Fight 1

8 1 0
                                    

"Errrrr...." geram seekor ajag di samping tuannya. Menatap tajam pemuda berpakaian putih dikejauhan.

Memperlihatkan hamparan lahan sayur-sayuran organik tak jauh dari pos perijinan Gunung Penanggungan via Tamiajeng. Tampak gapura kembar di sisi kiri dan kanan jalan menyerupai candi, sebagai tanda tapal batas desa.

"Tenang Klawu, simpan tenagamu. Biar anak buahku mencincang jadi santapanmu," ucap Glewo. Sambil jongkok membelai si ajag kesayangannya. 6 anak buah di belakang berdiri berjajar siap menghadang. Dengan wajah garang siap dengan golok dan clurit menatap Birawa makin mendekat. Tak terima atas kekalahan sabung ayam di belakang pasar.

"Beli gayam untuk dimakan. Tak lupa bawa layang. Pilih ayam kamu serahkan atau nyawamu melayang," sambut Glewo berpantun.

Tak disangka orang yang dihadang menghindar belok kiri lewat jalan pintas. Masuk lahan pertanian subur siap panen.

"He, bocah! Cuih...!" hardiknya lantang menatapnya menghindar.

Birawa menghentikan langkah tak sedikitpun berpaling.

"Dari tadi aku menunggumu. Tapi mengapa kau menjauh dariku! Mulai gentarkah nyalimu?" Dengan angkuhnya sekali menjentikkan jari tangan kanan, 6 anak buahnya maju 3 langkah siap dengan golok dan clurit. Mengarahkan pantulan cahaya matahari dari masing-masing golok dan clurit kearah wajah Birawa.

"Kalau mau selamat, serahkan ayammu padaku. Mudah, bukan!" Mencoba mengintimidasi bocah dihadapannya.

"Ya, mudah memang! Tapi saya pilih jalur sulit. Sulit sekali untuk kau miliki. Bagaimana?" ledek Birawa membuat Glewo naik pitam.

"Kurang ajar! Jit..., habisi bocah ingusan dengan cluritmu!"

"Oke, Boss! Dalam hitungan detik akan ku cincang jadi makanan serigala lapar. Aung...! Guk guk!" Disambut tawa teman-temannya dan Birawa pun ikut terkekeh menirukan tawa seorang kakek.

"Apa tidak salah! Setahuku serigala lebih menyukai daging, darah dan tulang seekor babi hutan karena hidupnya liar! Sama seperti segerombolan berandal hidupnya liar. Pasti akan jauh lebih lezat," balas Birawa menohok. Tubuhnya mulai diselimuti sinar aura putih kebiruan.

"Bangsat! Kubunuh kau!" teriaknya tersulut amarah.

"Hiaaatttt...!"

Sekali menghentak, Indrajit melompat tinggi dengan kedua kaki ditekuk dan kedua tangannya seperti hendak menerkam. Hingga menjejakkan kaki tepat dihadapan Birawa dengan ringannya.

"Hebat juga bapak ini! Dapat ilmu kera putih dari mana pak? Tapi sayang. Setahuku kalau seekor kera bermain clurit, itu namanya senjata makan tuan!" Mencoba memancing amarah lawan sekali lagi.

"Jangan bacot!"

Indrajit menyerang menyabetkan clurit bertibu-tubi hanya mengenai tempat kosong. Birawa dengan mudah mengelak dan secepat kilat tendangan kaki kanannya mengenai punggung lawan hingga tersungkur. Perlahan bangkit berdiri dengan raut muka memerah merasa dipermalukan oleh bocah ingusan.

Birawa mengangkat tangan kanan menunjukkan jempolnya ke arah indrajit sambil geleng kepala. Dan mulai membalikkan jempol perlahan. Sejenak menunggu reaksi lawan, melirik Katuranggan di pundak kiri berkata,

"Katuranggan, pergilah. Nanti aku panggil," Katuranggan terbang hilang di rindangnya pepohonan.

Tak sengaja tatapan matanya melihat kayu tergeletak di pematang dan memungutnya.

"Kalau tidak salah ini kayu bekas gagang cangkul. Lumayan! Cukup untuk menangkis senjata lawan," ucapnya bicara sendiri. Siap meladeni begundal-begundal desa.

Nusantara bangkitlahWhere stories live. Discover now