Sabung ayam 1

8 1 0
                                    

Berjalan ditemani Katuranggan di pundak kiri, melewati jalan makadam dengan diiringi kicau burung mulai memasuki perkampungan. Sambil mengedarkan pandangan, matanya menangkap sinar matahari pagi menembus kanopi pepohonan ladang milik warga di kiri jalan. Udara terasa segar tercium bau asap dari tungku kayu bakar yang keluar dari sela-sela atap genting dapur warga. Dan bau asap pembakaran merang dari kandang sapi yang sempat dilewati. Tak terasa semakin mendekati pasar ramai lalu lalang orang dan transaksi barang yang dibutuhkan. Teringat Ibunya semasa hidup bekerja sebagai kuli panggul di pasar. Menarik minatnya sekedar melihat-lihat. Tanah masih basah menandakan semalam di guyur hujan.

"Pasar Kesiman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto," gumamnya. Berdiri tak jauh dari papan nama bercat putih, tertulis cat hitam yang baru saja dibacanya.

Melangkah masuk toko perhiasan, hendak menjual emas pemberian Gewa. Transaksi berlangsung lancar. Sebagian uang sudah masuk saku celana. Sisanya masih tergeletak di atas etalase kaca. Dengan cepat pencuri mengambil dari belakang.

"Uangku...! Uangku...! Uangku!" teriak Birawa diramainya pengunjung.

Tak seorang pun berani bertindak membantu. Hanya menatap pencuri kabur naik sepeda motor dibonceng temannya di depan toko pinggir jalan. Situasi tempat kejadian normal kembali, menjadi perbincangan sebagian orang di pinggir jalan. Katuranggan tampak tenang bertengger di pundak kiri tuannya masuk berdesakan ke dalam pasar, menuju toko pakan ternak. Tumpah ruah orang belanja, dirinya tak menyadari diikuti seseorang dari balakang.

"Pak, beli jagung 1 kg."

Belum sempat menerima uang kembali, seseorang mencuri Katuranggan dari belakang. Birawa spontan teriak,

"Maling...! Maling...! Maling...!"

Mengejar sambil membawa jagung pipil dalam kantong plastik. Banyaknya orang lalu lalang membuatnya kehilangan jejak. Melihat sekeliling, merasa dituntun ke belakang menyusuri pasar burung dan binatang ternak.

"Pak, numpang tanya? Ada apa dengan kerumunan di belakang sana?" tanya Birawa pada penjual kambing. Berselempangkan sarung, menikmati hisapan puntung rokok terakhir yang langsung di buang.

"Itu tempatnya orang sabung ayam, nak!" jawabnya.

"Ooo.... Terima kasih, Pak!"

Pria paruh baya hanya mengangguk, menatap Birawa melangkah pergi. Menarik tali kekang mencoba membetulkan tali penambat yang mulai kendor.

Birawa menerobos masuk kerumunan melihat sekeliling. Tampak 2 arena sabung ayam begitu riuhnya. Luapan emosi sang botoh dan gelak tawa penonton terangkum menjadi satu euforia kemeriahan.

"Pak, itu ayam saya. Tolong kembalikan!" teriak Birawa. Menatap orang tak dikenal mendekap Katuranggan.

Keseriusan penonton terganggu. Tatapan mata tertuju pada Birawa.

"Boleh juga nyali bocah ini! Belum tahu, dia! Lagi berhadapan dengan siapa," bisik penonton pada teman disampingnya.

"He, bocah ingusan! Berani-beraninya kau mengaku ini ayammu! Dengar, ya! Lebih baik secepatnya kau pergi dari sini! Jangan ganggu arena sabung ayam ini, ngerti!" Ancam si kurus. Bertampang morfinis dengan lengan bertato, berdiri menatap garang sambil mendekap Katuranggan.

Birawa merasakan ada 3 orang berniat jahat dari arah belakang, kiri dan kanan bergerak mendekat. Kepekaan inderanya mulai terlatih dari beberapa peristiwa yang baru saja dialami.

"Nak, tinggalkan tempat ini. Mumpung dia masih mengijinkanmu untuk pergi dari sini," bisik pria setengah baya disampingnya.

"Tapi saya mau ayam saya kembali." Birawa tak bergeming.

Nusantara bangkitlahWhere stories live. Discover now