Gubug

8 1 0
                                    

Birawa meletakkan keris di atas tungku perapian, berusaha memindahkan balok kayu yang menindih kaki orang tua berambut putih. Mengambil baju yang sempat di buang dekat perapian. Dengan seenaknya menyelonjorkan kaki di atas tanah kering melepas lelah. Mengedarkan pandangan sambil menyeka tubuh dari keringat dan lumuran darah. Banyak perkakas berserakan tertimpa atap, tak sedikitpun menaruh curiga dengan sekelilingnya, tatkala matanya melihat jempol kaki orang tua itu bergerak.

"Add.. duuh." Tersadar menahan sakit.

Birawa mengesot mendekat.

"Jangan bergerak, Pak. Tetap terlentang saja. Kaki Bapak memar," sarannya. Sambil melihat telapak kaki dan tangan Pak tua masih menempel tanah gembur sedikit berlumpur.

"Ada sesuatu yang aneh pada gubug ini. Ah, mungkin perasaanku saja," pikirnya dalam hati.

Diam-diam menyalurkan kekuatan energi inti dengan menopangkan telapak tangan pada kaki Pak tua yang sakit. Perlahan tapi pasti bekas memar dan rasa sakit pun hilang.

"Bagaimana, Pak? Masih sakit?" tanya Birawa mencoba mengajak bicara.

Hanya tatapan kosong tak menjawab. Sedang bibir masih gemetar. Birawa menepuk pundaknya 3 kali mencoba menenangkan.

"Tidak, nak! Tidak sakit." Mulai bisa menjawab.

"Perkenalkan nama saya Birawa," ajaknya bicara. Jongkok di samping kaki pak tua yang masih selonjor.

"Nama saya Harjo."

"Saya minta maaf kalau kondisi tempat ini jadi rusak seperti ini."

"Tak apa-apa, nak. Biar Bapak dan teman-teman yang membereskan dan membetulkan gubug ini." Tahu yang dikhawatirkan anak muda dihadapannya.

"Terima kasih, Pak." Birawa merasa lega. Menatap Pak Harjo bangkit mencoba duduk di dipan. Memastikan kaki sudah tidak sakit lagi. Birawa menyusul duduk disampingnya tak lupa mengambil keris di atas tungku perapian.

"Bapak seorang pandhe besi?" Matanya fokus menatap perkakas sudah jadi, terselip di dinding pojok anyaman bambu.

Belum sempat menjawab, tiba-tiba tubuh Pak Harjo tergoncang seperti tersadarkan oleh sesuatu.

"Ya, membuat perkakas pertanian seperti nak Birawa lihat."

"Kalau boleh tahu terbuat dari apa keris ini, Pak?" Menunjukkan keris dalam genggaman.

Sekali lagi mengamati keistimewaan keris yang ampuh menghujam dada reptilian tersebut. Linggis yang berat dan tajam, tak mempan ditusuknya. Tiba-tiba merasakan sesuatu dari jauh datang mendekat.

"Sepertinya ada yang datang," gumamnya dalam hati.

Menoleh ke kiri, mencoba menjemput arah kedatangan. Hanya hembusan angin lewat di luar gubug yang hampir ambruk.

"Wuusss... wuusss...." Kali ini 2 hembusan terulang lagi.

Inderanya merasakan ada 3 energi besar baru saja lewat. Masing-masing mengelilingi gubug 1 kali putaran, lalu hilang entah ke mana. Bagaikan sesuatu tak kasat mata menyelinap masuk.

"Keris itu peninggalan leluhur yang sudah turun-temurun. Leluhur dulu pernah bilang, keris tersebut pembuatannya ada campuran batu meteor. Sampai sekarang pun kalau di minta membuatkan keris dengan campuran batu meteor, saya layani," ungkapnya bangga mencoba mengalihkan perhatian Birawa akan sesuatu.

"Wooww...! Ini Pak, kerisnya! Maaf, kalau saya lancang." Menyerahkan keris ke tangan Pak Harjo. Karena merasa tak layak memegang.

Mengedarkan pandangan sekali lagi memastikan. Hanya melihat reruntuhan gubug, tungku perapian, kolam pencelupan dan hamparan sayur-sayuran organik rusak berantakan bekas pertarungan.

Gerakan tangan Pak Harjo diikuti dengan tatapan mata yang teduh mendalam, seakan memberi hormat akan kesakralan kerisnya. Tak sembarangan untuk disalahgunakan. Sesekali memutar genggaman tangan melihat sisi keseluruhan keris mempertontonkannya pada Birawa.

"Sekarang jaman sudah berubah. Tak banyak orang minta dibuatkan keris maupun pedang. Itu pun kalau minta dibuatkan, ada maksud dan tujuan tertentu. Di daerah Penanggungan ini, tinggal saya bersama 3 orang teman yang menjadi generasi penerus warisan leluhur."

Birawa hanya duduk diam melihat Pak Harjo menatap hamparan tanaman sayur yang rusak cukup lama. Seperti menerawang jauh, tersirat rasa prihatin pada generasi muda sekarang. Banyak yang meninggalkan warisan leluhur. Birawa mencoba mendekat, merangkul dan menepuk punggungnya yang membungkuk telanjang dada. Berusaha membesarkan hatinya.

Suasana jadi hening, tak ada pembicaraan. Pak Harjo mengamati kerisnya sekali lagi, seakan bernostalgia. Tanpa disadari, Birawa sudah lebih dulu membuka residual energi yang tersimpan dalam dirinya.

"Pak Harjo benar-benar keturunan empu kenamaan di era Majapahit. Kuaktifkan saja data ini, supaya pengetahuannya sebagai empu lebih mumpuni," gumamnya dalam hati.

"Pak! Saya minta dibuatkan keris sepanjang 100 cm. Cara pembuatannya usahakan sama dengan keris itu. Ada campuran batu meteornya."

Pak Harjo tidak segera menjawab, hanya melempar senyum. Seperti sudah mendapatkan sesuatu yang dicarinya. Birawa tak menghiraukan makna dibalik senyum orang tua dihadapannya.

"Akan saya coba. Saya takutkan hasilnya jelek tidak sesuai harapan. Akibatnya justru mengecewakan. Bagaimana?"

"Tidak masalah, Pak. Kalau proses pembuatan sama, saya terima. Di pangkal keris tolong diberi ukiran relief Surya Majapahit! Sebagai tanda jadi, ini yang saya punya." Menyerahkan 3 emas batangan.

"Emas batangan 10 gram!" ucapnya seakan tak percaya.

"Kalau kurang, nanti waktu ambil saya lunasi."

"Wah, lebih dari cukup, Nak!"

"Kapan saya bisa ambil?"

"Kalau pembuatannya tanpa menggunakan batu meteor, paling cepat 3 sampai 4 bulan selesai. Tapi saat ini mencari bahan batu meteor sangatlah sulit. Bisa dikatakan langka. Saya usahakan, Nak. Mungkin bisa 6 bulan ke atas selesai. Saya punya kenalan empu di Bali, barangkali dia masih menyimpan batu meteor itu," jawabnya optimis. Jiwa seni sebagai seorang empu bangkit kembali.

"Kalau begitu saya mohon pamit."

"Tunggu sebentar! Saya punya celana kolor warna hitam dan kaos merah marun tersampir di dinding bambu. Itu, ambillah!" Telunjuknya memberi tahu.

Tatapan matanya mengantar Birawa mengambil celana dan kaos tersebut. Ditimang-timang seakan enggan memakainya.

"Pakai saja langsung! Celanamu sudah tak layak. Sobek dan dipenuhi bercak darah."

"Terima kasih, Pak," ucap Birawa dan langsung memakainya.

"Nah, kalau ini pantas. Walau celana kolor komprang masih layak dipakai. Pergilah! Hati-hati di jalan!" pujinya. Tak ingin toh (tanda lahir) di dada pemuda itu jadi ejekan orang.

Birawa tidak menjawab hanya melambaikan tangan meninggalkan gubug berantakan.

"Katuranggan, datanglah!"

Katuranggan meluncur dari rimbunnya pohon asam dan hinggap dipundak kirinya. Tampak 1 helai bulu sayap tertinggal melayang jatuh di atas tanah tak jauh dari pohon asam besar.

"Bagaimana menurutmu pertarunganku tadi?" Katuranggan hanya bisa berkotek.

Menyusuri hamparan ladang pertanian tampak sepi, jauh dari rumah penduduk. Sosok yang terlihat hanya punggung Birawa dan ayam jago di pundak kirinya makin jauh meninggalkan gubug hingga tak telihat lagi.

Diam-diam reptilian mengirim sinyal frekuensi sebelum menjelang ajal. Berupa selendang aurora berkelip warna galaksi. Perpaduan warna biru, merah dan kuning keemasan. Menempuh jarak jauh ke sosok dibalik gumpalan mendung tebal di langit kota Madiun. Reptilian mati bersama padamnya bara tato di dahinya.

Kilat berkali-kali menyambar disertai suara menggelegar bersautan. Dan hembusan angin kencang, seakan menumpahkan amarah di langit kota Madium. Rumah penduduk porak poranda, terdengar jerit tangis memilukan pada menyelamatkan diri. Awan terus berarak menuju ke barat puas meninggalkan bencana.

***

Nusantara bangkitlahWhere stories live. Discover now