh diterpa angin.

"Bujubuneng...! Cindelaras turun gunung, bro!" jawab Bagyo. Kagum melihat ayam cemani bertengger di pundak pemuda tersebut makin mendekat.

"Turun sendirian, Mas?" tanya pengemudi jeep dengan gaya offroader nya.

"Iya, Pak!" jawab Birawa. Sambil melambaikan tangan kanan, tahu dirinya menjadi perhatian mereka.

Mobil yang biasa mengangkut belerang turun menjelang siang, makin jauh ke atas menuju Pos 3 Pondokan.

Nusantara bangkitlahWhere stories live. Discover now